Dia berdiri dalam remang
Matanya nyalang
Memandang kejauhan dari balik jendela
Napasnya mengembun di kaca
Di luar, horizon tampak temaram
Angin menyibak dedaunan dan mendesis
Hujan akan datang
Halilintar menyobek tirai langit
Gemuruh suaranya
Air berjatuhan dari sela-selanya
Miring tertiup angin
Kaca dipenuhi tetesan hingga buram
Matanya nanar
Mencoba mengurai kelabu abu
Dia tetap diam menatap
Menanti abah pulang dari sawah
Selasa, 31 Maret 2020
Jumat, 27 Maret 2020
DAUN JATUH
Selembar daun jatuh tertiup angin
Warnanya tua terkulai di bumi
Tatapnya nanar silau mentari
Tulangnya rapuh terpuruk sendiri
Sekejap lepas memutus ari-ari
Daun lapuk didera waktu
Tubuhnya rebah menghitung hari
Punggungnya bungkuk menanggung rindu
Daun jatuh dimana tanah dipijak
Tergelincir dalam lembab
Perlahan busuk menjadi humus
Bersama ibu bumi menjadi musim semi
Warnanya tua terkulai di bumi
Tatapnya nanar silau mentari
Tulangnya rapuh terpuruk sendiri
Sekejap lepas memutus ari-ari
Daun lapuk didera waktu
Tubuhnya rebah menghitung hari
Punggungnya bungkuk menanggung rindu
Daun jatuh dimana tanah dipijak
Tergelincir dalam lembab
Perlahan busuk menjadi humus
Bersama ibu bumi menjadi musim semi
PAGEBLUG
Musim memamah bumi lara
Rasanya sedikit asin air mata
Jubah kelamnya malaikat maut
Sendirian tanpa bintang utara
Seperti mendung yang menggantung
Runtuh menangisi kepedihan
Semua dilewatinya
Sisanya hanya sakit yang sekarat
Kehilangan yang abadi
Dan cerita yang jauh
Rasanya sedikit asin air mata
Jubah kelamnya malaikat maut
Sendirian tanpa bintang utara
Seperti mendung yang menggantung
Runtuh menangisi kepedihan
Semua dilewatinya
Sisanya hanya sakit yang sekarat
Kehilangan yang abadi
Dan cerita yang jauh
Selasa, 24 Maret 2020
KANGEN
Kangen mengotori pikiranku dengan dirimu
Wajahmu manis bulu domba. Lembut
Melayang di pelupuk
Seperti noktah tinta di kertas buram
Semua tentangmu terserap kering dalam ingatan
Terkadang aku mencoba menepis bayanganmu
Kupejamkan mata agar hilang dalam gelap
Yang terpampang hanyalah lekuk tubuhmu lengkap dengan ketelanjangan
Satu ketika kukorek abu sisa cemburu dengan telunjuk
Debunya naik ke langit-langit kamar
Menempel di sawang yang telah kotor jelaga
Kemudian menjadi fragmen-fragmen persinggungan ego kita
Menggiring semua tingkahmu menjadi rindu
Seperti remahan kue kering yang manis
Semua diperebutkan semut. Hitam maupun putih
Dikumpulkan jarahan dalam satu lumbung
Ditimbun lama di dasar intuisi
Hingga menguatkan aroma dan rasa
Wajahmu manis bulu domba. Lembut
Melayang di pelupuk
Seperti noktah tinta di kertas buram
Semua tentangmu terserap kering dalam ingatan
Terkadang aku mencoba menepis bayanganmu
Kupejamkan mata agar hilang dalam gelap
Yang terpampang hanyalah lekuk tubuhmu lengkap dengan ketelanjangan
Satu ketika kukorek abu sisa cemburu dengan telunjuk
Debunya naik ke langit-langit kamar
Menempel di sawang yang telah kotor jelaga
Kemudian menjadi fragmen-fragmen persinggungan ego kita
Menggiring semua tingkahmu menjadi rindu
Seperti remahan kue kering yang manis
Semua diperebutkan semut. Hitam maupun putih
Dikumpulkan jarahan dalam satu lumbung
Ditimbun lama di dasar intuisi
Hingga menguatkan aroma dan rasa
Senin, 23 Maret 2020
HOBI
Aku terperosok secara sadar
Ruang dan waktu menyandera
Akalku kian sempit
Dan mata merah nyalang
Seperti mengejar bayangan
Kegilaan merasuki setiap syaraf
Tak ada peduli atau tidak
Letih adalah kesalahan yang berulang
Konsentrasi serupa api tempa
Membesar ketika udara memuai
Asapnya memenuhi ruang
Mengepung hati sunyi
Setelah penyangkalan dan halusinasi
Sarang yang nyaman
Tiba-tiba kesadaran tergugah
Dan kita tetap bukan apa-apa
Ruang dan waktu menyandera
Akalku kian sempit
Dan mata merah nyalang
Seperti mengejar bayangan
Kegilaan merasuki setiap syaraf
Tak ada peduli atau tidak
Letih adalah kesalahan yang berulang
Konsentrasi serupa api tempa
Membesar ketika udara memuai
Asapnya memenuhi ruang
Mengepung hati sunyi
Setelah penyangkalan dan halusinasi
Sarang yang nyaman
Tiba-tiba kesadaran tergugah
Dan kita tetap bukan apa-apa
Rabu, 18 Maret 2020
HUJAN YANG LAIN
Hujan datang lagi
Pelataran rumah pun basah
Antara rumput kering dan kerikil
Angin semilir berbisik
Hujan turun serupa tirai
Tanpa wajah
Hanya menitik dingin
Hanya menitik dingin
Pelataran rumah pun basah
Antara rumput kering dan kerikil
Angin semilir berbisik
Daun pun kuyup
Di langit warna telah kelabu
Di langit warna telah kelabu
Hujan turun serupa tirai
Dibentang di kaki langit
Suaranya ritmis dan magis
Suaranya ritmis dan magis
Minggu, 15 Maret 2020
SELEMBAR TISU
Digenggamnya selembar kertas tisu
Warna putihnya telah berkurang
Sedikit lembab di sekujurnya
Sebab keringat di telapak
Diremasnya selembar kertas tisu
Hingga kusut putihnya
Dan emosi terperangkap
Sebab air mata membasahi
Dibuangnya selembar kertas tisu
Putihnya telah kotor
Dibungkusnya semua pedih peri
Sebab hanya tersisa sampah
Warna putihnya telah berkurang
Sedikit lembab di sekujurnya
Sebab keringat di telapak
Diremasnya selembar kertas tisu
Hingga kusut putihnya
Dan emosi terperangkap
Sebab air mata membasahi
Dibuangnya selembar kertas tisu
Putihnya telah kotor
Dibungkusnya semua pedih peri
Sebab hanya tersisa sampah
Jumat, 13 Maret 2020
JUM'AT ITU
Langit siang itu panas
Dari penjuru,
Dari penjuru,
naungan sayap malaikat
Di lantai direbahkan semua keluh kesah
Matapun nanar menatap
Di atas mimbar angin bertiup lembut
Kadang puting beliung,
Kata-kata sayup sampai
Sebelum dikejutkan oleh pengeras
Di lantai direbahkan semua keluh kesah
Matapun nanar menatap
Di atas mimbar angin bertiup lembut
Kadang puting beliung,
namun seringnya sepoi
Seperti dinina bobokan,
Seperti dinina bobokan,
mata menjadi berat
Kata-kata sayup sampai
Sebelum dikejutkan oleh pengeras
Ketika telah tunai,
bertebaranlah di muka bumi
Menjemput karunia
Menjemput karunia
Kamis, 12 Maret 2020
DARI WAKTU YANG BERBEDA
I. Asah
Sepasang kaki kecil berlari di pematang
Tertatih menjaga keseimbangan mengejar bayangan
Dan terperosok di lumpur sawah
Wajahnya merah mentari
Keringatnya menetes di pipi
Tiada tangis di matanya hanya binar riang
Tangan meraih rumput lalu menarik tubuh
Setelah berdiri jejak di atas dengan tegap
Kaki kecil kembali berlari mencoba menangkap capung
II. Asih
Kakak mencari cacing di bawah pohon pisang kepok
Tanah gembur di congkel dengan ranting
Dari gumpalan tanah humus ditariknya cacing gemuk merah
Lalu diletakkan di atas daun pisang
Di pinggir kali kecil di belakang rumah
Di bawah terik matahari siang
Kakak memegang pancing buatan sendiri
Dan air mengalir tenang berwarna coklat
Tiba-tiba tali pancing tegang tertarik
Kakak mengangkat pancing nya
Di ujung kail seekor ikan mujair meronta
Aku bertepuk tangan gembira
Ikan ditaruh di ember kecil bekas lego
Menggelepar mencoba membebaskan diri
Takut-takut jari kusentuhkan ke badan dan sisiknya
Rasanya empuk dan kasar sedikit anyir
Kakak memegang pancing dan ember di tangan kiri
Tangan kanan menggandeng aku
Kami berjalan bersama dengan riang
Meninggalkan sore menuju rumah
III. Asuh
Mata bening itu layu dengan sedikit garis merah
Pandangnya antara ada dan tiada
Ibu menggendongnya dan membaringkannya dalam kehangatan
Dinyanyikannya semua lagu tidur
Kupu-kupu yang terbang di antara bunga
Nina bobo untuk buah hati tercinta
Nyamuk yang sembunyi menanti ketika
Didongengkannya segenap kisah mimpi
Putri yang cantik dan pandai bernyanyi
Pangeran gagah menyoren pedang
Kuda dan makhluk ajaib
Terbang, merayap dan berenang
Mata bening itu menatap lurus
Pada bibir ibu terkasih yang bisikkan cinta
Hingga akhirnya mata padam
Masuk dalam dunia mimpi
Yang menghampar seluas kasur
Sepasang kaki kecil berlari di pematang
Tertatih menjaga keseimbangan mengejar bayangan
Dan terperosok di lumpur sawah
Wajahnya merah mentari
Keringatnya menetes di pipi
Tiada tangis di matanya hanya binar riang
Tangan meraih rumput lalu menarik tubuh
Setelah berdiri jejak di atas dengan tegap
Kaki kecil kembali berlari mencoba menangkap capung
II. Asih
Kakak mencari cacing di bawah pohon pisang kepok
Tanah gembur di congkel dengan ranting
Dari gumpalan tanah humus ditariknya cacing gemuk merah
Lalu diletakkan di atas daun pisang
Di pinggir kali kecil di belakang rumah
Di bawah terik matahari siang
Kakak memegang pancing buatan sendiri
Dan air mengalir tenang berwarna coklat
Tiba-tiba tali pancing tegang tertarik
Kakak mengangkat pancing nya
Di ujung kail seekor ikan mujair meronta
Aku bertepuk tangan gembira
Ikan ditaruh di ember kecil bekas lego
Menggelepar mencoba membebaskan diri
Takut-takut jari kusentuhkan ke badan dan sisiknya
Rasanya empuk dan kasar sedikit anyir
Kakak memegang pancing dan ember di tangan kiri
Tangan kanan menggandeng aku
Kami berjalan bersama dengan riang
Meninggalkan sore menuju rumah
III. Asuh
Mata bening itu layu dengan sedikit garis merah
Pandangnya antara ada dan tiada
Ibu menggendongnya dan membaringkannya dalam kehangatan
Dinyanyikannya semua lagu tidur
Kupu-kupu yang terbang di antara bunga
Nina bobo untuk buah hati tercinta
Nyamuk yang sembunyi menanti ketika
Didongengkannya segenap kisah mimpi
Putri yang cantik dan pandai bernyanyi
Pangeran gagah menyoren pedang
Kuda dan makhluk ajaib
Terbang, merayap dan berenang
Mata bening itu menatap lurus
Pada bibir ibu terkasih yang bisikkan cinta
Hingga akhirnya mata padam
Masuk dalam dunia mimpi
Yang menghampar seluas kasur
Sabtu, 07 Maret 2020
PANDEMI
Secepat panik merebak menerjang setiap benak
Berita membidik target serupa sniper
Menembakkan pelurunya ke satu titik luka
Bertubi-tubi melubangi akal sehat hingga menganak sungai
Seperti bisul dipaksa matang oleh kipasan rumor
Pecah dan nanahnya menutupi semua sisa kebaikan
Sedangkan matanya menjadi pusat magma pembohongan
Ketakutan menjadi sumbu utama chaos
Dibakar kabar yang ditiupkan dari pusat taifun
Sebab kekacauan adalah tambang emas bagi si tamak
Mengeruk segenap takut dan panik menjadi lembaran
Sedangkan pemilik hati hanyalah obyek
Dieksploitasi nyaman dan amannya
Disudutkan sakit dan cemasnya
Dikoyak ekonomi dan kesehatannya
Ketika segala duga prasangka telah berbaur dalam pikiran
Dan terpenjara di kedalaman lobang hitam putus asa
Semua obat dan kutuk direguk hingga tuntas
Sebagai harga yang dibayar untuk ketidaktahuan
Setiap orang hidungnya dicucuk seperti sapi perah
Setiap iklan dan rumor dimamah bulat-bulat
Sehingga kesehatan dan biaya menjadi hal yang absurd
Angin barat telah menyapu bersih ketidakpastian
Kematian terbilang dan kehidupan tidak terbilang
Berita telah hilang kutuknya
Emosi telah reda serupa gerimis
Harga telah tunduk pada pasar
Penyakit telah menakluk
Keuntungan kembali menipis
Kita semakin miskin dan rentan
Berita membidik target serupa sniper
Menembakkan pelurunya ke satu titik luka
Bertubi-tubi melubangi akal sehat hingga menganak sungai
Seperti bisul dipaksa matang oleh kipasan rumor
Pecah dan nanahnya menutupi semua sisa kebaikan
Sedangkan matanya menjadi pusat magma pembohongan
Ketakutan menjadi sumbu utama chaos
Dibakar kabar yang ditiupkan dari pusat taifun
Sebab kekacauan adalah tambang emas bagi si tamak
Mengeruk segenap takut dan panik menjadi lembaran
Sedangkan pemilik hati hanyalah obyek
Dieksploitasi nyaman dan amannya
Disudutkan sakit dan cemasnya
Dikoyak ekonomi dan kesehatannya
Ketika segala duga prasangka telah berbaur dalam pikiran
Dan terpenjara di kedalaman lobang hitam putus asa
Semua obat dan kutuk direguk hingga tuntas
Sebagai harga yang dibayar untuk ketidaktahuan
Setiap orang hidungnya dicucuk seperti sapi perah
Setiap iklan dan rumor dimamah bulat-bulat
Sehingga kesehatan dan biaya menjadi hal yang absurd
Angin barat telah menyapu bersih ketidakpastian
Kematian terbilang dan kehidupan tidak terbilang
Berita telah hilang kutuknya
Emosi telah reda serupa gerimis
Harga telah tunduk pada pasar
Penyakit telah menakluk
Keuntungan kembali menipis
Kita semakin miskin dan rentan
Kamis, 05 Maret 2020
BENCI
Kata-kata dituang perlahan
mengendap di dasar belanga
Diulanginya ucapan di setiap dengki
Hingga hafal segenap huruf yang menikam
Kita bersua sambil mengulang semua makian
Saling bersahutan berkerangka prasangka
Setiap premis yang dibangun
Meluluh lantakkan nurani
Sekadar akal sehat pun tenggelam
Diulanginya ucapan di setiap dengki
Hingga hafal segenap huruf yang menikam
Kita bersua sambil mengulang semua makian
Saling bersahutan berkerangka prasangka
Setiap premis yang dibangun
Meluluh lantakkan nurani
menjadi serpihan benci
Minggu, 01 Maret 2020
TERBERKATI
Dari mata langit kita menampung banjir
Sungai meneguknya dengan rakus kemarau
Dibilasnya kerontang hingga kubangan
Akar tercerabut dari haribaan
Sedangkan ibu telah hilang pusaka
Di perutnya bumi merah rekah mengering
Kulitnya kisut dengan selarik ilalang
Seperti luka disekujur yang renta
Zaman bercerai dari bumi yang rentan
Dari rahimnya asap merabu langit
Kemanusiaan sesuai bilah bermata dua
Sebagai syahwat dan ketakutan ilahiah
Sungai meneguknya dengan rakus kemarau
Dibilasnya kerontang hingga kubangan
Akar tercerabut dari haribaan
Sedangkan ibu telah hilang pusaka
Di perutnya bumi merah rekah mengering
Kulitnya kisut dengan selarik ilalang
Seperti luka disekujur yang renta
Zaman bercerai dari bumi yang rentan
Dari rahimnya asap merabu langit
Kemanusiaan sesuai bilah bermata dua
Sebagai syahwat dan ketakutan ilahiah
Langganan:
Postingan (Atom)
ANAK
Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...
-
Malam itu hanya ada gerimis Tak ada teman yang lain Bayi suci menangis di gendongan. Lapar Sedangkan tete ibunya kempes Malam itu kudus Kar...
-
Lusi di langit dengan hati (dalam) perjalanan ke pusat hati (dan) mengetuk pintu hati (ucapkan) selamat datang ke hatiku Seseorang di dalam ...
-
Saat itu malam hanya butuh istirahat Tiba-tiba hujan mengerubunginya Suaranya liar dan menggelegar Seperti langit akan runtuh Pohon ketakuta...