Kemarau merasuk hingga sudut malam
Bintang gemilang merajah langit
Dua sosok bayang berjalan perlahan
Dipandu temaram sinar bulan padang gurun
Langkah mereka tetap menghadap
Sepatu kulitnya bertabur pasir dan desir
Di depan, sebuah gubuk kecil
Beratap rendah pelepah kurma kering
Temboknya dilabur lumpur kuning
Terpencil dan menggigil tersapu angin
Dari jendela selarik cahaya menerangi
Samar dan redup menjangkau luasan di luar
Bayangpun bergerak ikuti lidah api
Sayup terdengar suara tangis
Tangis lapar yang bahkan kantukpun tertindas lenyap
Sehingga hanya tersisa erangan sumbang tanpa tenaga
Dan helaan nafas berat pasrah
Memungut putus asa yang berserak di lantai
Hingga remahan mimpipun mereka lupa mengenangnya
Kedua pria, berjalan mendekati kekumuhan asali
Pria tinggi besar dengan sorban menutup botaknya
Bergamis lusuh tambal sulam
Menjulurkan kepala pada jendela kecil
Dimana mengalir udara pengap
Dan temannya, berjanggut kaku dan panjang
Berwajah pemikir
Mengikuti di belakangnya
Sambil menatap sekitar dengan tatap elang
Maaakkk, lapar...!!!
Sambil menangis air mata
Ucap seorang anak kurus
Di sebelahnya, adiknya
Terbaring dan terisak nyaris tanpa suara
Tangannya bersedekap
Memegang perutnya yang tipis
Iya nak, sebentar lagi masakan emak matang
Sabar ya, nak...!!!
Sahut si emak lembut
Sambil memutar sendok besar di kuali panas
Kayu dimasukkan ke dalam tungku
Dan api kian besar
Meninggalkan bayangan yang bergoyang di tembok
Suara didihan air memenuhi ruang sempit
Dan anak-anak tetap meringkuk di gombal lusuh
Sekian lama tak terjadi apapun
Makanan tetap belum diangkat dari tungku
Sedangkan suara tangis makin mendekati rintih
Mata-mata kecil menatap sayu
Emak tetap memasak
Sambil senandungkan lagu tidur
Meninabobokan anak-anaknya
Agar lupa lapar bertukar mimpi
Pria besar botak bersorban hilang sabar
Diketuknya pintu ringkih gubuk reyot
Sambil uluk salam pada penghuninya
Sebentar kemudian pintu berderit terbuka
Ibu kurus, pucat dan bungkuk menatap tanpa kejap
Hatinya berdegup melihat dua pria asing
Tanpa permisi lagi
Dengan langkah lebar
Pria besar botak bersorban mendatangi tungku
Seraya berucap, mengapa lama sekali masaknya?
Tidakkah kau kasihan
Melihat anak-anakmu menangis karena lapar?
Lalu dibukanya tutup kuali
Di dalamnya air bergolak
Dan beberapa butir batu mendidih direbus
Apa ini?, dengan tercengang berucap
Mengapa memasak batu?
Sambil menunduk ibu kurus itu berujar lirih
Saya seorang janda miskin
Pekerjaan tidak tetap
Siang tadi saya keliling kampung
Hasilnya nihil
Tak seorangpun mau menggunakan tenaga saya
Hari ini saya tidak bisa membeli bahan makanan
Mencari kurmapun sudah habis
Karena anak-anak lapar
Saya bohongi mereka dengan memasak batu
Agar mereka punya harapan makan
Sambil menunggu masak
Dengan berselimut lapar
Semoga mereka bisa tertidur
Hari ini saya tidak bisa membeli bahan makanan
Mencari kurmapun sudah habis
Karena anak-anak lapar
Saya bohongi mereka dengan memasak batu
Agar mereka punya harapan makan
Sambil menunggu masak
Dengan berselimut lapar
Semoga mereka bisa tertidur
Para petinggi tak ada yang peduli
Mungkin mereka tidak pernah tahu
Ada rakyat yang sengsara kurang makan
Mereka memerintah dari kursi tinggi
Tiada toleh kehidupan rakyat
Puas dengan laporan sepihak
Senang delegasikan wewenang
Pada yang bukan ahlinya
Seperti tersambar petir
Pria besar botak bersorban itu terhenyak
Hatinya teriris
Menangis dan meratap dalam doa
Ya Tuhan, hamba telah pungkiri amanatMu
Dan sia-siakan titipanMu
Hamba telah cederai hati hambaMu
Betap berdosanya hamba
Dan cukuplah Engkau sebagai saksi
Ampunilah dosa dan teledorku
Singkirkan sombong dan berleha dari diriku
Hamba hanya berharap ridhoMu
Bergegas ia meninggalkan gubuk miring itu
Temannya, pria berjanggut kaku panjang bertanya
Hendak kemanakah engkau, ya Al Faruq?
Kau tetap jaga di rumah ini, sahabatku
Aku hendak mendatangi Baitul Mal
Dengan langkah lebar ia menembus malam
Dan meninggalkan sedu sedan nan lapar
Baitul Mal sebuah gedung besar
Megah dengan pintu gerbang bermotif geometris
Para penjaga berdiri dan memberi hormat
Ketika Pria besar melintasi dengan langkah lebar
Menyeret jubah lusuhnya
Terus memasuki Baitul Mal
Di dalam ia bertemu pengawas Baitul mal yang bertanya
Adakah gerangan malam pekat mendatangi Baitul Mal,
ya Al Faruq?
Pria botak itu tidak menjawab
Tetap melangkah menuju gudang penyimpanan
Di sana ia memanggul sendiri
Sekarung gandum pecah
Sebotol kulit minyak zaitun
Sekati daging kering
Dengan terbungkuk dipondongnya semua
Lalu melanjutkan langkah
Sesampainya di gubuk
Pria besar botak bersorban
Meletakkan panggulannya di pojok kumuh
Sambil mengusap peluh yang menjuntai di jenggot
Ia nyalakan api di tungku
Kemudian dengan tangannya sendri yang besar
Is mulai mrmbuat adonan
Lalu dipanggangnya adonan
Dan dimasaknya sayur daging
Setelah matang
Anak-anak kelaparan didudukkan berjajar
Di depannya diletakkan roti gandum
Yang masih panas dan harum
Dan sayur daging berkuah lemak
Sang ibu pun turut duduk disanding anak-anaknya
Mereka makan dengan lahap
Suara kecapnya berebutan dengan ingus
Ketika telah nyaman karena kenyang
Mereka tertidur nyenyak beralas mimpi
Engkau telah menetapkan standar yang terlalu tinggi
untuk penggantimu, ya Al Faruq
Sahabat berkumis panjang dan kaku berucap
Engkau membikin susah dan kikuk penggantimu
Hai sahabat,
Aku tidak rela rakyat di bawah perlindunganku sengsara
Bagaimana aku bisa bertemu Sang Khaliq dengan lega hati
Jika masih ada rakyatku yang sengsara dan aniaya
Sedang doa orang teraniaya tanpa hijab
Aku takut sekali pada hisaban di hari akhir nanti
Karena itu umumkan maklumatku segera
Semua daerah di bawah panji iman
Bayi-bayi yang baru lahir harus disusui selama dua tahun
Janda-janda dan orang tua disantuni dengan pantas
Tidak boleh ada rakyat yang kelaparan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar