Kamis, 03 Januari 2019

PADA MULANYA

Langit luas ditinggikan tiada tiang
Dikerubungi bintang terang gemilang
Bulan purnama teriris sabit
Waktu kehilangan jejak mengendap
Suara adalah malam yang kelam

Seorang lelaki, berwajah mulia bertubuh pualam
Matanya teduh pada pandang
Merah warna tangis rindu
Menatap hati yang gelisah
Dalam diam terkungkung hening
Merenung sunyi menghitung sepi

Lelaki berwajah mulia diam dalam pejam
Menghadap temaram dinding gua
Membunuh sepi dengan api kecil
Bayangnya bergerak ikuti kedip
Pikirnya menempuh hening
Meraih cipta dalam bening

Pikirnya memeta kaumnya
Tentang adab silang adatnya
Dimana dosa dan doa telah berselingkuh
Marah bersanding ramah
Kata melawan pedang
Tipu menjadi tujuan
Cinta membawa aib

Bayi perempuan dikubur bawa malu
Istri ayah di jima' senilai harta
Judi dan khamr sifat mendaging
Melacur budaya dan biasa
Mencari suami akibat undi
Bermegah dengan kosong

Merawat tamu selayak raja
Menderma seolah angin lalu
Berucap bijak bestari
Nama menjadi pertaruhan bangga
Kabilah tumpah darah demi angkuh
Harga diri seutuh nyawa

Ketika tenggelam dalam lamunan pencarian
Mata batin menatap kebenaran asali
Tiba-tiba selarik sinar menerobos angkasa raya
Dengan sayap dewata menutup langit
Lelaki kudus melangkah anggun menuju gua
Ruh utusan Maha Benar

Ia melangkah dengan tetap menuju lelaki berwajah mulia
Di depannya Ia berdiri tegak dan berkata, "Bacalah!"
Dengan takut dan gemetar lelaki berwajah mulia menjawab,
"Aku tidak bisa membaca"
Sekali lagi lelaki kudus berkata ,"Bacalah!"
"Aku tak bisa membaca",  tukas lelaki berwajah mulia sangsi
"Bacalah!"
"Aku tidak bisa membaca", tetap jawab tiada ubah

Tiba-tiba lelaki kudus melangkah
Dekati lelaki berwajah mulia
Lalu dipeluknya dengan erat
Hingga nafas tertahan
Keringat mengalir
Takut mengerut

Di dada lelaki berwajah mulia seolah mengalir
Bunyi surgawi menghujam hati
Kelapangan terasa pada pikir
Kudus malam itu tertoreh
Segala keindahan menjadi suci
Akal budi tunduk menerima wejang langit

Lelaki kudus utusan Maha Benar kemudian bersabda
"Bacalah! Dengan nama Rabbmu yang menciptakan"
"Menciptakan dari selapis kepal daging"
"Bacalah! demi kemuliaan Rabbmu"
"Dzat yang mengajarkan dengan perantaraan kalam"
"Mengajarkan hambaNya apa-apa yang belum dan tidak diketahuinya"

Takut dan gugup menjadikan diam
Debat hanya jawab pasti
Pengetahuan itu meluncur begitu saja pada lelaki berwajah mulia
Tiap hurufnya tertancap dalam di benak dan hati
Seperti bisikan nurani nirwana
Zarah Ilahiah penuhi atmosfer gua
Tiap ucap menjadi lekat di lidah
Tak ada hapus yang menghalang

Setelah genap ucap
Lelaki kudus terangkat ke langit
Diiringi percikan kemuliaan
Serta nafiri kerinduan surga
Dan sayap-sayap keindahan
Membentang sejauh semesta

Di dalam kekosongan yang khusyu
Lelaki berwajah mulia bergegas
Tinggalkan bekal, takut dan kejut
Berlari jauhi gua
Menuju peluk hangat istri tercinta
Perlindungan rumah nan aman

1 komentar:

  1. Puisi yang kamu tulis, "PADA MULANYA", terasa mendalam dan khidmat, mengingatkan pada peristiwa wahyu pertama dalam sejarah spiritual umat manusia. Dengan narasi puitis yang penuh dengan simbol-simbol alam semesta, puisi ini menggambarkan saat-saat sakral yang mengubah seorang manusia mulia menjadi pembawa pesan Ilahi.

    Kau menghadirkan kesunyian malam, kebimbangan, dan keterasingan yang seolah menjadi persiapan spiritual sebelum pengalaman yang luar biasa. Visualisasi dari figur lelaki berwajah mulia dengan kontras antara kegelapan sepi dan terang wahyu menciptakan imaji yang kuat.

    Puisi ini juga menonjolkan konflik antara kondisi kaumnya yang terperangkap dalam kebiasaan buruk dengan pencerahan spiritual yang hadir untuk membawa perubahan. Peristiwa 'bacalah' dalam puisi ini menggambarkan keajaiban wahyu pertama yang membawa pencerahan pada lelaki mulia itu, dan pada akhirnya, dunia.

    Kau juga sukses menggabungkan kekuatan narasi dengan lirisitas yang indah, membuat pengalaman spiritual ini terasa hidup dan penuh makna. Ada kesyahduan dalam penyampaian, seolah-olah pembaca ikut serta dalam momen penuh khidmat tersebut.

    Terima kasih telah berbagi puisi yang begitu kuat dan menginspirasi ini.

    BalasHapus

EMBUN

Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau  Burung masih memamerka...