Sabtu, 08 Desember 2018

CATATAN SABTU

Bersua hari di pucuk muda angsana
Pagi menari layaknya selendang pelangi

Kicau burung sapa mentari sejarak penggalah
Melompat di bilah ranting dan kepakkan sayap

Segenap rencana tuntas kepung malam
Titik sua tetaplah janji terucap

Sabar! Tiada hingga sore memandang Barat
Langit menulis ketentuannya. Pasti

Awan melepas amarah dan gemuruh hitam
Hanyutkan harap pertemuan

Cemasku sejumlah deras meredam hati
Menghapus semua catatan Sabtu

TAK DAPAT KELUAR DARI BENAK

Emosi coba hempaskan
Ketika kau mengajuk lemah
Isak sedu tertahan
Rintih airmata

Cemas kata yang ruah
Sebagai rengek tiada kerap
Harga diri telah gadai harap
Prasangka tetap halangi tatap

Gelap mata telah sembilu
Amarah menjadi yang ke tiga
Ku rapal setiap sumpah
Kau tetap tak dapat keluar dari benak

DI BAWAH SATU LANGIT

Natal melingkupi bumi dan hujan berderai
Genta berdentang kudus menguak sunyi
Lantunan lagu puji menebar harap
Bisikan doa mengoyak senyap

Sawah kembali menghitam sebab lembab mengendap
Menanti karunia tangan terampil menganyam nasib
Ketika matahari hampir sisakan lelah
Alunan panggilan dari surau desa berkumandang mengundang

Malam ketika detik hadir menyala leleh lilin
Pinus dan terang tanda datang putih bulan
Keluarga berkumpul sekitar hangat tungku dan khotbah
Mengenang harap menjelma bayi suci

Salam dan doa takdzim dibisikkan
Makan malam tempat berceloteh tentang hari
Ketika kantuk mengantar ke peraduan
Hati berharap bersua di sepertiga malam

TIDAK BERUBAH

Lonceng besi telah usai berdentang
Tanah lapang sendiri dan sepi
Matahari belum lagi sepenggalah

Kita selalu bersanding di halte yang sama
Dengan topeng tergores sedikit cemas
Menanti teriak serak kondektur

Mataku selalu menghampiri diammu
Berupaya ramah lewat sinar mata yang menyelinap di kerumunan
Dan hatiku menyapa mesra dengan tersipu malu

Kerumunan wajah menyesaki tangga
Kau melangkah perlahan jauhi senyumku
Sebagian debarku hilang terbawa angin

Aku nanar mengawasi segenap bayangmu
Sesaat menghilang di balik kaca retak
Aku termangu dan cemas melepas wajahmu

Lonceng besi telah usai berdentang
Tanah lapang sendiri dan sepi
Matahari melewati sepenggalah

RUMAH TIADA PINTU

Rumah tiada pintu dengan sokoguru kayu gaharu
Berdiri murung di atas bukit penantian
Atapnya rumbia dijalin dari pelepah langit
Menepis hujan pertama musim gulana
Dan panas gerhana malam tanpa bintang
Angin berhembus masuk menyapa setiap sepi

Rumah tiada pintu bercat suram temaram
Aksennya menjadi sebentuk jendela hati
Hiasan renda putih mengusik buram kaca
Sepotong pedih teraling sepanjang teralis
Memisahkan luasan dunia berwarna harapan
Dari sempit kecewa di ruang senyap

Rumah tiada pintu mendongak congkak
Tegak sendiri di hamparan rumput lamping bukit
Jalan setapak menanjak miring belok berkelok
Mengiringi langkah menginjak jejak kepastian
Di punggungnya batu padas tertanam menghujam
Pagar bata hijau lumut memisah dunia fana

WAJAH SILAM

Menyusun potongan tak lengkap wajahmu
Serupa mengais ingatan dari timbunan
Setiap bilah garis yang berkarat oleh waktu
Masih menyisakan samar yang memudar

Kadang senyummu sekilas melintas
Lalu aku tergesa mengeja setiap pertanda
Dan dari kedalaman rindu tak berdasar
Kesadaran mencoba mengingat siluetmu

Ketika guratan ingatan hanya sanggup melukis bayangmu
Air mata menguatkan sisa jejal hadirmu, kekasih
Hati sibuk menjalin harap dan memintal duka
Kau tetap hilang dalam keabadian

SEPUTAR PAGAR

Pagar melintas semak rebah berserak
Memanjang menerjang terang terawang
Putih senja luruh sebagai tirai
Berhias kuntum bunga dan daun kering

Tugu tua menjaga keping kenangan
Mengapit gerbang menarik larik sunyi
Semut berbaris mengais garis
Bayang perlahan hilang di rembang petang

Lampu taman sertai bulan yang sabit
Kuningnya memeluk dampingi diam
Malam menghindar sergapan pemangsa
Pagar menahan sepi menanti pagi

SATU MALAM SEBUAH KISAH

Malam renta bulan muram berduka
Kemarau merasuk hingga sudut malam
Bintang gemilang merajah langit
Dua sosok bayang berjalan perlahan
Dipandu temaram sinar bulan padang gurun
Langkah mereka tetap menghadap
Sepatu kulitnya bertabur pasir dan desir

Di depan, sebuah gubuk kecil
Beratap rendah pelepah kurma kering
Temboknya dilabur lumpur kuning
Terpencil dan menggigil tersapu angin
Dari jendela selarik cahaya menerangi
Samar dan redup menjangkau luasan di luar
Bayangpun bergerak ikuti lidah api

Sayup terdengar suara tangis
Tangis lapar yang bahkan kantukpun tertindas lenyap
Sehingga hanya tersisa erangan sumbang tanpa tenaga
Dan helaan nafas berat pasrah
Memungut putus asa yang berserak di lantai
Hingga remahan mimpipun mereka lupa mengenangnya

Kedua pria, berjalan mendekati kekumuhan asali
Pria tinggi besar dengan sorban menutup botaknya
Bergamis lusuh tambal sulam
Menjulurkan kepala pada jendela kecil
Dimana mengalir udara pengap
Dan temannya, berjanggut kaku dan panjang
Berwajah pemikir
Mengikuti di belakangnya 
Sambil menatap sekitar dengan tatap elang

Maaakkk, lapar...!!!
Sambil menangis air mata
Ucap seorang anak kurus
Di sebelahnya, adiknya
Terbaring dan terisak nyaris tanpa suara
Tangannya bersedekap
Memegang perutnya yang tipis

Iya nak, sebentar lagi masakan emak matang
Sabar ya, nak...!!!
Sahut si emak lembut
Sambil memutar sendok besar di kuali panas
Kayu dimasukkan ke dalam tungku
Dan api kian besar
Meninggalkan bayangan yang bergoyang di tembok
Suara didihan air memenuhi ruang sempit
Dan anak-anak tetap meringkuk di gombal lusuh

Sekian lama tak terjadi apapun
Makanan tetap belum diangkat dari tungku
Sedangkan suara tangis makin mendekati rintih
Mata-mata kecil menatap sayu
Emak tetap memasak 
Sambil senandungkan lagu tidur
Meninabobokan anak-anaknya
Agar lupa lapar bertukar mimpi

Pria besar botak bersorban hilang sabar
Diketuknya pintu ringkih gubuk reyot
Sambil uluk salam pada penghuninya
Sebentar kemudian pintu berderit terbuka
Ibu kurus, pucat dan bungkuk menatap tanpa kejap
Hatinya berdegup melihat dua pria asing

Tanpa permisi lagi
Dengan langkah lebar
Pria besar botak bersorban mendatangi tungku
Seraya berucap, mengapa lama sekali masaknya?
Tidakkah kau kasihan 
Melihat anak-anakmu menangis karena lapar?
Lalu dibukanya tutup kuali
Di dalamnya air bergolak
Dan beberapa butir batu mendidih direbus

Apa ini?, dengan tercengang berucap
Mengapa memasak batu?
Sambil menunduk ibu kurus itu berujar lirih
Saya seorang janda miskin
Pekerjaan tidak tetap
Siang tadi saya keliling kampung
Hasilnya nihil
Tak seorangpun mau menggunakan tenaga saya

Hari ini saya tidak bisa membeli bahan makanan
Mencari kurmapun sudah habis
Karena anak-anak lapar
Saya bohongi mereka dengan memasak batu
Agar mereka punya harapan makan
Sambil menunggu masak
Dengan berselimut lapar
Semoga mereka bisa tertidur

Para petinggi tak ada yang peduli
Mungkin mereka tidak pernah tahu
Ada rakyat yang sengsara kurang makan
Mereka memerintah dari kursi tinggi
Tiada toleh kehidupan rakyat
Puas dengan laporan sepihak
Senang delegasikan wewenang 
Pada yang bukan ahlinya

Seperti tersambar petir
Pria besar botak bersorban itu terhenyak
Hatinya teriris
Menangis dan meratap dalam doa
Ya Tuhan, hamba telah pungkiri amanatMu
Dan sia-siakan titipanMu
Hamba telah cederai hati hambaMu
Betap berdosanya hamba
Dan cukuplah Engkau sebagai saksi
Ampunilah dosa dan teledorku
Singkirkan sombong dan berleha dari diriku
Hamba hanya berharap ridhoMu

Bergegas ia meninggalkan gubuk miring itu
Temannya, pria berjanggut kaku panjang bertanya
Hendak kemanakah engkau, ya Al Faruq?
Kau tetap jaga di rumah ini, sahabatku
Aku hendak mendatangi Baitul Mal
Dengan langkah lebar ia menembus malam
Dan meninggalkan sedu sedan nan lapar

Baitul Mal sebuah gedung besar
Megah dengan pintu gerbang bermotif geometris
Para penjaga berdiri dan memberi hormat
Ketika Pria besar melintasi dengan langkah lebar
Menyeret jubah lusuhnya
Terus memasuki Baitul Mal

Di dalam ia bertemu pengawas Baitul mal yang bertanya
Adakah gerangan malam pekat mendatangi Baitul Mal,
ya Al Faruq?
Pria botak itu tidak menjawab
Tetap melangkah menuju gudang penyimpanan
Di sana ia memanggul sendiri
Sekarung gandum pecah
Sebotol kulit minyak zaitun
Sekati daging kering
Dengan terbungkuk dipondongnya semua
Lalu melanjutkan langkah

Sesampainya di gubuk
Pria besar botak bersorban
Meletakkan panggulannya di pojok kumuh
Sambil mengusap peluh yang menjuntai di jenggot
Ia nyalakan api di tungku
Kemudian dengan tangannya sendri yang besar
Is mulai mrmbuat adonan
Lalu dipanggangnya adonan
Dan dimasaknya sayur daging

Setelah matang
Anak-anak kelaparan didudukkan berjajar
Di depannya diletakkan roti gandum
Yang masih panas dan harum
Dan sayur daging berkuah lemak
Sang ibu pun turut duduk disanding anak-anaknya
Mereka makan dengan lahap
Suara kecapnya berebutan dengan ingus
Ketika telah nyaman karena kenyang
Mereka tertidur nyenyak beralas mimpi

Engkau telah menetapkan standar yang terlalu tinggi 
untuk penggantimu, ya Al Faruq
Sahabat berkumis panjang dan kaku berucap
Engkau membikin susah dan kikuk penggantimu

Hai sahabat,
Aku tidak rela rakyat di bawah perlindunganku sengsara
Bagaimana aku bisa bertemu Sang Khaliq dengan lega hati
Jika masih ada rakyatku yang sengsara dan aniaya
Sedang doa orang teraniaya tanpa hijab
Aku takut sekali pada hisaban di hari akhir nanti

Karena itu umumkan maklumatku segera
Semua daerah di bawah panji iman
Bayi-bayi yang baru lahir harus disusui selama dua tahun
Janda-janda dan orang tua disantuni dengan pantas
Tidak boleh ada rakyat yang kelaparan

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...