Selasa, 31 Desember 2019

DETIK-DETIK

Buana melepas gaun musimnya satu per satu
Hingga nyaris tiada daun menutupi lekuknya
Dihamparkannya tubuh indahnya di mana mata memandang
Dari punggungnya yang subur angin meniup matahari merona

Kelambu ditarik berwarna senja yang basah
Perlahan menghapus senyum terakhir Batara Surya
Langit menitikkan gelapnya sedikit demi sedikit
Di balik tirainya bulan dan bintang berwarna kunang-kunang

Jagad alit menelan segenap gaduh dan gundah
Waktu jua ditimbang dan dionggok bak besi tua
Tanpa saringan diperasnya keringat kehidupan
Serupa pupuk disebar di seluruh hati dan pikiran

Ketika telah manunggal tujuh jagad dalam satu garis nasib
Segenap waktu mengalir di satu kubangan. Emosi dan euphoria.
Setiba di batas persimpangan langit, bumi dan hati
Malam telah berganti majikan

Sabtu, 28 Desember 2019

MENANTI DI BAWAH POHON KAMBOJA

Dia tekun menenun langit
Diwarnainya biru dengan bilah mentari
Tangannya sibuk memilin awan hingga serupa benang
Lalu diselipkan diantara pagi dan petang

Ketika itu siang telah jelas polanya
Dengan hati-hati diselinginya warna terang dengan kepak sayap
Sedang alat tenun terus berbunyi ritmis
Sambil bersenandung dia menyelipkan awan dan teduh diantara birunya

Dia telah mencapai tenunan senjanya
Warna merahnya berseling emas memperindah lembar langit
Di akhir, tenunannya tertinggal satu nuansa. Kelam.
Sedang aku tetap menanti di bawah pohon Kamboja

Rabu, 25 Desember 2019

TARIAN PEDANG

Di bawah kilatan sinar
Gadis suci menari pedang
Bajunya berkibar serupa bayangan
Di dahinya susu sejalur keringat

Tarian bergulung gemulai
Langkah menapak awan
Pedang menunjuk hati
Dikibas membelah ruang

Pedang menggores lingkar
Lingkaran besar lingkaran kecil lingkaran penuh
Tubuh seringan kapas tertiup angin
Tangan dan kaki bergerak anggun

Ketika akhirnya lingkaran mengecil menjadi titik
Larik pedang bersatu dengan tubuhnya
Tangan menghormat pada langit
Mata pedang menghujam bumi

Senin, 16 Desember 2019

PERJALANAN

Jarak melambat 
Kian jauh tertinggal
Tercecer di sekitar malam

Pikiran lompati waktu
Mengerang rindu 
Ketika tubuh terpaku

Menyibak kantuk
Mata nyalang
Datangi janji temu

Jumat, 13 Desember 2019

PERANG

Seperti yang sudah
Perang tinggalkan potret hitam putih
Tercerabut dari akarnya
Terasing dari kemanusiaan
Tanah leluhur lebur jadi kubur
Tak berwajah seperti bayang memudar
Sendi adat cerai berai diterjang lapar hingga dahaga

Setiap sobekan luka adalah catatan sejarah
Anak menggerayang mencari pentil ibunya
Istri berlindung di bawah bayang ketiak kurus suami
Ayah gemetar berdoa menadahkan cemas
Adik menatap lewat bola mata bening di sisi kakak
Lelaki dan perempuan bersatu dalam bau keringat yang sama

Pesawat terbang meraung menembaki nasib jelata
Mencacah daging hingga terlepas dari tulangnya
Dan jeritan meraung adalah koor pengiring dentuman
Di palagan jagal saling membantai atas nama Tuhannya
Menggantung takutnya di ujung bayonet
Dengan topi baja berlumpur dan mata terpejam
Dikokangnya pelatuk yang gemetar sebab dosa
Dibidikkan pada tangis di balik rimbun semak dan timbunan mayat

Berlarian di padang perburuan ke segala penjuru
Seperti gabah ditampi di tampah
Jelata hanya dengan berbekal nyawa selembar
Berlindung berkamuflase takut yang mencengkeram
Berjudi dengan desingan peluru buta
Mengejar semangat melalui padang ranjau
Dan berakhir di tangan sang maut


Selasa, 10 Desember 2019

PENUNGGANG ANGIN

Matahari melepas tudung awan kelabu
Hujan merontokkan diri
Memandikan segenap warna layu

Langit kian buram
Halilintar merobek tenunnya

Angin melepas tali kekangnya
Dengan liar menerjang pohon

Ketika amarah telah terbang jauh
Sisa hujan menggenang dan mengalir
Bianglala menyibak musim kering

Minggu, 08 Desember 2019

LEBIH SATU LANGKAH

Langkah terseok lintasi jalan terik berbatu
Tubuh bungkuk menanggung beban usia
Mata tuanya menatap fatamorgana
Sedang matahari pancarkan silau
Tiada awan melepas sejuk menahan kilau

Sambil ayunkan langkah pikirnya berkelana
Mengenang semua jejak nasib
Terbayang pembunuhan pertamanya
Usianya tidak lebih lima belas putaran matahari

Malam mengendap sembunyi dalam gelap
Menanti nenek pulang shalat
Bayang tubuh menyatu dengan pelepah kurma
Sabar menanti rejeki menghampir

Dikejauhan terlihat bayangan bergelak
Perlahan mendekat
Dituntun sinar bulan separuh
Hati tegang wajah tertutup secarik kain

Di depan pintu
Mendadak menyergap dan teriak
"Serahkan harta!"
Nenek menjerit coba melawan
Pisau hujam dalam ke ringkih tubuh

Terkulai bermandi darah
Ditariknya cincin dan kalung
Dicarinya kantung uang
Lalu tinggalkan nenek terkapar
Dengan gesit lari berselimut gelap
Nenek kubunuh dengan tanganku

Hari berganti minggu
Berganti bulan
Berganti tahun
Jalan hitam ditempuhnya
Dosa direguknya

Rampok, todong, mencuri mata pencahariannya
Madat, candu, tuak makanannya
Judi hiburannya
Wanita di tiap perlintasan kekasihnya
Menumpahkan darah kebisaannya

Jika bosan pada kebebasan
Dirampoknya saudagar
Dilayangkan nyawa tiada dosa
Sambil sesumbar pada dunia

Penjara menjadi persinggahannya
Hotel dengan segala fasilitas. Gratis.
Dimana kedudukan diukur dengan keberanian
Kepemilikan atas dasar kekuatan

Penjara menjadi surganya
Berjudi dan mabuk hiburannya
Kamarnya sebagai tempat audiensi
Bagi pengecut dan penjilat
Jika birahi naik
Diselundupkan wanita malam oleh sipir
Atau memilih lelaki gemulai yang siap disodimi

Surga diletakkan dalam sel
Semua kemudahan tersedia
Setiap orang merunduk
Preman, pemerkosa, sipir bahkan tamu
Hanya satu yang menjadi akhir. Bosan

Matahari menukik ke barat
Bayangnya memanjang silam
Rambut telah perak
Usia tinggi tonggak
Tubuh telah lemah didera sakit

Kesadaran menyelinap
Sesal mengendap
Dicarinya penerangan
Pembasuhan luka sebab dosa
Sedangkan nyawa genap sembilan Sembilan
Menjadi tumbal tangan berlumur

Dengan tertatih
Membawa tubuh renta
Oleh tua dan penyakit
Dibimbing kesadaran diri
Mencari ampunan segala dosa melata
Didatanginya majelis tinggi ilmu
Tepat bersemayam segenap suci dan baik
Dimana kursinya memancarkan kemuliaan
Dan diduduki oleh pemegang segala benar

Didekatinya sangat ilmu
Ditanyakan tentang tumpah darah sembilan sembilan
Adakah ampunan untuk pelaku?

Dengan serapah dan nada tinggi sang ilmu menjawab
Tiada ampun atas dosa
Tiada maaf atas tumpah darah
Tiada surga bagi pendosa

Iapun bermata gelap
Putus asa pada fatwa
Habis sudah harap
Digenapinya dosa nestapa
Dicabik-cabik perut sangat ilmu
Darah memenuhi lantai
Tubuhpun rubuh
Genap seratus dosa tertulis

Ditinggalkannya kericuhan di majelis
Dibawanya tubuh renta menuju matahari
Pikiran kusut
Hasrat tetap ingin menghapus dosa
Kembali ke dalam fitri

Di tengah jalan
Menuju majelis guru suci yang lain
Tubuh terjatuh sebab sakit penyakit
Di antara sesal nyawa meregang
Meninggalkan fana

Penjaga surga dan neraka bersitegang
Merasa berhak atas pendosa
Hati tobat harga surga seratus harga neraka
Hingga terbit keributan di langit
Dan mengguncang singgasana di atas air

Para penjaga mendatangi Sang Pemutus
Mencari fatwa bagi jiwa yang berlumur
DiperintahNya untuk menghitung jarak
Antara ke seratus dan jasad
Antara jasad dan terminal tobat terakhir

Dengan teliti keduanya menghitung setiap langkah yang tertinggal
Dan segenap jarak yang tersisa
Hingga lebih satu langkah menuju ampunan

Kamis, 05 Desember 2019

SUSUK

Sebuah sedan memasuki pekarangan luas.
Di kiri kanan pekarangan rimbun pepohonan.
Sawo, rambutan, mangga, kelapa.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah. Besar.
Model Jawa kuno.
Jendelanya banyak dengan pintu kayu berukir.

Pintu belakang mobil terbuka.
Keluarlah seorang wanita pertengahan tiga puluhan.
Cantik dan berdandan rapi.
Juga wangi.

Dengan langkah anggun, perlahan ia menaiki tangga.
Lalu berhenti di depan pintu.
Kemudian tangannya dijulurkan.
Mengetuk pintu yang sedikit terbuka.

Tok.... tok.... tok....
"Sepada....!"
Ditunggu sejenak. Hanya ada hening di dalam.
Lengannya yang putih mengetok kembali.

Dari ruang tengah terdengar suara langkah.
Lalu suara jawaban melengking menjawab.
"Wa alaikum salam, Inggih...!!!"

Datang seorang ibu setengah baya.
Berpakaian sederhana lengan panjang.
Roknya sampai di mata kaki.
Dan menutupi kepalanya dengan jilbab pendek.

"Permisi, Bu, apakah mbah Kyai, ada?", tanya si wanita cantik.
"Inggih, wonten! Ada perlu apa, ya?", tanya wanita setengah baya.
"Ada keperluan. Tolong disampaikan ke mbah Kyai".

Lalu ibu setengah baya tadi pergi ke dalam.
Dan keluar bersama seorang lelaki berusia pertengahan.
Wajahnya sederhana dan pakaiannya juga.

"Mbah", sahut si wanita cantik.
Lalu mengambil tangan lelaki tersebut dan menciumnya.

--- oo(O)oo ---

Ruang tengah yang luas.
Suasana lebih temaram. Sintrum.
Sinar masuk dari pintu yang setengah terbuka.
Dan dua buah jendela di kiri kanan tembok.

Empat buah soko guru menopang langit.
Dari kayu sono keling.
Kursi dan meja berjejer.
Plastik, kayu, kulit dan beludru tiruan.

Di samping, mepet tembok, sebuah lemari besar berkaca.
Isinya buku-buku bertuliskan arab gundul.
Sebuah potret lukisan seorang lelaki brewok bersorban terpampang.

Meja penuh dengan toples.
Isinya makanan kecil dan permen.

Wanita cantik duduk di sofa beludru kumal.
Ada bolong di pojoknya.
Pantatnya digigit kutu busuk. Gatal.

Dihadapannya segelas air sirup hangat.
Gelasnya ditutup tatakan plastik.

Diseberang, menghadap lelaki pertengahan.
Mengenakan kemeja dan sarung.
Kepalanya ditutupi kopiah putih.

Duduk tenang di kursi rotan.
Pandangnya dalam kepada wanita cantik tersebut.

Setelah sekian waktu terdiam.
Wanita cantik itu berkata dengan khusyu.

"Mbah Kyai, maksud kedatangan saya ini, pertama, untuk silaturohim".
"Kedua, saya punya hajat terhadap Mbah"
"Yaitu saya ingin dirumat agar saya mempunyai penarik yang kuat"
"Penarik agar suami saya semakin sayang kepada saya"

Pria setengah baya tadi memperbaiki duduknya.
Suaranya pelan dan halus menjawab si wanita cantik.

"Maksud panjenengan saya mafhum".
"Saya bisa mengerjakannya".
"Mau pasang seluruh tubuh? Atau....? ".
"Mau yang khasiatnya permanen, atau sementara? ".

"Pakai emas perak atau berlian? "
"Maharnya tergantung bahan yang digunakan".

--- oo(O)oo ---

Malam telah melewati batasnya.
Udara menggigit dan suara malam terdengar sayup.

Kamar itu terletak di belakang rumah besar.
Di dalamnya hanya ada amben dan kursi kayu.
Serta meja kecil tempat uba rampe terletak.

Tidak ada jendela sehingga agak pengap.
Dindingnya di kapur putih.

Mereka duduk berhadapan.
Wanita cantik itu duduk di pinggir amben.
Lelaki setengah baya duduk di kursi kayu.

Di sebelah kiri lelaki setengah baya terletak meja.
Di atas meja dibentangkan kain putih. Mori.
Di atasnya tergeletak jarum halus berwarna kuning. Emas.
Di atasnya tergeletak jarum halus berwarna putih. Perak.
Di atasnya tergeletak beberapa inten.

"Sebelum memulai pemasangan, harus diingat beberapa pantangan!"
"Jangan makan jantung pisang".
"Paham?"
"Ya!"

"Jangan makan kelor. Baik daun maupun buahnya!".
"Jangan melewati, melintasi bawahnya jemuran".
"Monggo kita mulai. Dari wajah".
"Kalau sakit bilang, ya!".

Mulutnya mulai berkemak kemik.
Matanya tertutup.
Kedua telapak tangannya menghadap mulutnya.
Setelah selesai berkemak kemik, telapak tangannya ditiup.
Lalu telapak tangannya dibasuhkan ke wajah wanita cantik itu.

Diambilnya sebuah jarum dari atas mori. Emas.
Dipegangnya wajah si wanita cantik di dagunya.
Wanita cantik itu menutup matanya.
Perlahan ditusukkan jarum halus itu di pelipis kanan.
Tepat di sebelah mata kanan.

"Sakit?".
"Tidak. Hanya seperti digigit semut".

Demikian dilakukan berulang-ulang.
Di wajah si wanita cantik oleh pria setengah baya itu.
Di pelipis kiri, di bawah bibir, di dagu dan di pipi.

"Monggo di buka blousenya!".
"Saya hendak menggarap tubuh, sekarang".
Sahut pria setengah baya lembut.

Perlahan jarinya yang lentik membuka kancing blousenya.
Terpampang dada dan perutnya yang kencang dan putih.
Payu daranya padat dilindungi oleh BH berwarna creme.

"Monggo BH nya dibuka!"
"Saya mau mulai dari susu dulu!".

Kedua tangannya menuju ke punggung.
Dengan cekatan membuka kaitannya.
Lalu meletakkan BH nya di pangkuan.
Payudaranya menatap pria setengah baya.
Putingnya coklat.

Kembali mulutnya berkemak kemik.
Telapak tangannya menghadap mulut.
Setelah selesai berkemak kemik, lalu ditiup.

Dan lengan kirinya diletakkan di payudara sebelah kanan.
Menutupi puting.
Tangan kanan  meraih tiga buah jarum emas.
Perlahan satu per satu ditusukkan.
Di bawah, sisi kiri dan kanan dari payudara.

Demikian dilakukan berulang untuk payudara yang kiri.
Demikian dilakukan berulang untuk perut. Kiri dan kanan.

"Untuk yang terakhir. Tersulit".
"Saya akan memasang susuk inten di gua garba"
"Monggo rok dan celana dalamnya dibuka"
"Dan silahkan tidur di amben"

Lalu wanita cantik itu berdiri.
Dipelorotkannya roknya.
Dipelorotkannya celan dalamnya yang berwarna senada dengan BH nya.
Lalu ia merebahkan tubuhnya tengadah di dipan.

Lelaki setengah baya kembali berkemak kemik.
Tengadahkan tangannya.
Telapaknya menghadap mulutnya.
Lalu ditiupnya perlahan.

Diambilnya inten dari atas mori.
Lalu dicengkeram di bibirnya.
Wajahnya dialihkan ke atas tubuh bagian bawah wanita cantik itu.
Kedua tangannya memegang paha putih dan melebarkannya.
Wajahnya perlahan turun sambil mengulum inten.

Rabu, 04 Desember 2019

AMBILLAH NAFASKU

Ambillah nafasku
Renggutlah dari mati surinya
Letakkan di dada paling gemuruh
Hingga bersatu menjadi duka

Ambillah nafasku
Hiruplah hingga sanubari terdalam
Dan berserak bercampur rindu
Dalam impian semusim

Ambillah nafasku
Sebelum ia menjadi udara
Yang hanya dapat dikenang
Dan hilang mengikuti deru debu

Senin, 02 Desember 2019

SEBUAH LAGU UNTUKMU

Sebenarnya segala tingkahmu adalah nada
Ketika bicara suaramu alunan suasana
Diamnya sebagai senyap yang indah
Dan kau genap orkestra di pelupuk cinta

Aku sedang menimbang not-not
Dari pustaka kenangan
Kesusun di larik bahagia
Hingga semua terhubung
Dengan tanda rindu
Lalu kutulis di lembar pikiran
Agar mudah dikenang
Dan dinyanyikan oleh nestapa

Saat itu matamu kejora menatap langit
Tanganmu menunjuk serupa konduktor
Mulut mungilmu mengalun nada tanpa kata
Dan aku hanya terpana hingga diam

Ketika perbendaharaan kidung telah tuntas
Tiada tersisa di lipatan ingatan
Kupetik senyum dan kerlingmu
Juga sedikit bahasa tubuhmu
Lalu kusatukan di garis birama
Dengan tangga nada bisik namamu
Hingga menjadi ode cinta
Dan kulayangkan lagu ini lewat angin lalu

Minggu, 01 Desember 2019

TAJAM

Lidah diletakkan di batu asah
Mata hatinya diperciki amarah
Perlahan diasahnya kedua sisi
Hingga tajam segenap kata

Setelah kilau tajamnya
Dibakarnya bilah di atas bara duka
Kemudian dengan suara berbisik
Ditusukkan semua kata hingga luka

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...