Jumat, 01 Mei 2020

BURUH TANPA TANDA JASA (ii)

Malaikat membangunkan jago dini hari pertama
Sedang matahari entah dimana
Emak menggendong kantuk dan adik di punggung
Dengan seutas kain gombal
Tangannya membawa kayu bakar
Di pawon ia menyalakan api
Memasak air
Berdiang dari dingin yang menggigit
Berlindung dari nyamuk yang lapar
Beras ditanak
Kopi diseduh untuk menemani
Tiba-tiba adik meringik
Emak duduk di amben
Lalu adik digendongnya
Kancing dasternya dibuka
Susunya dikeluarkan dan langsung dilahap oleh adik
Setelah menidurkan adik
Emak menambah kayu bakar dan mulai masak

Matahari semata kaki lumpur sawah
Emak dan rombongannya menanam padi
Langkahnya mundur sambil membenamkan bibit
Kepalanya ditutupi tudung bambu menampik panas
Ketika istirahat. Sarapan
Kedua tangannya dicuci di selokan
Setelah duduk di bawah pohon mangga
Dibukanya bekalnya
Nasi dengan tahu tempe dan sayur terong
Dan seplastik teh hangat
Setelah selesai istirahat
Langsung dilanjutkan kerja
Hingga matahari membungkuk sebab terik
Dan keringat membasahi baju dan lipatan tubuh

Emak di pelataran mengenakan daster kebesarannya
Rambutnya yang tipis diikat karet gelang
Matahari sore ramah tersenyum hangat
Dipindahkannya kayu bakar yang telah kering terjemur
Disapunya karak sisa kemarin dan dimasukkan dalam karung
Tiba-tiba matahari hilang dan langit hitam
Tetes air mulai turun
Emak tergesa meninggalkan pekerjaannya
Berlari menuju jemuran

Malam t'lah tiba
Matahari lelah
Gelap lelah
Pepohonan lelah
Penghuni rumah lelah
Emak meneteki adik di kamar utama
Aku belajar ditemani serangga
Ketika bulan pukul sembilan
Semua penghuni telah bermimpi
Emak melanjutkan kerja melipat baju
Sambil mendengarkan uyon-uyon dari radio

1 komentar:

  1. Puisi ini menggambarkan sosok seorang emak yang bekerja tanpa henti, baik di dalam rumah maupun di sawah. Emak menjadi simbol perjuangan tanpa lelah, dari pagi hingga malam, meskipun tanpa pengakuan atau tanda jasa. Karya ini memotret keseharian seorang ibu yang menggendong anak, memasak, dan bekerja di ladang dengan dedikasi penuh, meski segala aktivitasnya sering kali dianggap biasa saja.

    Kehadiran detail seperti "kayu bakar", "tudung bambu", dan "bekal nasi dengan tahu tempe" memberi nuansa khas kehidupan pedesaan. Melalui narasi sederhana ini, penulis menangkap realitas keras seorang buruh tani, serta menunjukkan betapa besar peran seorang ibu dalam menjalani hidup yang penuh tantangan. Meskipun ibu ini tidak pernah menerima penghargaan formal, pengorbanannya adalah esensi dari kekuatan yang membangun keluarganya.

    BalasHapus

EMBUN

Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau  Burung masih memamerka...