Menziarahi hari kemenangan
Berjuta rindu berbondong susuri jalan mudik
Bawa mimpi dan keberhasilan yang sedikit tertunda untuk dipamerkan ke sanak
Genapi janji nazar yang terlanjur terucap ketika langkahi tanah leluhur
Anak dikenalkan pada saudara, kasta, tingkat dan kedudukan dalam tata sosial
Istri jadi tranding mode
Pusat informasi bagi kadang
Segala harga yang didapat karena pulang dari perantauan
Baju baru tersimpan di koper
Hadiah kecil tersusun di tas
Gepokan uang receh tersedia di dompet
Semua untuk membeli perhatian dan membayar kedudukan dalam keluarga
Ketika eforia telah berlalu dan sisakan lelah
Harga diri dan kebanggaan telah terbanting sebab sanjung telah reda
Bagasi mobil dipenuhi beras dan pernik
Apapun yang bisa diangkut ke kota untuk menyambung hidup
Teriring doa dan lambaian tangan
Selamat tinggal kampung halaman
Selamat berpisah sanak dan handai taulan
Aku merantau kembali agar tahun depan dapat kembali membual
Selasa, 19 Juni 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EMBUN
Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau Burung masih memamerka...
-
Malam itu hanya ada gerimis Tak ada teman yang lain Bayi suci menangis di gendongan. Lapar Sedangkan tete ibunya kempes Malam itu kudus Kar...
-
Lusi di langit dengan hati (dalam) perjalanan ke pusat hati (dan) mengetuk pintu hati (ucapkan) selamat datang ke hatiku Seseorang di dalam ...
-
Keriput bukanlah usia Hanya lelah keringat Dan mata yang kelabu abu Tiada pinta hanya nanar Sebenarnya wajah masih diselubungi mimpi L...
Puisi ini mengisahkan perjalanan ritual tahunan saat mudik, menyoroti bagaimana hari kemenangan dirayakan dengan euforia dan kebanggaan, namun juga dipenuhi dengan harapan akan pengakuan sosial. Di tengah suasana mudik, setiap elemen—mulai dari pakaian baru, hadiah, hingga uang—mewakili upaya untuk mendapatkan perhatian dan menegaskan kedudukan dalam keluarga.
BalasHapusNamun, di balik semua itu, ada kesadaran bahwa kemegahan dan kebanggaan hanya sementara. Setelah euforia mereda, yang tersisa hanyalah lelah, kenyataan bahwa status dan penghargaan cepat berlalu, dan akhirnya, perjalanan kembali ke kota menjadi semacam siklus tanpa akhir. Pengulangan ini mencerminkan upaya berkelanjutan untuk mencapai sesuatu yang mungkin tidak pernah benar-benar utuh—semacam ironi dari kehidupan perantau.
Momen perpisahan, dengan lambaian tangan dan doa, seolah menjadi pengantar untuk siklus yang akan berulang lagi di tahun berikutnya, penuh dengan janji-janji dan harapan yang mungkin hanya akan menjadi sekadar bualan. Puisi ini memberikan kritik halus tentang ekspektasi sosial dan betapa sementara pencapaian itu dalam konteks kehidupan modern.