Minggu, 30 September 2018

MENANTI HUJAN

Hujan nampaknya masih enggan singgah di pelataran hati
Gemericik suaranya belum berisik di gendang telinga
Panas dan terik dan keringat di dahi
Angin dan debu berebut di luasan cakrawala

Kemarau telah sampai di lintasan akhir siklus
Langkahnya tertatih didera kering menguning
Bebannya kian berat menahan kilau mentari
Sementara langit bunting tua tersaput biru

Kamis, 27 September 2018

TANAH LAPANG

Debu naik terinjak kaki-kaki kecil
Semangat mengejar bola plastik
Riuh teriak memecah riang
Tubuh bermandi keringat berbau matahari
Berseri di wajah polos
Sumringah di binar mata
Di sekitar keliling tepi lapangan,
rumput pucat di bawah langit cerah

Seorang bapak menggendong bayi,
mungil berwajah bedak
dan wangi minyak telon
Berdiri tenang nikmati sinar yang condong
Matanya di mana kaki kecil berlari

Beberapa remaja duduk setengah lingkaran
Berbincang menanti senja tenggelam
Kadang berkelakar hingga terbit gelak

Di ujung sore yang lain
Anak memegang gulungan
Layangan terbang menari ikuti angin
Melenggang dan meliuk menggoda awan

Keriuhan milik keluasan lapang
Kambing dicencang merumput

Kupu-kupu mengepakkan warna
Sinergi lembut semerbak sore dan bahagia kanak

Tiba-tiba langit hitam
Awan bergulung angin dan petir
Tiupan berhembus kencang
Titik air mulai jatuh

Semua tergopoh tinggalkan tanah lapang
Nafas memburu mengejar teduh
Berlarian menuju rumah

Rabu, 26 September 2018

PERJALANAN

Kematian menghantui jalan
Seperti kabut merabu mata
Mobil bersimpangan jarak
Saling terasing sepi yang lena

Mengejar waktu di lintasan
Jeli mengintai ketika
Bincang klobot hitung bosan
Menampik lelah menolak gundah

Mesin muntahkan suara dan polusi
Padatkan udara panas menekan
Nyali berjudi dengan putusan
Merebut posisi menyalib nasib

Jam tempuh melambat di antrian
Rinai basahi kaca dan pandang
Harga dibayar untuk waktu
Kota tersedak melahap ribuan kendaraan

Rabu, 19 September 2018

CICAK

Aku seekor cicak.
Cicak muda berkelamin jantan.
Seperti cicak muda lainnya, aku tidak tahu ibu bapakku.
Ketika aku menetas, aku keluar hanya berteman kesendirian dan beberapa telur yang belum menetas.
Mungkin itu saudara-saudaraku.
Aku telah yatim piatu sejak pertama kali menyembulkan kepalaku dari cangkang sempitku.
Aku ditinggal sendiri dalam gelap tanpa tahu harus berbuat apa untuk bertahan hidup.
Untung mataku tajam, hingga aku dapat melihat semua bayangan dan gerakan di sekitar.

Dua hari pertama aku tidak banyak melakukan aktivitas.
Sisa kuning telurku masih cukup untuk melepas dahaga lapar.
Sambil menunggu kulitku menebal dan tulang-tulangku menguat.
Cukuplah untuk membantu berpikir bagaimana caranya agar aku survive.

Satu demi satu, telur-telur, saudara-saudaraku, menetas.
Merekapun celingukan bingung hendak melakukan apa.
Mereka mencari tempat persembunyian untuk merawat tubuh yang masih lemah.
Merekapun tidak banyak beraktivitas.
Kuning telur mereka tentunya cukup untuk menghidupi mereka selama dua hari sebelum mereka, dan aku, mulai menjelajahi dunia asing tanpa bimbingan tangan ahli dan kasih sayang.
Dunia yang hanya dimaklumi lewat intuisi dan trial end error, yang jika salah harganya adalah nyawa.

Lapar adalah penggerak pertama keingintahuanku.
Seiring habisnya kuning telur, rasa lapar mulai menerjang kesadarankui.
Karena lapar, penglihatanku jadi semakin tajam dan penciumanku juga semakin awas.
Aku merasakan binatang yang berseliweran disekitarku baunya merangsang selera makanku.
Mereka beterbangan atau berlarian dengan cepat dengan ke enam kakinya.

Ternyata dalam kegelapan ada hiruk pikuk dunia yang menakjubkan.
Kerajaan semut yang saling bersalaman jika bertemu.
Dan kerabatnya rayap yang menggali setiap selulosa yang terpajang.
Rombongan nyamuk dan lebah yang menempelkan sarang di siku kuda-kuda atap.
Lipan, kecoa dan lain-lain makhluk yang bersinerji membuat ekosistem.

Aku merasa lapar, aku terdiam sambil menatap makhluk-makhluk kecil itu.
Tiba-tiba ada seekor nyamuk terbang mendekat.
Mataku yang kian tajam menangkap getar sayapnya.
Dan hidungku mencium lapar haus yang terpuaskan.
Tiba-tiba dengan refleks kujulurkan kepalaku sambil membuka mulut.
Nyamuk itu tertangkap dan langsung ku telan.
Ah, nikmatnya. darah daging yang mengenyangkan.

Aku kini mengerti cara menaklukkan lapar dan haus.
Setelah kenyang, kekuatanku pulih dan aku mulai berjalan keluar dari persembunyian untuk melihat dunia yang asing dan menggairahkan.
Dunia yang lebih luas dari cangkang telurku.

Setelah beberapa waktu berjalan, aku mulai mengenal lingkungan dan tetanggaku.
Di pojokan sana adalah daerah kekuasaannya si cicak gembul yang tak pernah kenyang berburu serangga.
Di ujung para ada sulaman rumah dari laba-laba penghisap cairan tubuh.
Biasanya bibi laba-laba tidak pernah bersinggungan dengan kami kaum cicak.
Tapi jika bibi laba-laba bertelur dan menetas, biasanya dia akan jadi galak karena anak-anaknya sering dijadikan santapan kami.

Ada binatang lain yang menghuni loteng ini.
Ada ibu tikus yang sering sekali melahirkan.
Entah sudah berapa ribu anaknya tersebar di sekitar rumah.
Satu-satunya alat KB untuk tikus adalah si kucing garong yang sangat lahap memakan cindil-cindil ibu tikus.

Saingan dalam mencari makan biasanya adalah cicak yang lain atau bibi laba-laba dan keturunannya.
Tapi kamipun suka jadi buruan binatang lain seperti kucing, misalnya.
Mereka senang sekali menangkap kami, lalu setelah tertangkap dilepaskan.
Jika sudah lepas, kami dikejar lagi hingga tertangkap. begitu berulang kali.
Sepertinya kami dibuat latihan oleh para kucing.
Setelah puas, biasanya kami dilepaskan dengan lelah yang amat sangat dan juga takut yang menggigit.

Ketika malam hadir, dan lampu dinyalakan, itulah saatnya kami, kaum cicak, mencari makan. Berburu tepatnya.
Aku baru keluar dari kegelapan para-para dan mendongakkan wajah.
Mencoba mencari letak dan mengukur jarak.
Di dekat lampu, ku lihat si cicak gembul sedang berjalan perlahan mendatangi mangsanya.
Dengan mata tajamnya, dibidiklah seekor wereng yang sedang mencoba mendekati cahaya lampu.
Ketika bidikan telah tepat, dan otot diregangkan untuk tangkapn terakhir, tiba-tiba ada sambaran di belakang dari sebuah kaki yang berkuku tajam
Indra ke enam cicak gembul bekerja, tapi terlambat, ketika akan menghindar tubuhnya telah tertimpa oleh kaki yang berbulu.
Dengan panik, cicak gembul memutus ekornya mengagetkan kucing.
Si kucing menoleh ke ekor putus dan terpana, si cicak gembul berontak melepaskan diri dan berlari cepat ke atas tembok dan bersembunyi di para.
Sang kucing mendekati ekor cicak gembul yang terus bergerak seperti hidup.
Dengan hati-hati kakinya mencakar ekor tersebut.

Aku terpana melihat kejadian itu.
Aku kagum pada keheroikan cicak gembul dalam mempertahankan nyawanya.
Pengalamanku bertambah mengenai daya guna tubuh cicak.
Aku jadi tahu alat mempertahankan diri bagi cicak, selain berlari sekencang-kencangnya.

Seiring pertumbuhan tubuhku, aku berburu mangsa makin menjauh dari tempat sembunyiku.
Di tempat gelap aku hanya makan nyamuk-nyamuk kurus.
Sedangkan di dekat lampu banyak serangga gemuk mengundang.
Karena selera makanku semakin besar, akhirnya aku memberanikan diri mendatangi lampu.
Mula-mula ragu-ragu, melihat kiri dan kanan takut ada pemangsa jahanam.

Memang resiko mendekati lampu besar, tapi makanan yang tersediapun sangat melimpah.
Dari mulanya hanya berani sebentar saja di dekat lampu dan hanya memakan beberapa serangga.
Akhirnya aku malah jadi lebih sering di dekat lampu ketika malam telah hitam.
Makanan melimpah, tubuh semakin besar. Ekor makin indah memanjang.

Di dekat lampu sebenarnya bukan berburu mangsa.
Malah lebih pada menikmati menu serangga yang beraneka.
Tanpa kerja keras, hanya menajamkan mata, serangga dengan sukarela mendatangi makan malamku.
Saking mudahnya mendapatkan makanan, akupun teledor.
Kewaspadaanku merendah, gerakku melambat karena timbunan lemak.

Malam itu, seperti biasa aku berada di dekat lampu neon putih.
Perutku sudah lapar karena seharian aku tidur di sudut gelap plafon.
Ketika berjalan telah kuangankan, aku akan makan apa saja.
Liurku menetes, langkahku ku percepat agar bisa mendatangi tempat pesta makanku.

Aku asyik menelan nyamuk gemuk, ketika seekor wereng tiba-tiba hinggap di depanku.
Cepat ku telan nyamuk tadi lalu kepalaku langsung kujulurkan ke arah wereng lezat.
Ketika aku hampir menangkap makan malamku, tiba-tiba di belakang ada bayangan.
Cepat bagai kilat menghampiri tubuhku.
Kaki belang berkuku tajam menerkam cekatan tubuhku.
Aku kaget dan takut, tubuhku tak berkutik.
Dalam panik aku ingat kejadian dahulu, si cicak gembul memutus ekornya untuk menyelamatkan diri.
Sigap, dengan sekuat tenaga ku putus ekorku yang gemuk.
Rasanya sakit dan pangkal ekorku mengeluarkan darah. Perih.
Ekorku terjatuh di tanah dan bergerak-gerak mengundang sang kucing untuk menangkapnya.
Kucingpun sigap menggigit tubuhku dan menelanku.hampir tanpa kunyah.
Ekorku tergeletak di lantai.
Geraknya semakin lemah, kemudian diam.

Kamis, 13 September 2018

PENDIDIKAN

Banyak tahun memamah ilmu
Menimba di tiap ajar
Mencari di mahal bimbingan
Bertanya ajuk pada bijak
Mencontek serupa gaya hidup
Hindari tatap awas
Menulis lembar pengetahuan
Sakit demi terampil
Sedikit luang hanya sibuk hafal
Waktu renggangkan asih asuh
Jauh dari kehangatan rumah
Mencari perhatian pada karib senasib
Mengejar waktu dikejar kurikulum
Laparpun tetap lahap buku
Mengunyah rumus
Pada akhir uji terampil pikir
Sertifikat didapat
Usia siap jalani kerasnya hidup
Namun langkah tetap tergagap mencari kerja

Rabu, 12 September 2018

KESEPIAN KITA

Kesepian kita
Kedap ekspresi
Lalu lalang di keramaian
Seumpama topeng
Tiada sapa
Hilang arah
Di rimba kata

Kesepian kita
Diam dalam tatap
Senyap mengendap
Lenyap menguap
Terasing rindu
Terpisah tembok
Bertirai duka

Kesepian kita
Hilang hening
Kenang terulang
Harap menghadap
Silap mengendap
Angin lalu
Dunia bisu

Senin, 10 September 2018

SIKLUS

Kering letikkan panas lelatu
Angin tiupkan kematian pada kobarnya
Melahap daun dan ranting serupa bara, merah
Asap membumbung hadirkan maut

Pohon menghitam terawang langit
Bau gosong sesakkan nafas
Tiap hidup yang bergantung
Tumpas lenyap dilalap api

Ketika amarah telah arang dan abu
Langit teteskan harap dari celah awan
Air basuh luka bumi perciki benih kehidupan
Tumbuhkan tunas dan daun, hijau

Sabtu, 08 September 2018

DAUN

Dan daun luruh berguguran dipelukan ibu bumi
Menanti isak langit di dahan ranting
Dibawanya semua warna kemarau yang menguning kering

Angin telah lelah memikul kerontang
Kadang bisikkan harap di puncak kulminasi
Mengusik burung tempua di pelepah

Daun jatuh dan bayang pohon memanjang
Rindangnya serupa pukau silau
Gemerisiknya khusyu lantunkan mantera hujan

Jumat, 07 September 2018

MENUJU SENJA

Tahun hilang dihanyutkan kenangan
Pergulatan tanpa tindak hendak
Ketika pijak tinggalkan langkah
Hati termangu menatap kesiaan

Telusur jejak di senyap sejarah
Seperti lagu tak nanti usai
Setiap tanda hadir kesadaran
Hanya sisakan letikan sesal

Senja terbata mengeja usia
Wajah menanti kepastian lalu
Kelabu rambut hanya pertanda waktu
Dan kita disini terdiam kian tua

Kamis, 06 September 2018

MENUNGGU GILIR

Lelaki tua lelap tekuni mimpi
Rebahkan lelah di bangku sunyi
Meringkuk berselimut ringkih
Pejamkan mata dengkurkan sepi

Perempuan tua tekuri bosan
Menatap waktu dan diam
Berdiri di kerumunan antrian
Menanti gilir kesempatan

Lelaki dan perempuan tua memikul letih
Dengan renta di pagi merepih
Usia tiada kecuali merapat baris
Sebab tiba menjadi batas garis

Minggu, 02 September 2018

MENGAPA SEMBUNYI

Kata tak akan melukis wajahmu utuh
Sekedar basa basi berdalih malu
Meski jujur tak nanti tampak hadap
Tatap lebih jelas dari seribu ungkap

Gambarmu lebih indah dari sosok
Sebagai cemas salah menilai diri
Berhentilah mencoba membaca hati
Sebab kasat mata telah cerna banyak

Mengapa sembunyi
Bila komunikasi
coba sambung silaturohim

Mengapa sembunyi
Jika membuka diri
campakkan benci

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...