Jumat, 04 Januari 2019

JALAN SIMPANG

Huma berserak di punggung bukit
Menatap pada biru langit
Tanaman, bebatuan bahkan tanah bersatu
Kerontang dan merana
Ketika pagi dikerek ke atas
Burung bersiul di ranting
Jika matahari telah payungi
Hanya desir samum, terik dan tongeret tersisa
Kadang debu merabu mata

Ikuti saja langkah
Dituntun debu 
Jalan desa mengantar hingga tanah
Tak panas sebab kapuk randu 
Kadang satu dua sengon menuding langit
Jati merana kerontang
Karena daunnya berguguran
Tidak perlu tergesa mengejar
Karena jarak dan waktu bukan beban
Dari pandang terlihat tujuan

Jika telah berjalan separuh jarak rindu
Sebelum melewati beringin tua penunggu desa
Jalan menjadi persimpangan
Ke kiri menuju mata air mata
Ke kanan jejak kenangan
Maka melangkah lurus saja
Lewati beringin yang terbungkuk
Ucapkan salam hormat pada tuanya
Di ujung jalan
Di sanalah tikungan akhir
Di mana huma menanti

1 komentar:

  1. Puisi Jalan Simpang ini menghadirkan suasana pedesaan yang kering dan terik, dengan alam yang berkolaborasi antara tanaman, bebatuan, dan tanah yang merana. Gambaran ini membawa perasaan kesendirian dan keheningan yang diwarnai oleh langkah perlahan mengikuti debu, tanpa terburu-buru, karena waktu bukan beban. Persimpangan jalan yang menjadi metafora dalam puisi ini memberikan pilihan antara "mata air mata" dan "jejak kenangan", tetapi jalan lurus, yang dihormati oleh beringin tua, mengisyaratkan arah menuju akhir perjalanan. Ini mungkin melambangkan ketenangan dalam menerima tujuan hidup atau nasib yang tak terelakkan, di mana huma menanti di ujung perjalanan.

    Adakah inspirasi khusus yang melatarbelakangi penulisan puisi ini?

    BalasHapus

EMBUN

Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau  Burung masih memamerka...