Senin, 30 November 2020

CINTAKAH PADA USIA?

Pria. 
Seiring bertambahnya hitungan usia
Ketika birahi senja
Mamandangmu adalah kasih sayang

Wanita. 
Dengan bertambahnya helai uban
Dan perut yang kian membusung
Ada pesona hingga memuja

Pria.
Saat malam menjadi yang ketiga
Hanya syukur yang berbisik
Sebab teman adalah sehidup semati sejak pelaminan

Wanita. 
Dahulu disentuh adalah kewajiban
Tahun-tahun telah mengajarkan
Belaian selalu menanti ranjang pengantin

Pria. 
Senjakala rumah telah kosong dan sepi
Sebagai Mimi Mintuno genap mendampingi
Sigaran nyowo belahan hati

Wanita.
Segenap pengabdian yang waktu
Hati telah puja rindu
Selalu, terpesona adalah kayu bakarnya

Sabtu, 28 November 2020

MUSIM DAN PANDEMI

Hampir sepanjang kemarau matahari mencoba mengusir pandemi 
Dengan sinar, 
dengan panas, 
dengan angin kering, 
dengan keringat, 
dengan darah
Seiring pandemi terdesak, 
di rumah sakit, 
di cluster-cluster, 
di masker, 
di jarak, 
di berita tivi, 
di warung kopi, 
di perbincangan

Ketika rendeng telah basah 
oleh hujan, 
oleh mendung, 
oleh lembab
Masihkah musim mampu menghalau pandemi
Yang tidak tuntas, 
yang kerumunan, 
yang hilang jarak, 
yang dingin, 
yang awan, 
yang mutasi

Jumat, 27 November 2020

DALAM KEKUASAAN KITA PERCAYA

Semenjak kekuasaan bekerjasama melawan nasib
Baik dan buruk tercampur aduk
Bisa menjadi kiri dan radikal
Atau malah kanan ekstrim
Memang sesekali populis agar suara tetap dalam genggaman

Agama ageming ati nampaknya hanya slogan
Karena halal haram hilang keramat
Ketika semua telah jubah
Maka kekuasaan akan langgeng di atas angin

Kekuasaan memang mencari maqomnya sendiri
Seperti cahaya di kemaluan Dedes
Namun para penguasa membuat jalan pintas menuju wahyu
Dengan mengajarkan seluk beluk rahasia menjadi penguasa
Kepada keluarganya kepada trahnya

Kamis, 26 November 2020

MENGEJAR SEHAT HINGGA JAUH

Usia tak kuasa mengejar sehat
Dalam perjalanannya banyak halang rintang
Kadang terperosok dalam kubangan karena kebiasaan
Kadang jalannya mulus namun pendek

Sepanjang hidup kita berinvestasi
Dari buaian orang tua hingga biaya pemerintah
Namun sehat serupa bola liar
Sulit ditangkap oleh tangan nasib

Biaya kesehatan serupa deret ukur
Dibanding usia yang hanya deret hitung
Lipatannya lebih mencekik ketika gawat darurat
Walaupun akhirnya tetap kalah bertarung

DALAM SHOLAT

Setelah merapatkan barisan agar setan tak dapat menyelinap
Imam mengucap takbir

Alfatihah dalam hati, aamiin
Seberapa jauh venus? 
Mengapa ada nyamuk?
Shof depan miring
Kipas angin kok tidak dingin
Huuufff, masih lama, nggak ya?
Khusyuku mulai digerogoti bosan

Pulang nanti mencuci baju
Lantas sarapan
Ah, jagung belum dipupuk sebab rabuk hilang di pasar
Untung pupuk dasar sudah ditebar
Mungkin bisa pinjam dulu sama Pak lik

Waduh kok lama sekali imam bacanya
Bisa kesemutan kaki kalau begini
Mataku melirik ke depan
Ke pengimaman
Kepada akhir surat yang dinanti

Aaaaaamiiiiiiiiin...................... 
Barisan belakang barisan anak-anak
Keras seperti meneriaki maling

Lanjutannya, syukurlah surat pendek
Tapi cukup tidak, ya, uangnya untuk bayar buruh
Nanti habis sholat akan kutanyakan pada istri, apakah ia punya uang sisa belanja

Barisan ruku', memandang tempat sujud
Saling memandang
Hilang pandang karena meram
Tiada yang dipandang, tatapan kosong

Samiallahu liman hamidah...... 
Semua berdiri tegak
Tangan menggaruk selangkangan
Merapikan sarung
Diam sambil menatap imam yang juga diam
Kopiah diluruskan
Menatap sajadah
Memperhatikan barisan kaki yang tidak rapi

Bruuuuuukkkk....... 
Dengkul bertemu lantai
Semua sujud

O, ya, kang Pandi kan punya hutang
Mana dia baru panen
Kemarin dia kirim jagung satu truk
Berarti sehabis sholat langsung ke sana dulu, nagih
Moga-moga dibayar, kasihan sama istri kalau tabungannya dipecah

Sujud kedua terasa lama
Kepala sedikit pening
Hati menggerundel
Posisi makin tidak nyaman, dan
Allahu Akbar, imam takbir dan perlahan berdiri

............................... 

Ketika takhiyat akhir
Bacaan telah habis
Makmum memandang pada imam
Menanti salam
Jari kaki telah kaku
Telunjuk menunduk
Gatal di dubur
Semua gelisah menanti
Dan akhirnya, assalamu'alaikum, kiri dan kanan

Tanpa wirid dan doa
Aku langsung berdiri
Menuju pintu
Mengambil sendal
Pulang

Rabu, 25 November 2020

REDAMLAH AMARAHMU

Mengapa di tiap marahmu kau sertakan pembenaran? 
Apakah menopause kayu bakarnya? 
Ataukah tersinggung penyulutnya?
Sehingga pitam menjadi satu-satunya saluran pembuangan

Sedangkan setan tak perlu marah
Cukup hanya menghasut hingga timbul aluamah
Jika ia terbit amarah
Siapakah yang akan merapat pada dosa?

MENIMBA ILMU

Ruangan itu tak cukup besar
Lampunya pun tidak terlalu terang
Cukuplah hanya sekedar untuk menulis
Lantainya ditutupi sajadah
Rapat dan kumuh
Meja-meja kecil berbaris setengah lingkaran
Mengepung sebuah meja yang di atasnya terletak setumpuk buku kuning dan segelas besar teh tubruk

Seorang lelaki pertengahan
Seorang ustad
Duduk menyandarkan punggungnya di dinding
Kopiahnya dimakan waktu sarungnya luntur
Wajahnya desa menatap buku di atas meja
Suaranya pelan dan datar membacakan isi buku dan menerangkannya
Tanpa jeda terus bicara
Seperti dengung lebah
Sayup sampai
Tanpa menanti ditulis terus berucap
Malaikat yang menaungi sidang ilmu pun memiringkan kepalanya agar suara hikmah terdengar

Para santri haus ilmu
Konsentrasi mendengarkan setiap patah kata yang terlontar
Matanya memandang takjub
Tanpa dikomando semua memanjangkan leher
Menangkap setiap hikmah yang keluar
Tangan kanan sibuk menulis setiap keterangan
Tangan kiri menggaruk
Kepala yang tertutup peci
Pindah ke badan yang berkeringat
Ke selangkangan yang dihinggapi kudis
Ke sekujur tubuh yang dipenuhi pengetahuan hikmah kebijaksanaan yang gatal

Jam telah malam
Waktunya istirahat di barak
Ustad menutup buku
Meminum tehnya
Beruluk salam
Dan para santri berlarian dengan gembira

Selasa, 24 November 2020

DINGIN MENUSUK

Malam tadi kamarku diterjang dingin
Bahkan nyamukpun tiarap tak berdenging
Memang di luar hujan hanya gerimis
Namun tak bosan terus menetes di teritis

Dinginnya merayapi bantal guling
Menyelinap ke balik selimut
Menggerayangi kulit hingga meremang bulu
Dan tubuhku meringkuk di tengah ranjang seperti siput

Mimpiku tak mau datang 
Walaupun mataku meram mengundang
Dingin mengusiknya dari ingatan
Menggantinya dengan hitungan tetes air yang jatuh

Senin, 23 November 2020

TEPAT SASARAN

Nyatanya rejeki tidak takut pada hujan rintik
Dan tidak juga membenci panas kering
Jika telah diutus mendatangi
Dengan ikhlas ia menyambangi dan memberi

Kun, maka segala pesugihan tak daya meraih
Segala tipu daya licik tergelincir
Pencuri berita langit jua buta tuli
Hanya mampu berdusta menangkan sajennya

Kapasitasnya sesuai jumlah yang dibutuhkan
Langsung, ditunda maupun diganti
Tak ada potongan apalagi hanya cipratan
Kadang ditambah bonus jika mensyukuri

PERANGKAP

Kata telah kusiapkan dengan rapi
Matanya diasah agar artinya lugas
Kemudian kususun hingga serupa barisan.
Teratur. 

Di hadapanmu kata kulempar sebagai paser
Kubidikkan ke satu titik, jantung hati
Ketika telah habis di tangan, 
kata mengurung seperti pagar

Kata mengepung,  menggenggam meremas
Sehingga jantung hati terperangkap
Sebelum akhirnya menyerah pasrah
Dengan malu-malu memeluk cinta

Minggu, 22 November 2020

TIDUR SIANG

Tak perlulah selimut untuk sembunyikan mimpi
Sebab ia tak datang membawa kabar
Apalagi musim telah mendatangi rendeng
Sehingga bantal guling cukup sebagai teman

Sebelumnya tebah dulu kasur
Agar kutu busuk dan debu kabur
Agar tak mengganggu tidur

Lalu lagu lembut berbisik
Sebagai yang ketiga menemani
Perlahan mata terpejam
Pikiran dan hati masuki alam kesunyatan

Sabtu, 21 November 2020

SEDIKIT CERITA TENTANGMU, PAGI

Pagi nampaknya muram
Sisa hujan semalam
Angin segan, semilir tak mau

Matahari hilang bentuk
Hanya mengutus mendung 
Cahayanya lusuh

Kehidupan berdegup seperti biasa
Suaranya seramai hujan pertama
Hanya warnanya sedikit pudar

Pagi tetaplah pagi yang sama
Baik ia teduh mengeluh
Ataupun hingar bingar

HUBUNGAN

Sepertinya kita saling memunggungi
Menjadi asing satu sama lain
Sekedar bicara tak menyentuh hati
Sebagai penggenap rutinitas

Banyak tahun kenangan dikoreksi
Rumah di timur matahari
Kamarnya ranjang berbagi
Saling mengecap mimpi

Sebelum uban kembang jambu luruh
Cinta telah retak dan tak utuh
Setiap retakan adalah emosi
Menjadi kepingan benci

Seharusnya ego mati
Dilibas diskusi
Nyatanya arang bara
Dikipasi hingga keluar asap

KEHILANGAN GAIRAH

Ketika bandul pendulum mengarah depresi

Pikiranku telanjang mencerna gairah
Kusimpan degupnya dalam kata
Berhamburan di ruang mimpi
Menari bahagia sebagai puisi

Seperti menggunting,
gairah kucari dalam lipatan
Kian hari dosisnya kian tinggi
Namun rasanya semakin hambar

Seiring waktu gairah bertukar wajah
Topengpun murung
Hati jadi sunyi dan gamang

Pikiran terperangkap dalam kata
Menjadi kata itu sendiri
Semua hilang arti

Di pojok malam
Aku meringkuk 
Menatap kosong

Lembut dari pemutar terdengar lagu:
🎶 (You lock the door
And throw away the key
There's someone in my head but it's not me) 🎶

Kamis, 19 November 2020

MUSIM TANAM

Dimana hujan menghampir
Petani menyemai harapan

Mari kita sambut hujan awal musim
Sajennya bibit sekarung plastik
Ubarampenya pupuk hutang
Lelakunya dengan traktor menetes oli pengganti telek sapi

Setelah waktu menjadi tunas
Kita panggil buruh tani
Sambil bersenda dan bernyanyi
Menanam masa depan

Disaat sawah basah menghampar
Petani menabung harapan

Pupuk ditebar
Insektisida disebar
Rumput gulma dicabut
Tenaga dihitung hutang

Panen sebagai perhitungan rugi laba
Setelah gabah dipotong hutang
Masih tersisa modal untuk memulai berhutang

BOSAN

Seperti api penyucian
Bosan membakar perlahan semua ide
Menghanguskan kreativitas
Mengubahnya menjadi seonggok abu tak makna

Datangnya tak dirasakan
Tanpa tanda apalagi kulonuwun
Tiba-tiba mengepung gairah
Dan meracuninya dengan rutinitas hingga padam

Jika bosan diusik, digebah
Ia hanya beriak tanda tak dalam
Kemudian diam seribu bahasa
Di palung hati terdalam ia bersemayam

Minggu, 15 November 2020

AKU MENELAN KECEWA

Tak acuh adalah dosis letal yang kutelan hari itu
Reaksinya terasa setelah mengendap semalaman
Khasiatnya menyulut gerutu sehingga isi otak penuh berisi "mengapa?"

Kucoba telaah penyakit hatiku
Apakah karena panjangnya? 
Atau dangkalnya? 
Mungkin membosankan
Bisa jadi tak mutu
Sampah! 

Namun sekedar mendapat
Aku hanya menjumpai diam

Sabtu, 14 November 2020

PINDAH KE LAIN MUSIM

Aku tak pernah menjumpai batas antara musim
Tidak panas tidak pula cemas
Tak ada garis pemisah apapula gelisah

Di segala musim matahari tetap sama
Hanya perilakunya sedikit berubah
Satu ketika menangis hingga gelap
Lain ketika kuning mangsa ke tiga

Tetap saja musim berganti
Kadang menggandeng Kedana, 
kadang menggendong Kedini

Kehidupan tetap asyik berjalan sendiri
Rejeki mati telah tetap, jodoh takdir membarengi
Musim hanya pelengkap penderita saja
Kemarau bahkan rendeng

Jumat, 13 November 2020

LELAKI KECIL (EL NINO)

Anak itu berlarian di atas tanah dan lara
Senyumnya sumringah terik matahari
Jubah panasnya tertiup angin musim
Kakinya menginjak-injak bumi dan debu beterbangan
Raut wajahnya yang polos ternyata raksasa

Sukrasana yang riang menikmati pendeknya hari
Melahap segala kering hingga kenyang kerontang
Sebelum tidur panjang sebagai Kumbakarna yang pemalas

Biji ternyata butuh istirahat panjang
Beralas tanah berselimut humus
Mempersiapkan diri untuk disunting oleh tetesan pertama hujan yang membawa mahar harum petrikor

Saripati manis adalah panas yang menyengat
Dengan sabar dicampurnya tanah kehidupan dengan sinar kemilau
Sedikit demi sedikit disimpan di setiap buah 
Seperti lebah memanen nektar dan menyimpannya di sarang yang terjaga
Ketika genap harinya, pohon memberi tanda birahi dengan menjatuhkan buah tuanya

MENDADAK RINDU

Tiba-tiba aku rindu pada mendung
Pada pedihnya yang kelabu
Pada tangisnya yang debu   
Pada tetesan pertama di daun jatuh

Sebab apa ia tidak datang menjenguk? 
Apakah luka koyak tahun lalu belum menutup? 
Katanya waktu dapat melupakan dendam? 
Bahkan matahari telah ikhlas berpindah ke selatan

Mungkin langit tak ingin riasan birunya pudar
Apalagi hingga dicemooh oleh seringai petir
Yang pasti panas naik hingga ubun-ubun
Cuaca terengah karena telah bunting tua

Senin, 09 November 2020

SARAPAN

Emak sepagian mengayunkan alu
Menumbuk singkong kering di dalam pasung
Hingga menjadi butiran kecil
Beberapa tercecer di tanah dan langsung dipatok ayam
Sebagian menjadi debu dan diterbangkan angin
Mak, beras raskin jatah sudah habis?, tanya Tole
Sudah Le. Nasi semalam sisa terakhir
Kok habis, ya? Kata pak Kades jatah pemerintah cukup untuk makan sebulan setiap keluarga
Emak mengangkat bahu sambil tetap mengayunkan alu
Mungkin dikepras waktu dibagikan oleh Kamituwo, Le
Emak menaruh alunya lalu mengambil tampah
Dengan tangannya remahan tiwul diambil lalu diletakkan di tampah
Setelah di tampi, bersih, butiran tiwul disokkan ke panci lalu dicuci
Le, kamu petik godong telo sak tekem, ya
Terus onceki kambil yang kemarin diunduh Bapak
Kalau sudah dionceki langsung diparut
Nanti dibumbui untuk buat urap-urap
Kalau sudah selesai semua, kamu ambil uang di dompet Emak di bawah kloso
Beli gereh di warung lik Bejo
Sambil memerintah, emak cekatan menata kayu bakar dan larahan, lalu cethik geni
Setelah api besar dandang diletakkan di atasnya dan diisi air
Setelah mendidih kukusan dipasang lalu tiwul dimasukkan. Atasnya ditutup dengan tutup panci
Lalu disiapkan bumbu urap. Diulek
Setelah halus dicampur merata diparutan kelapa tadi
Setelah rata ditaruh di mangkok seng dan ditumpangkan ke atas kukusan. Dikukus
Cekatan ia mencuci daun singkong petikan anaknya
Kemudian ia membuat api lagi
Di atasnya ditumpangi panci berisi air
Setelah mendidih daun singkong dimasukkan
Tak lama anaknya datang membawa gereh terbungkus kertas tulis
Le, cuci gerehnya terus bawa sini
Dan angkat panci, Godong telonya ditus
Kalau sudah dingin dipotong-potong lalu dikasih bumbu urap, sambil mengambil mangkuk seng dari kukusan dan diberikan kepada anaknya
Dari tembok ia mengambil wajan
Meletakkannya di perapian bekas godong telo
Wajan diberi jelantah dan gereh digoreng
Baunya memenuhi pawon
Le, panggil Bapak sana, bilang sarapannya sudah siap

Di amben tertata sego tiwul ngebul-ngebul
Sepiring besar urap godong telo
Sepiring seng gereh kering
Bapak duduk bersila di pojok kiri amben
Badannya yang kurus liat masih keringatan
Capilnya di taruh di sebelah pahanya
Dari tubuhnya tersiar bau matahari
Diambilnya piring, diciduknya sego, dicomot segenggam urap dan seekor gereh
Ayo, Le, ambil
Demikian anaknya juga mengambil serupa Bapak
Setelah semua mengambil jatah masing-masing, Emak juga mengambil jatahnya
Lalu ia berjalan dan duduk bersandar di kaki amben
Mereka makan dalam diam
Mereka minum dalam ceret
Mereka kenyang dalam siang
Setelah makanan tandas
Setelah perut kenyang
Setelah Keringat merebak
Leyeh-leyeh menanti sego turun menjadi tenaga
Le, sekolah belum masuk?, tanya Bapak
Belum. Masih libur. Januari mulai masuk
Kalau begitu kamu bantu Bapak di ladang
Jagung sudah kering waktunya dipetik
Inggih. 

Minggu, 08 November 2020

DAMAI

Panas pancaroba tak dapat menampiknya
Apalagi sekedar nyamuk yang mencuri masuk lewat jendela
Memang pikiran kita dipisahkan oleh pintu kayu
Sebagaimana emosi terhalang tembok kamar
Namun sakinah yang dilantunkan lewat doa tiada penghalang
Hanya sedikit gejolak apalah artinya untuk digubris

Hubungan kadang beriak seperti jari menyentuh permukaan air
Tetapi darah kita sama, merah, dan mengalir kasih di pembuluhnya
Kadang argumen bergejolak bertiwikrama menjadi amarah
Seringnya lembut dan saling melengkapi kekurangan yang tersirat
Maka di bawah naungan sayap putih pengertian dan cinta
Kita mengulangi ikrar perdamaian disaksikan delapan arah mata angin

Sabtu, 07 November 2020

KIDAL

Kurapal mantra, 
dari kiri ke kanan, 
dari siang ke malam, 
dari berbisik hingga berbusa

Seumpama dosa, kidal adalah asal

Kutulis rajah, 
dari kanan ke kiri, 
dari atas ke bawah, 
dari tiada hingga abadi

Sebagai dosa, kidal adalah kutuk

HAWA

Amarah itu daun kering yang tersulut api
Dimana semua argumen benar adanya

Berganti topeng, kesal berganti

Sekat tipis antara cinta dan benci
Rapuh, mudah hilang tertiup angin

Berganti topeng, sesal berganti

Situasi yang tiba-tiba asing
Saling menghindar
Komunikasi terbata
Pendek dan likat

Maaf adalah mantra panglimunan
Hilang topeng, luruh menanti

Jumat, 06 November 2020

SAWAH

Masih ingatkah engkau akan sawah
Ketika gagal panen dan wereng mengusir kita ke lorong kumuh kota

Masih ingatkah engkau akan sawah
Lampu di gang sempit, pojok untuk tawar menawar, memperjualbelikan dosa

Masih ingatkan engkau akan sawah
Dimana tani utun menanam batuan dan menindasnya dengan semen hingga tumbuh menjadi bangunan bertingkat

Masih ingatkah engkau akan sawah
Kupu-kupu jua keluar malam menawarkan pupur murahan dan hisapan satu dua kretek ketengan sebagai pengganti gagal panen

Masih ingatkah engkau akan sawah
Taman-taman kemarau yang semaknya kering, tempat melepas syahwat setelah menikmati semangkuk bakso

Masih ingatkah engkau akan sawah
Galengannya mengirim air ke sudut-sudut kota sehingga menenggelamkannya menjadi kubangan sampah

Masih ingatkah engkau akan sawah
Bu tani menjajakan malam dengan secangkir kopi dan piring-piring penuh berisi jajanan dingin di atas meja purnama

Masih ingatkah engkau akan sawah
Panen terakhir dengan ani-ani di tangan dan matahari menyengat panasnya sehingga keringat membasahi 

Masih ingatkah engkau akan sawah
Tempat angon mimpi-mimpi kita setelah ngarit rumput untuk mengisi bumbung 
tabungan di sentong

Masih ingatkah engkau akan sawah
Dengan membaca langit dan bintang kita mulai menyemai harapan dan menjaganya penuh sabar penuh waktu

Masih ingatkah engkau akan sawah
Tembok tinggi yang memisahkan kita dari tanah leluhur yang telah kita tukar dengan sembako dan sedikit receh

Masih ingatkah engkau akan sawah
Tanah dimana kita masih punya ikatan dengan moyang dengan ibu bumi dengan adat dengan budaya dengan tetangga

Masih ingatkah engkau akan sawah, sahabat? 

Rabu, 04 November 2020

MENUNGGU MAGHRIB

Suara di kepalaku terasa gairah
Menyanggong maghrib bedug ditalu
Temaram teja menyandingi
Segelas es teh cukup membandingi

Tapi, sepiring nasi dengan lauk lapar
Harga yang pantas untuk membayar
Demikian suara bertengkar
Dan tubuh tetap diam terkapar

Saat magrib telah adzan di desa
Allahumma laka shumtu wa 'ala rizqika afthortu, bisik hati
Segelas air putih membasahi tenggorokan
Dan segelas lagi mengisi perut kosong

KERIUHAN DI WAKTU MALAM

Suara paling ramai itu
Ketika otak berbicara bersahutan
Ketika lembar ingatan pawai
Ketika peristiwa melintas berkelebat
Ketika aku berbantahan sendiri
Ketika hitungan dari satu hingga membosankan
Ketika semua doa kian menjauh

Suara paling ramai itu
Ketika mata terpejam
Ketika nyamuk mendenging di kuping
Ketika keringat 
Ketika tubuh diam
Ketika jam berdentang tiga kali
Ketika itu aku dikamar, sendiri

Selasa, 03 November 2020

MAAF, KU TAK DAPAT MENGANTARMU

Dikarenakan kepergianmu yang tiba-tiba
Aku tak membawa cukup air mata

Kabar tentangmu datang dengan cepat
Karena kepedihan membawanya lewat duka. Tercekat
Tiba ke haribaanku dengan isak yang kumal

Aku terpana di kursi kayu
Dunia seperti berhenti berputar
Segenap gundah di kepala
Semua cemas berkalang hati
Serta merta menjadi kepastian

Dengan sisa kata yang masih kusimpan
Kularung doa untuk menemani perjalananmu menuju padang perburuan abadi

Senin, 02 November 2020

CEMAS

Cemasku membuntuti sepanjang jalan tol
Dengan sedikit terbata kusisipkan doa
Sejauh waktu tempuh, 
pikiran dan hatiku tak juga padu

Semua nasib buruk menampakkan wajahnya
Mengganggu kantuk dengan riuh
Aku hanya tergolek menatap langit-langit
Dan keringat basahi bantal guling

Di luar langit hitam
Hujan pitam
Lampu padam

Suara dering HP mengalun
Di layar tertulis, "aku sudah sampai"
Hatiku berdamai dengan cemas

Minggu, 01 November 2020

SATU KETIKA

Bermalasan memandangi mendung
Jendelapun ikut murung
Mendung balas memandang
Dan langit kian tebal terselubung

Posisi duduk kuperbaiki
Agar angin mudah berbisik
Ia datang membawa sepercik air
Selembar daun jatuh dan seikat dingin

Mendung merasa likat
Karena mataku terus menatap
Akhirnya air ditumpahkan bah
Ke pohon ke bumi ke jendela

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...