Rabu, 31 Oktober 2018

SETERU DAN TARUNG

Ludah terbiasa perciki amarah
Suntik tuba ke nadi akal sehat
Sekecap kata hanya debur ombak
Pecahan tajam kontestasi

Ketika benar serupa piala
Setiap babak adalah umpat
Garang tolok ukur ucap
Lidah berkilah api memijah

Seteru dan tarung terluka
Segenap tipu menjadi daya
Seperti materi dan anti
Semua lebur jadi nihil

Selasa, 30 Oktober 2018

KELAHIRAN KEHIDUPAN


Kelahiran adalah catatan takdir
Tergores di lembar waktu
Dengan warna rindu mendelu
Sebagai termaktub oleh kasih

Kelahiran berdegup harap cita
Genggam cinta pada detak bahagia
Segenap senyum sematkan rindu
Hangatkan peluk tangisan haru

Kehidupan sebagaimana hitungan nasib
Jaraknya terukur oleh baris kecewa
Dihias segenap onak tajam
Berkelok seumpama jalan berbatas pikir

Setiap lelah yang terhempas
Ada harap yang menghampir
Ketika batas air di titik nadir
Sirna beban hilang sukma

Akhir lelaku dusta hanyalah ajal
Catatan maut dan pertautan usia
Hitungan jurnal jiwa yang lupa
Sebagai penanda tiap jejak dosa

Minggu, 28 Oktober 2018

SEPOTONG BARA

Bara melepas merah luka
Terserak melahap perdu
Ronanya bakar sekitar
Sisakan sangit yang abu

Angin tiupkan panas
Api berkobar menari
Asap meliuk gemulai
Ranting terlahap sunyi

Lelatu bara bunga api
Beranjak ungkap marah
Tampak bayang menepis
Tertatih jauhi hitam jelaga

Sabtu, 27 Oktober 2018

TIDAK HARUS MENANGIS

Sejenak kau datang di rembang petang
Menggenggam seikat duka menur putih
Wajahmu lesi hingga pasi
Tiada kata ungkap luka

Hadirmu harap cemas jawaban doa
Takdir bagi garba hati
Sosokmu jelma purnama
Segenap lengan tengadah menggapai

Waktu hanya sempit menghimpit
Perjumpaan kedip mata sekejap
Setelah tarikan nafas terakhir
Kenyataan tertindas tanpa tangis

Jumat, 26 Oktober 2018

SECARIK SURGA

Ibu bumi penilik air mata kesuburan
Tetap terjaga menjaga mata air mengalir
Membujuk angin agar meniup mata hati
Sehingga matahari dapat mematri hari

Di luasan kering tertancap akar menghujam
Merambat senyap meyerap menghisap hidup
Daun ranting layu rapuh membusuk berserak
Bersimbah papar pijar menanti sirna sinar

Langit melepas tirai terik mengusik
Angin mengangkat bau tanah hadap awan hitam
Menuntun tetesan hujan pertama pada dahaga

Retakan tanah meloloh rumput merana
Melepas daya hidup di tiap biji mengharap
Dan senyum mentari sebagai tetesan pelangi

Selasa, 23 Oktober 2018

RAMA RAHWANA

Seberapa besar cinta mereka pada Sinta
Rahwana dengan kesaktiannya
Menyamar menjadi Kidang Kencana
Menculik dengan gagah
Membunuh raja burung Jatayu
Menempatkan Sinta di taman dengan kawalan Trijatha
Rama dengan mengerahkan bala
Mengumpulkan bantuan
Mengutus Anoman membakar kota
Membangun jembatan penyebrangan
Mengangkat Wibisana sebagai penasihat

Seberapa besar cinta mereka pada Sinta
Rahwana dengan puja asmaranya
Korbankan Sarpakenaka, Srikandi Alengka
Jadikan Kumbakarna, Raksasa Rsi, sebagai tameng kota
Usir Wibisana demi birahi cinta
Turunkan derajat Trijatha setara dayang
Rama dengan cemburu buta
Mendorong Sinta terjun terjang api
Buktikan suci tubuh tanpa noda
Kesampingkan nurani demi nama baik

Senin, 22 Oktober 2018

SUATU HARI SECERCAH CERITA

Jalan kota terawang rembang senja
Pisahkan bangunan dan bayang
Jendela menghadang teja
Warnanya emas dan temaram

Tiang terbungkuk menyangga lampu
Sinarnya dekap malam
Kadang angin menggoyang daun
Bayang menari di sepanjang trotoar

Kemarau sisakan sidik di simpang
Serupa hati hindari kerontang
Jalan menikung ikuti rindu
Kendaraan berkelok tinggalkan debu

Wajah-wajah sesaki malam gerah dan gaduh
Mencari senyum antara peluh dan keluh
Pasangan dengan warna aksesori
Coba nikmati bosan di bangku sepi

Bulan kian condong jauhi horizon
Tinggalkan bintang berserak
Jiwa-jiwa sesat kembali memeluk sunyi
Dan malam kembali mati

Minggu, 21 Oktober 2018

BAHAGIA

Bahagia perlahan menjalar
Melingkupi segala kesadaran
Menjelma kelopak bunga bakung
Binar mata coklat kenari

Dekapnya erat hangat
Berceloteh riang sapa hati
Seperti langit hamparan cerah
Hanya biru bermakna luas

Bahagia renyah di bibir
Senyum semu merah pipi
Segenap peluk dan belai
Bentang warna pelangi

Bahkan diamnya purnama penuh
Sebagai mata air dahaga
Merona segar kilau bening
Mengalir disela cinta

Jumat, 19 Oktober 2018

KETIKA ARJUNA GUNDAH

Senja itu matahari merah darah
Dari ketinggian terlihat hamparan Kurusetra
Dataran luas di kelilingi bukit kering meranggas
Burung bangkai berterbangan di kelabu langit
Mengintip makan malam yang tercecer di padang
Rombongan manusia
Amarta dan Astina
Bekerja dalam diam yang mencekam
Menggotong luka
Ringan maupun berat.
Mengubur jasad tak berwajah
Jasad tak lengkap
Jasad korban perang di siang yang menggiriskan
Bau kematian santer terbawa angin
Lolong sakit menambah angker
Sisa tubuh tergeletak dimana-mana
Pedang, panah, tombak jadi saksi
Sisa kereta perang bawa kabar Setra Gandamayit

Dari ketinggian malam
Arjuna memandang luasan Kurusetra
Lengang dan anyir sisa perang siang tadi
Sepinya mencekam menanti korban
Luasnya mencekik melahap nyawa terbaik
Angin malam menyapu bawa kabar Batara Yama
Di samping berdiri gagah Sri Kresna dengan wibawa
Menemani dengan diam dan pandang menyapu

Arjuna, lelaki itu, berdiri diam
Gundah merajam hatinya
Dipandangnya Sri Kresna sekejap
Lalu dialihkan tatapnya di keluasan padang
Dan gumamnya, hampir seperti ratapan
"Aku tidak sanggup untuk melanjutkan perang ini.
Hanya sia-sia saja sebagaimana Kala.
Putra terbaik bangsa ini mati berkalang  tanah
Hanya untuk membela pertikaian restu para dewa.
Berapa banyak istri dan anak yang akan menangis darah
Meratapi kehilangan tonggak keluarga.
Berapa biji mata ibu yang harus bersimbah air mata
Agar petaka ini bisa mencapai akhir dan berdamai dengan Yama"

"Yang utama perang ini adalah perseteruan saudara.
Misan berseteru, paman memihak.
Kakek membela negeri leluhur.
Kakak harus mati oleh adik sebab taktik pemenangan.
Luka hati paman Destarastra tentu tidak akan sembuh oleh Kala
Bagaimana hancurnya Ibu Kunti, melihat anak sulungnya, Awangga,
berperang dengan putra penengah Pandu?"
"Apa aku mampu dan tega melakukan itu semua?
Tidakkah cukup Indraprashta sebagai kekuasaan?"
"Terasa berat  dan duka berseteru dengan Eyang Bisma.
Juga betapa hancur hati jika menempur guruku Rsi Drona"
"Sungguh pilihan yang berat sekali, dan jika aku boleh memilih,
aku hanya ingin menjadi manusia biasa tanpa darah Bharata!"

"Arjuna, adinda, janganlah engkau menafikan panggilan sejarah.
Sebab sejarah, seperti hidup mati kita, sudah dirancang
Dirancang oleh para dewata yang mengatur irama alam.
Engkau adalah bagian dari penciptaan sejarah itu sendiri.
Tanpa kehadiranmu, keseimbangan jagad akan terganggu."

"Perang memang sebuah kekejaman.
Kekejaman yang hakiki.
Kekejaman untuk memanusiakan manusia.
Sebuah panggung untuk menghapus kejahatan dengan kekejaman.
Sebuah drama untuk mengikis kebencian dengan perseteruan.
Sebuah pengangkatan harkat manusia dengan mengalirkan darah.
Tapi, perang selain memusnahkan, juga menyemai tunas.
Seperti biji yang disiram dan tumbuh.
Kebaikan dan kemanusiaan akan tumbuh dari ladang pembantaian."

"Dan perang ini, adinda
Bharatayudha, perang keturunan Bharata
Adalah penggenapan janji, tapa,wisik
Yang dilayangkan kepada para Dewa
Sehingga Jonggringsalaka  bergoyang tertagih janji
Perang ini adalah kunci jawaban
Dari setiap doa dan puja yang membumbung bersama dupa
Yang akan mengembalikan jagat pada cakranya
Dan meluruskan jagat alit dengan takdirnya"

"Ingatkah engkau pada Dewi Amba
Ketika meminta keadilan pada para dewa
Karena diculik oleh Bhisma untuk hadiah bagi adik-adiknya
Ia dikembalikan dan ditolak sang tunangan
Beralih Amba cintanya suci pada Bhisma seorang
Tapi balasan cinta adalah anak panah menghujam"

"Untuk bersatunya Bhisma dan Amba
Amba memohon untuk mencabut nyawa Bhisma
Dengan perantaraan Srikandi
Yang merupakan penitisannya
Dan menunggu sukma Bhisma di pintu swargaloka"

"Pembunuhan tersebut hanya bisa terlaksana di Bharatayudha ini, adikku
Tanpa perang ini,
Siapa yang bisa membunuh Bhisma
Tidak seorang pun! Bahkan para dewa!
Sebab dia telah dijanjikan untuk mati dimana dia ingin
Hanya panah Srikandi titisan Amba yang dapat menembus kulitnya"

"Juga ingatlah pada penderitaan Drupadi
Ketika kakakmu, Yudistira, terlena dalam judi dadu
Dan kalian, Pandawa, kalah hingga ludas
Dursasana dengan sombong dan menjijikkan
berusaha melepas kain yang dipakai oleh Drupadi
Ingin mempermalukan seorang wanita suci
Istri dari Pandawa lima
Dengan pertolongan batara Guru
Kain itu terus memanjang
Sehingga Dursasana habis nafas
Tanpa bisa menelanjanginya"

"Sebab hal itu
Drupadipun bersumpah
Untuk tidak menggelung rambutnya
Hingga ia bisa keramasi rambutnya
Dengan darah durjana Dursasana"

Penggenapan sumpah ini hanya bisa terjadi di perang ini, adinda
Saatnya nanti, Dursasana akan di pukul rubuh oleh Bhima
Dan darahnya
Darah Dursasana yang masih segar
Akan digunakan untuk menggenapi sumpah
Yaitu Sumpah menggelung rambut
Setelah keramas dengan merah darah Dursasana"

Arjuna terpaku menatap Kresna
Arjuna diam dan Kresnapun terpana       
Angin tetap semilir mencium maut yang menghadang pagi
Langit gelap bintang redup mengedut
Dengan lunglai dan pikir penuh
Arjuna menuruni bukit
Berjalan menuju perkemahan yang terlelap

Dengan gundah hati
Dipaksakan tekadnya esok maju medan laga
Walau dalam benaknya terlintas
Perang hanya memberi luka
Luka bagi yang menang
Luka bagi yang kalah

Selasa, 16 Oktober 2018

LEWAT TENGAH MALAM

Lampu
Usir gelap
Di jendela malam

Sinar
Pejamkan mata
Disentuh angin sepoi

Cicak
Terpaku diam
Menanti dalam tenang

Sepi
Rebah terkulai
Terbujur peluk kantuk

Mimpi
Tersaput debu
Di pojok para-para

Serangga
Menerjang ajal
Seputar silau terang

Aku
Terjebak kata
Menulis tentang kamu

Sabtu, 13 Oktober 2018

MENGENAI CINTA

Cintaku mentari pagi
Bersinar dengan gairah muda
Menyapa riang tiap syahwat yang menggoda
Menari lincah di sekitar warna warni bunga
Menghirup dosa eros
Menggiring hati luruh dalam duka asmara
Menggores luka rindu di senyum mengadu
Tiap langkah tetaplah janji pertemuan
Memadu kasih di antara ruang dan waktu
Tiada kekang tanpa lekang. Bebas.

Panas terik mengikis semangat
Hari-hari berlalu sisakan jenuh
Siang hanyalah persimpangan emosi
Kadang bahasa tubuh acap mengganti
Berpapasan di tiap ruang tanpa toleh wajah
Ketika malam menaikkan tirainya
Dan bintang memaku gelap
Anak-anak telah merenda mimpinya
Birahi menjadi yang ketiga di antara kita
Belaian mengusir segala rutinitas
Pagutan berbagi panas nafsu
Keringat kita menyatu dalam setarikan nafas
Dan kita mendaki bersama
Mencapai persatuan lingga dan yoni

Senja ketika mentari pamerkan sinar terindahnya
Berwarna merak dan hias percaya diri
Dari teduh beranda hati
Bergandengan kita melepas cinta
Berbekal doa dan sayang
Memandang langkah anak mengejar cita
Terbang satu demi satu menjemput takdirnya
Hingga tertinggal hati kita berdua
Menjaga sarang cinta yang mulai lapuk
Dan menambalnya dengan benang kasih
Hingga maut meregang

Jumat, 12 Oktober 2018

LANGKAH PERGI

Kau jejak langkah jauhi amarah
Tinggalkan kosong terpana sendiri
Matahari belum lagi terbenam
Helai sinarnya masih kasat mata

Hadirmu masih tersisa di tiap ingatan
Serupa kesadaran terlambat mengendap
Teriakan duka masih berdenging di telinga
Isyarat hati tak rela tinggalkan retakan luka

Sebenarnya apalah yang kita kukuhi
Hanya ucap kasar bercampur caci
Hingga sunyi yang sesakkan batin

Pergimu menyunggi duka dan kesal
Sisakan ruang waktu yang diam
Juga tatap letih sebab sesal

Rabu, 10 Oktober 2018

GENDONG

Anak kecil bermain di pangkuan
Celotehnya renyah di tiap sentuh
Diejanya bunyi yang sembunyi makna
Sambil menatap haus kasih ibu

Tangannya mungil meraup pentil di dada montok
Mulut menghisap susu kehidupan
Tegukannya rakus kasih sayang
Dan bunda mendekap dengan cinta

Ketika mata telah mengajuk
Bening menanti jawab rindu
Diletakkannya kantuk di pelupuk
Dan mantra mimpi disenandungkan

Selasa, 09 Oktober 2018

SEPI

Wajah lesi serupa topeng
Terasing di keramaian
Membangun dinding aku
Menakar jarak dengan bisu

Kadang basa basi jadi sapa
Hubungkan hati dengan sekitar
Setelah adab dijunjung sementara
Jiwa kembali sepi terlantar

Kilau mata coba ramah pada dunia
Tergagap menjalin batin dengan kata
Senyum kadang ingin bangun hubungan
Namun hanya seringai terlukis di wajah

Kita melangkah mengarah kerumunan
Mencoba runtuhkan dinding dan sekat
Ketika bersua lirikan ragu canggung
Likat pandang terdiam tergugu

Sendiri adalah teman sepi
Sebagai pasangan abadi kenyamanan
Sedang langkah tinggalkan jejak samar
Dan diri melebur dalam kesunyian

Sabtu, 06 Oktober 2018

BUMIKU

Bumiku dirusak kesombongan
Mata air hitam polusi
Petak konsesi hutan
Tambang yang dicuri

Bumiku dilumpuhkan beton
Langit menjadi penjara
Air menjadi bencana
Udara menjadi durjana

Bumiku merusak dirinya
Alirkan air mata selaksa duka
Tangis pilu luluh lantakkan harta
Peringatan dari bumi yang luka

Bumiku bumimu bumi kita
Bumi pemilik hak hidup
Bumi yang selalu memberi
Bumi dimana kita kembali

Kamis, 04 Oktober 2018

ISTIRAHAT

Di rest area
Segala tegang meregang sejenak
Tanggalkan letih usik kantuk

Duduk menghadap secangkir kopi
Aroma panas bercampur pahit
Dorong semangat legakan hati

Bersenda berhadapan hilang bosan
Diselingi cakap ringan kunyah kudapan
Waktu nyaris condong ke barat

Lelah telah tuntas
Langkah pacu semangat
Lanjutkan sisa perjalanan

Senin, 01 Oktober 2018

MATA

Kepada mata
Muara dosa terbilang
Saksi bahagia asmara
Tetes air mata kecewa

Ketika hati coba pahami makna
Pandang catat tanda tersirat
Seperti rubah terkam nasib
Mata nyalang enggan berkedip

Kepada mata
Binarmu menghujam tajam
Selidik kata bermakna mantera
Bayangan sunyi jiwa

Sekejap sinarmu kosong
Tiada percik gairah
Berkedip dan terasing
Coba eja ulang bisik

Kepada mata
Penjaga api birahi
Ku titip segala hilap
Sebagai tatap dahaga

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...