Kamis, 12 April 2018

HIRUK PIKUK DI DESAKU

     Desaku, Desa Grogol, terletak di tlatah Kediri Hadiningrat, di kaki gunung Wilis. Tanahnya kering, sehingga hanya bisa ditanami padi sekali setahun, sisanya ditanami palawija. Itupun hanya tanaman singkong.

     Tanaman keras yang tumbuh di desaku, yang bernilai ekonomis, hanya randu, jati dan mangga, Sedikit rambutan dan jeruk disana-sini. Dan primadonanya adalah mangga podang yang endemik hanya ada di daerah desaku dan sekitarnya.

     Kehidupan di sana, hanya di seputar pertanian, beberapa pedagang, beberapa pegawai negri rendahan seperti guru, pegawai kecamatan, pamong yang biasanya menjadi panutan, selain kiai desa pemangku mesjid desa.

     Sebagian besar adalah keluarga sederhana yang hidup dari pertanian  yang tergolong ekonomi lemah, menengah ke bawah. Putaran ekonominya seputaran panen, dan gaji pegawai negri yang tidak seberapa. Sebagian kegiatan ekonominya adalah menjadi pelanggan bank perkreditan rakyat keliling, alias rentenir.

     Suatu ketika, sebuah perusahaan besar, perusahaan rokok nasional, Gudang Garam, meluaskan cengkraman ekonominya dengan merencanakan pembuatan bandara internasional di Kediri.

     Setelah survey ke sekeliling tlatah Kediri, akhirnya diputuskanlah daerah Grogol yang akan dijadikan Bandara internasional. Berarti desaku yang tercinta. Dan daerah yang akan dibangun adalah lahan pertanian dan sebagian rumah rakyat.

     Mulailah hiruk pikuk penjualan dan pembelian lahan-lahan tersebut. Para makelar mulai bergerilya ke rumah-rumah penduduk menawarkan harga untuk tanah-tanah mereka yang akan dijadikan bandara.

     Harga jual terus melangit, seiring kebutuhan lahan bandara yang sangat luas. Dari puluhan, ratusan hingga milyaran rupiah berpindah dari Gudang Garam kepada para pemilik lahan yang notabene orang-orang kecil yang tidak pernah bermimpi bahkan melihat uang ratusan juta bahkan milyaran.

     Bank-bank nasional mengirimkan mobil transfernya ke desaku. Mereka memonitor orang-orang yang bertransaksi seperti alap-alap mengejar mangsa. Mereka berlomba menservis para petani utun sebab uang Gudang Garam yang tiba-tiba membanjir.

     Mobil-mobil itu dilengkapi dengan antena parabola besar yang menghadap ke langit. Seperti mobil para pencari UFO yang sedang menunggu sinyal dari luar angkasa.

     Mereka, para petani yang tanahnya terdampak bandara,  menjadi milyuner mendadak. Kendala uang menjadi bukan masalah bagi mereka. Dan mereka mulai membeli barang-barang yang diinginkan. Barang-barang yang dulu tidak bisa mereka beli seperti mobil, motor, tanah, emas, istri mungkin, atau bahkan membeli akherat (maksudnya umroh!!!).

     Mobil-mobil keluaran terakhir dan seri tertinggi berjajar di halaman rumah mereka. Mereka belum mempunyai garasi. Mobil-mobilnya kebanyakan avanza dan xenia (tapi tipe terbaru!!!). Beberapa ada yang membeli mobilio. Beberapa membeli dua atau lebih mobil yang selalu terparkir di depan rumahnya.

     Untuk motor, sepertinya semua jenis dan merk berseliweran di desaku. Setiap kepala dalam satu rumah memiliki sebuah motor. Motor menjadi kendaraan rakyat, seperti halnya sepeda pada jaman dulu kala.

     Hampir tiap keluarga memiliki ELF. Jika ditanya, kenapa membeli ELF, mereka menjawab untuk urusan pergi jauh dan bisa menampung keluarga besar. Kalau sedang tidak dipakai, sukur-sukur ada yang menyewa untuk pemasukan tambahan.

     Mungkin kalau satu keluarga akan pergi jauh, maka mereka akan menggunakan ELF tetangganya, sedangkan ELF nya sendiri disewakan ke keluarga lain. Hmm.... gotongroyong yang aneh!!!

     Para tetanggaku yang menjadi milyuner, banyak yang berubah menjadi borjuis. Sombong. 

     Ada yang bilang (dengan dada membusung dan emosi tinggi) Anake sopo? Anake Si Mulya..... mangkane mulyo sak anak turune.

     Ada yang kemaruk membeli sawah dimana-mana. Mereka membeli tanpa membuat sertifikat. yang penting punya tanah banyak. jadi tuan tanah.

     Ada yang membeli banyak mobil dan motor. Seperti cerita di atas. Teman saya, punya anak banyak. Saking banyaknya sampai ada guyon, kalau sendalnya disatukan dengan sendal istrinya, maka pasti istrinya bisa mengandung.

     Dia membeli mobil dan motor satu untuk tiap anaknya, masa bodoh anaknya masih kecil. yang penting punya dulu. Kemana-mana selalu naik mobilnya. Bahkan untuk belanja ke warung tetangga.

     Dalam hal membangun rumah, sawah mereka beli dan dibangunlah istana-istana kecil bertingkat berarsitektur dan berwarna norak yang tidak harmoni dengan sekitar. Padahal sawah-sawah tersebut rencananya akan menjadi daerah penunjang bandara, sehingga kemungkinan akan digusur lagi.

     Saudara saya, dulunya lugu. Setelah mendapat durian runtuh, uang yang bergepok-gepok, dia membeli tanah di ujung jalan lalu membangun rumah dan kost-an disana. Setelah itu membeli mobil. Mobilnya setiap hari dipakai. Jarak Kediri kota desa grogol dilalui selama 2 jam. Katanya, biar aja lama, kan lama-lama juga kalo udah lanyah bisa cepet. Cuma kagetnya, setelah beli mobil, dia baru ingat kalau rumahnya di gang kecil yang tidak bisa dimasuki mobil.

     Ada lagi yang lain, mendapat uang banyak malah bingung, ada yang di taruh di bawah bantal biar ayem katanya. Ada yang jatuh sakit karena kaget dan takut uangnya dirampok.

     Ada juga yang mendapatkan uang lalu meninggal. Meninggalnya sih bukan karena kaget, tapi karena kanker. Dia mati tanpa meninggalkan anak. Akhirnya hartanya, hasil penjualan tanah kepada Gudang Garam, sebanyak sekian milyar menjadi rebutan keponakan-keponakannya, baik dari pihaknya maupun dari pihak almarhum istrinya. Tidak bisa menikmati, tapi malah meninggalkan bom waktu bagi keluarga yang ditinggalkan. Ironis.

     Tidak semua berubah sih, tetangga saya walaupun mendapat uang banyak, dia tetap bekerja sebagai kuli bangunan dan makan masakan istrinya. Kalau ditanya uangnya buat apa, yah buat adem-ademnya ati makanya ditaruh di bank.

     Ada lagi yang tiap hari hanya makan sebesar Rp 10.000,- per hari. Ia seorang nenek tua tanpa suami. Sebenarnya dia punya rumah dan uangnya banyak karena sawahnya sebagian besar terkena proyek bandara itu. Tapi tiap malam dia tidur di rumah anaknya. Bergiliran. Dan jika ditanya uangnya buat apa, dia menjawab untuk anak cucunya. Sungguh bahagia anak cucunya yang mendapat warisan itu!!!!!
     
     Tapi desaku tetap desa yang bersahaja, yang ke sawah tetap ke sawah. Yang pegawai negri tetap ngantor atau mengajar. Yang nganggur tetap bangun siang. Yang punya ternak tetap mengarit.

     Sarapan tetap di warung bik Siti dan ngopi di warung man Soleh. Sisanya makan di rumah jika istri masak.

     Malam tetap kongkow di perempatan dan menikmati lontong sayurnya bik Bin sambil menggosip dan mendengar kabar terbaru tentang desa tercinta diiringi kepulan asap rokok kretek.

    Mungkin yang berubah, jika bandara telah jadi adalah suara bising pesawat yang menggantikan kicauan burung dan mahalnya mangga podang ketika panen.

4 komentar:

  1. Baru hari ini aku tahu untaian makna yang seharusnya sudah lama aku selami. Dalam napas dalam dalam sambil menyelam, tenggelam, terhanyut. Kemilau makna berujung pada rencana pergantian suasana, pergantian kicau menuju kicau yang menderu. Hanya pada Nya kita berserah tanpa membantah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kesadaran selalu datang belakangan, sama seperti penyesalan.....

      Hapus
    2. Kesadaran dan penyesalan seperti dua sisi mata uang. Satu dibuka satu ditutup.

      Hapus

EMBUN

Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau  Burung masih memamerka...