Jumat, 19 Oktober 2018

KETIKA ARJUNA GUNDAH

Senja itu matahari merah darah
Dari ketinggian terlihat hamparan Kurusetra
Dataran luas di kelilingi bukit kering meranggas
Burung bangkai berterbangan di kelabu langit
Mengintip makan malam yang tercecer di padang
Rombongan manusia
Amarta dan Astina
Bekerja dalam diam yang mencekam
Menggotong luka
Ringan maupun berat.
Mengubur jasad tak berwajah
Jasad tak lengkap
Jasad korban perang di siang yang menggiriskan
Bau kematian santer terbawa angin
Lolong sakit menambah angker
Sisa tubuh tergeletak dimana-mana
Pedang, panah, tombak jadi saksi
Sisa kereta perang bawa kabar Setra Gandamayit

Dari ketinggian malam
Arjuna memandang luasan Kurusetra
Lengang dan anyir sisa perang siang tadi
Sepinya mencekam menanti korban
Luasnya mencekik melahap nyawa terbaik
Angin malam menyapu bawa kabar Batara Yama
Di samping berdiri gagah Sri Kresna dengan wibawa
Menemani dengan diam dan pandang menyapu

Arjuna, lelaki itu, berdiri diam
Gundah merajam hatinya
Dipandangnya Sri Kresna sekejap
Lalu dialihkan tatapnya di keluasan padang
Dan gumamnya, hampir seperti ratapan
"Aku tidak sanggup untuk melanjutkan perang ini.
Hanya sia-sia saja sebagaimana Kala.
Putra terbaik bangsa ini mati berkalang  tanah
Hanya untuk membela pertikaian restu para dewa.
Berapa banyak istri dan anak yang akan menangis darah
Meratapi kehilangan tonggak keluarga.
Berapa biji mata ibu yang harus bersimbah air mata
Agar petaka ini bisa mencapai akhir dan berdamai dengan Yama"

"Yang utama perang ini adalah perseteruan saudara.
Misan berseteru, paman memihak.
Kakek membela negeri leluhur.
Kakak harus mati oleh adik sebab taktik pemenangan.
Luka hati paman Destarastra tentu tidak akan sembuh oleh Kala
Bagaimana hancurnya Ibu Kunti, melihat anak sulungnya, Awangga,
berperang dengan putra penengah Pandu?"
"Apa aku mampu dan tega melakukan itu semua?
Tidakkah cukup Indraprashta sebagai kekuasaan?"
"Terasa berat  dan duka berseteru dengan Eyang Bisma.
Juga betapa hancur hati jika menempur guruku Rsi Drona"
"Sungguh pilihan yang berat sekali, dan jika aku boleh memilih,
aku hanya ingin menjadi manusia biasa tanpa darah Bharata!"

"Arjuna, adinda, janganlah engkau menafikan panggilan sejarah.
Sebab sejarah, seperti hidup mati kita, sudah dirancang
Dirancang oleh para dewata yang mengatur irama alam.
Engkau adalah bagian dari penciptaan sejarah itu sendiri.
Tanpa kehadiranmu, keseimbangan jagad akan terganggu."

"Perang memang sebuah kekejaman.
Kekejaman yang hakiki.
Kekejaman untuk memanusiakan manusia.
Sebuah panggung untuk menghapus kejahatan dengan kekejaman.
Sebuah drama untuk mengikis kebencian dengan perseteruan.
Sebuah pengangkatan harkat manusia dengan mengalirkan darah.
Tapi, perang selain memusnahkan, juga menyemai tunas.
Seperti biji yang disiram dan tumbuh.
Kebaikan dan kemanusiaan akan tumbuh dari ladang pembantaian."

"Dan perang ini, adinda
Bharatayudha, perang keturunan Bharata
Adalah penggenapan janji, tapa,wisik
Yang dilayangkan kepada para Dewa
Sehingga Jonggringsalaka  bergoyang tertagih janji
Perang ini adalah kunci jawaban
Dari setiap doa dan puja yang membumbung bersama dupa
Yang akan mengembalikan jagat pada cakranya
Dan meluruskan jagat alit dengan takdirnya"

"Ingatkah engkau pada Dewi Amba
Ketika meminta keadilan pada para dewa
Karena diculik oleh Bhisma untuk hadiah bagi adik-adiknya
Ia dikembalikan dan ditolak sang tunangan
Beralih Amba cintanya suci pada Bhisma seorang
Tapi balasan cinta adalah anak panah menghujam"

"Untuk bersatunya Bhisma dan Amba
Amba memohon untuk mencabut nyawa Bhisma
Dengan perantaraan Srikandi
Yang merupakan penitisannya
Dan menunggu sukma Bhisma di pintu swargaloka"

"Pembunuhan tersebut hanya bisa terlaksana di Bharatayudha ini, adikku
Tanpa perang ini,
Siapa yang bisa membunuh Bhisma
Tidak seorang pun! Bahkan para dewa!
Sebab dia telah dijanjikan untuk mati dimana dia ingin
Hanya panah Srikandi titisan Amba yang dapat menembus kulitnya"

"Juga ingatlah pada penderitaan Drupadi
Ketika kakakmu, Yudistira, terlena dalam judi dadu
Dan kalian, Pandawa, kalah hingga ludas
Dursasana dengan sombong dan menjijikkan
berusaha melepas kain yang dipakai oleh Drupadi
Ingin mempermalukan seorang wanita suci
Istri dari Pandawa lima
Dengan pertolongan batara Guru
Kain itu terus memanjang
Sehingga Dursasana habis nafas
Tanpa bisa menelanjanginya"

"Sebab hal itu
Drupadipun bersumpah
Untuk tidak menggelung rambutnya
Hingga ia bisa keramasi rambutnya
Dengan darah durjana Dursasana"

Penggenapan sumpah ini hanya bisa terjadi di perang ini, adinda
Saatnya nanti, Dursasana akan di pukul rubuh oleh Bhima
Dan darahnya
Darah Dursasana yang masih segar
Akan digunakan untuk menggenapi sumpah
Yaitu Sumpah menggelung rambut
Setelah keramas dengan merah darah Dursasana"

Arjuna terpaku menatap Kresna
Arjuna diam dan Kresnapun terpana       
Angin tetap semilir mencium maut yang menghadang pagi
Langit gelap bintang redup mengedut
Dengan lunglai dan pikir penuh
Arjuna menuruni bukit
Berjalan menuju perkemahan yang terlelap

Dengan gundah hati
Dipaksakan tekadnya esok maju medan laga
Walau dalam benaknya terlintas
Perang hanya memberi luka
Luka bagi yang menang
Luka bagi yang kalah

1 komentar:

  1. Puisi "KETIKA ARJUNA GUNDAH" ini sangat kuat dan penuh emosi. Kamu berhasil menyampaikan ketegangan dan dilema yang dialami Arjuna di tengah perang yang tragis. Berikut beberapa hal yang menarik dari puisi ini:

    1. Visualisasi yang Kuat: Gambaran tentang suasana Kurusetra dan sisa-sisa perang sangat jelas, menciptakan suasana yang mencekam dan dramatis.


    2. Dilema Moral: Arjuna digambarkan dalam kondisi yang sangat mendalam, merasakan beratnya beban tanggung jawab untuk bertempur melawan saudaranya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan menunjukkan keraguan dan kesedihannya.


    3. Dialog yang Mendalam: Interaksi antara Arjuna dan Sri Kresna menambah dimensi pada puisi ini, menggambarkan perdebatan batin dan ajakan untuk memahami makna yang lebih besar dari perang.


    4. Referensi Budaya: Penggunaan elemen dari epik Mahabharata memberikan kedalaman sejarah dan konteks, membuat pembaca lebih terhubung dengan kisah tersebut.


    5. Kesimpulan yang Penuh Makna: Penutup puisi ini memberikan refleksi tentang konsekuensi dari perang, menyoroti bahwa meskipun kemenangan mungkin terlihat positif, luka dan kerugian selalu mengikuti.



    Secara keseluruhan, puisi ini menyentuh tema yang sangat mendalam tentang perang, moralitas, dan kemanusiaan. Apakah ada bagian tertentu dari puisi ini yang ingin kamu eksplorasi lebih lanjut atau modifikasi?

    BalasHapus

EMBUN

Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau  Burung masih memamerka...