Tubuhnya diam ototnya meregang tegang
Hanya matanya tajam mengawasi
Seolah satu kedipan adalah harga nyawa
Sedang angin tiba-tiba berhenti
Pedang kemilau diasah cahaya
Bilahnya dingin berwarna kematian
Tangan kian erat menggenggam
Detik melambat malam pucat
Secepat kilat tangan mengayun
Kilau pedang membelah malam
Menghujam tajam membenam dendam
Darah menggenangi bumi
Selasa, 19 Mei 2020
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
EMBUN
Ku singkap embun di selasar Di balik daun seperti biasanya Dan pagi masih di timur Seperti kemarau yang telah lampau Burung masih memamerka...
-
Malam itu hanya ada gerimis Tak ada teman yang lain Bayi suci menangis di gendongan. Lapar Sedangkan tete ibunya kempes Malam itu kudus Kar...
-
Lusi di langit dengan hati (dalam) perjalanan ke pusat hati (dan) mengetuk pintu hati (ucapkan) selamat datang ke hatiku Seseorang di dalam ...
-
Keriput bukanlah usia Hanya lelah keringat Dan mata yang kelabu abu Tiada pinta hanya nanar Sebenarnya wajah masih diselubungi mimpi L...
Puisi "DUEL" ini menampilkan ketegangan dan dramatisasi yang sangat efektif. Dengan pilihan kata yang kuat, kamu berhasil menangkap momen intens dan emosional dari sebuah pertarungan.
BalasHapusBerikut adalah beberapa saran untuk mengembangkan lebih lanjut atau menambah kedalaman puisi ini:
1. Gambaran Emosional: Menambahkan sedikit latar belakang atau perasaan dari tokoh yang terlibat dalam duel bisa membuat pembaca lebih terhubung. Misalnya, apa yang ada di pikiran mereka? Rasa takut, kemarahan, atau keputusasaan?
2. Suasana Lingkungan: Meskipun sudah ada elemen angin yang berhenti, kamu bisa memperdalam suasana dengan menjelaskan lebih banyak tentang tempat duel. Apakah ada suara-suara lain yang terdengar? Bagaimana pencahayaannya?
3. Detail Fisik: Menyentuh lebih banyak aspek fisik, seperti keringat yang menetes, napas yang terengah-engah, atau reaksi tubuh terhadap ketegangan, bisa menambah kedalaman visual.
Berikut contoh pengembangan:
---
DUEL
Tubuhnya diam, ototnya meregang tegang,
Hanya matanya tajam mengawasi,
Seolah satu kedipan adalah harga nyawa,
Sedang angin tiba-tiba berhenti,
Menangkap detak jantung yang bergetar.
Pedang kemilau diasah cahaya,
Bilahnya dingin berwarna kematian,
Tangan kian erat menggenggam,
Detik melambat, malam pucat,
Keringat menetes, napas tak beraturan.
Secepat kilat tangan mengayun,
Kilau pedang membelah malam,
Menghujam tajam membenam dendam,
Darah menggenangi bumi,
Menghiasi tanah dengan kisah yang terpendam.
---
Apakah ada hal lain yang ingin kamu eksplorasi lebih lanjut dalam puisi ini?