Minggu, 25 November 2018

AKAN TIBA WAKTUNYA

Tak perduli berapa banyak pikiran menolak waktu
Membebaninya dengan setumpuk purba sangka
Menipu pandangnya karena cantik kosmetik
Arusnya tetap menghanyutkan kenangan

Emosi kadang menjadikan waktu seolah meregang
Namun tetap menyisakan jejak pertanda
Seperti qodar yang terjadi pasti
Waktu selalu menemukan jalan kembali

Ketika tetapkan langkah telusuri belantara
Niat sekuat tekad menyibak onak dan duri
Segenap harap panjang yang berliku
Tenggelam diharibaan waktu yang bergerak dalam sunyi

Bayang rindu berserakan sebagai jejak sejarah
Seperti menunjuk arah pada hati yang terasing
Dan waktu yang kian menjauhi usia
Tak pernah menoleh untuk kecewa

AKU TAK TAHU CARA MENCINTAIMU

Lidahku kerap kelu mendelu
Hatiku berdebar tiada nyaman
Bahasa tubuhmu mengajuk
Merajuk pinta bahagia
Tatap matamu tajam menggugat
Menghujam dalam diantara kikukku
Tersungkur harga diriku
Menggapai mencari pegangan
Untuk menopang ragu sikapku
Namun hati tersandera keinginan
Sedang diammu tiada kata tolak

Satu ketika kau mendatangi gugupku
Kau rebahkan keinginan di malam purnama
Kulit kita bersentuhan saling mengecap rindu
Debarmu lembut mengajak
Memanggil bisik jiwaku sepi
Diiringi senandung lirih serenada
Kau kecup diamku dengan gairah
Kau belai segenap pasrah
Kau genggam setiap isyarat rahasia
Hingga aku hilang sadar
Terdampar pada bahagia yang asing

Ketika kita kembali kenakan topeng
Berukir santun bermakna norma
Langkah kita saling membelakangi takdir
Tubuh tetap rebah berdampingan
Mimpi terpisah oleh pejam malam
Makan di piring yang sama
Dengan lengan yang satu
Dan saji lauk beralas sahaja
Pendek kita berucap
Sedikit kita bercakap
Bertemu di ruang sepi berperi
Diam dan asyik dengan pikiran sunyi
Perlahan bayang kita semakin menjauh
Tanpa toleh tiada tegur apalagi sapa
Mencari sibuk di waktu yang berselisih
Terasing dalam biduk bernama rumahtangga

SEPERCIK SELEMBAR

Sepercik rindu seruas hati
Selarik sendu segaris sepi
Selirih desau sekilas nyeri
Seutuh dirimu dalam singkap asmara

Selembar mimpi senyari bumi
Seutas harap sesunyi mimpi
Seperti khayal sendiri bersemi
Segenap cintaku menjelma rindu dendam

HARI-HARI ITU

Matahari memanjang sejauh sinar benderang
Lewati garis bujur yang terserak di barat
Aku menghitung langkah hingga batas kilau
Teliti setiti perlahan di rindang pohon
Lalu menyimak jarak di titik pandang

Ku sandarkan penat harap dan pikir
Bertelekan angin yang menghampir
Lapar ku kecoh dengan bersandar di batang tua
Pejamkan mata dipeluk map harapan
Mencoba mengganti lapar dahaga dengan mimpi

Sepagian menyambangi pintu yang bisu tanpa sapa
Meja kayu bertaplak motif batik mencoba wibawa
Sedang kursi menggenapi dengan jumawa
Dengan santun kuletakkan lamaran dan sejarah diri
Hempaskan cemas dan tinggalkan was-was pada penjaga

Hari telah lewat kulminasi dengan panas mendera
Ku langkahkan kaki dengan sisa lelah melemah
Menuju tempat berlindung dari terpaan putus asa
Rumah dimana kita meletakkan lapar dan lelah
Tempat menanti berita dari pintu-pintu yang angkuh dingin

KETIKA USAI

Kau datang dengan menyeret merah amarah
Hatimu berdegup keras dirajam murka
Sedang matamu menadah tangis
Hingga kepedihan mengalir bergulir perlahan
Membasahi dan menggenangi duka cintamu

Katamu datar menyingkap ucap kecewa
Seperti perih teriris sedih tak pulih
Bendung air pada matamu mengajuk koyak
Menetes  runtuh menjadi genangan nestapa
Menghanyutkan setiap onak dan meluruhkan tembok lara

Dan ketika usai badai laut selatan
Hati kembali bertautan pada isak dahaga rindu
Langit kembali berwarna biru mengharu
Angin membisikkan rayuan hati bernada kasih
Kita berpelukan dalam asmara puja

KITA SENDIRI

Semesta memuai
Bintang lahir
Beranak pinak
Berserak di cakrawala
Membentuk kabut susu
Mengalir menuju ketiadaan

Aku tengadah menatap langit
Bangun ditinggikan tanpa tiang
Diluaskan sejauh waktu
Kesunyian yang baka

Bintang jatuh melesat
Lewati malam bulan
Ekornya mengibas
Aku menyimpan tanya
Adakah yang memandang dari sana?

DI TAMAN SURGA

Di timur taman bahagia
Cinta adalah hamparan pagi
Dan warna warni hati

Kita telanjang berkulit tembaga
Berjalan menyusuri permadani
Tenunan semak kembang setaman

Aneka buah bertangkai rindu
Memeluk cabang rendah
Berwarna matang aroma dahaga

Sinar menerobos lembut
Melesati rimbunan daun sukacita
Membentuk garis miring bening

Kadang kicau burung riang
Bersahutan dengan desir angin syahdu
Kita terpana dialun tetabuhan

Diantara taman-taman Eden
Jalan setapak berhias batu kali
Membelah hamparan rumput

Garisnya kontras berwarna coklat
Diapit pagar tanaman rambat
Berakhir di danau berkaca biru

Segala kenikmatan tunduk dan datang
Terjangkau tangan dan langkah
Terlihat pandang dimana menatap

Hanya sebuah pantang dan larang
Mendekati pohon pengetahuan
Dan memetik merah tragedi

Ular pengejawantahan beludak
Mendesis dengan hasut bahna iri
Tawarkan keabadian lewat apel

MALAM, SUATU KETIKA

Malam pekat menghampir
Uluk salam lewat beranda
Mengetuk pintu dengan desir

Maaf, tidakkah angin melintas?, tanyanya
Di ruang tengah ia menanti
Semoga tidak menyibak onar

Kubawakan buah tangan
Nyamuk dengan dengung lembut
Dapat mengusik sepi dan melepas kantuk

Kuharap jendela tetap terbuka
Sebab kelamku menambah terang lampu
Dan aku bisa tetap menatap diam khayalmu

SEJATINYA PAHLAWAN

Selamat tinggal kampungku, gersang
Juga teman dan handai taulan
Terutama sembah sungkem
kagem Bapak dan Si Mbok
Sapimu, si Boleng, kan ku ganti
Sedapatnya gajiku di perantauan

Di penampungan
Tanpa kontak hilang bebas
Makan terbatas hukum sepihak
Kadang siksa mendera
Hanya setitik harapan pegangan

Tengah malam dibangunkan
Berkemas melintas mengejar pantai
Sekoci kecil sarat beban
Diombang ambingkan ombak
Aku berhimpitan dengan harapan
Hatiku bergemuruh
"Tanah perjanjian, aku datang!!!"

FIRASAT

Kucing seberangi malam. Hitam.
Matanya melirik tajam
Menatap bulir cahaya
Berjalan perlahan menuju gelap

     Hari berjalan lambat
     Kita hanya diam
     Kau pandangi teve
     Aku menatapmu

     Malam telah tua
     Kantuk menggelandang
     Kau mengajakku tidur
     Esok hari lelah untuk terbang

Rintihan kedasih menutup senja
Di batang Kamboja tua
Kepak sayapnya muram
Terbang menuju kelam

     Rumah terasa lengang
     Lampu sudut menyala
     Ku seduh secangkir kopi
     Ku duduk di tempat dudukmu kemarin

     Teve menyala kabar berita
     Tertulis Breaking News
     Remote terjatuh aku terpana
     Pandang buram menetes air mata

RUMAH DIJUAL

Rumah bercat putih
Masih bertembok kenangan
Jendelanya menatap angin rindu
Desirnya kadang melenggang di tingkap
Ditingkahi kicau genit prenjak
Daunpun berguguran
Seperti selendang bidadari
Berserakan di hamparan senja

Rumah bercat putih
Berpagar kayu mahoni
Dimana beranda hati berteduh
Ditimpali wangi bunga kenanga
Meja kursi rotan memberi aksen
Tempat sore terhidang
Dengan secangkir kopi panas
Serta obrolan sebagai kudapan

Rumah bercat putih
Seruas umur kita habiskan
Jejak cinta telah berdebu
Berdegup di tiap ruang sepi
Segenap sesal dan haru
Tumpah ruah air mata
Luka pada cabikan papan mengelupas
Di punggungnya tertulis "Rumah dijual"

BELAJAR TERBANG

Helai pengetahuan tumbuh
Memenuhi kesadaran inti
Berwarna perak kemilau
Terpapar matahari pagi

Pandang tajam menyapu
Kaki menjejak bumi
Sayap mengepak ilmu
Melepas ragu gravitasi

Langit tanya berpola biru
Diluasan gigih mencari
Dengan jarak ingin tahu
Perlahan merenggut informasi

Terkadang memintal waktu
Mundur untuk mencoba berbagi
Ada saat diam termangu
Sejenak meluruskan hati

Ketika otot hilang kelu
Terbang akal menembus langit
Segala ragu tersapu tuju
Hingga menyentuh senja hari

Rabu, 07 November 2018

MATAMU PERLAHAN MEMERAH

Malam bintang kembar
Angin masih terasa hangat kemarau
Wajahmu jatuh menghadap duka
Dengan diam yang menghujat
Sinar matamu mendesak
Menanti ucap yang tercekat
Sementara semua bayang
Padati ruang kenang
Melesat cepat
Serupa kilas balik
Seperti labirin cinta kita

Segenap kata yang telahir
Sebagai pelengkap rindu terukir
Seperti langkah bidak tertatih
Perlahan mengepung cinta teralih

Malam kian hitam
Kelamnya memasung bintang
Beranda lengang hilang riang
Bibir kita terkatup berjuta kira
Mata menatap asing
Sedang hatipun berpaling
Peluh perlahan mengalir
Menahan sesak panas
Menggenangi kecewa
Birahi yang dulu tujuan
Terasa usang berubah nasib

Matamu perlahan memerah
Mengembang air mata luka menganga
Dan sedu sedan lemah
Tanda mata perpisahan

Selasa, 06 November 2018

BICARA WAJAH

(Sepotong wajah selintas resah
Sekerat kisah sepintas desah)

Sejarah dibentuk oleh genangan darah
Menyimpan sakit pada seulas merah
Lukanya menjadi gurat nestapa
Tangisnya suara putus asa
Setiap kerut wajah durjana
Tersenyum keji pada rahasia
Tatap tetap mencari tumbal raga
Sebagai hias sebatas bayang amarah

(Seraut wajah serabut duka
Sewarna tanah sekilas muka)

Waktu menulis takdir dengan seksama
Mantra kutuk ucap serapah
Mulut terkatup baris pagar kata
Pikiran diam sembunyi dalam gundah
Mata menjadi pintu angkara
Sinarnya menyapu tiap terbit tanya
Jiwa yang terpendam kelam maya
Tercetak jelas di raut menua

(Sesimpul wajah segenap usia
Setajam bilah seulas jumawa)

Senin, 05 November 2018

KERAH BIRU

Matahari timur merambah acak
Pepohonan melepas bayang
Ada kicau burung kutilang
Ada derum mesin mengerang
Sekelumit sinar menerobos
Lewat sobekan lapuk tirai
Menarik mimpiku hingga terjerembab
Dan menggugah mataku mengantuk
Lewat sentuhan jemari cahaya

Ku hempas kantuk dengan air
Ku tepis malas aroma sabun

Di meja berkaki tiga
Secangkir kopi jagung melepas asap
Wanginya memadati kamar
Dan sebatang rokok kretek sisa semalam

Aku kenakan seragam pabrik
Menatap kaca mematut kerut
Menggaris rambut
Lalu duduk menghadap kopi jagung dan rokok kretek

Sepatu kets asli palsu, sudah
Gadget cina angsuran, sudah
Jaket lokal kulit imitasi, sudah
Motor kredit, dikeluarkan perlahan
Di start dan mendengking lembut

Gelombang menyemut carut marut
Dengan warna dan gerak seragam
Tinggalkan gubuk buruk bertumpuk

Berjalan bersama ribuan wajah
Masuki gerbang serupa mulut menganga
Menjual tenaga dan waktu
Diayak sistem dan mesin
Untuk mendapatkan UMR

Minggu, 04 November 2018

KAKIKU TERANTUK

Kakiku terantuk daun pintu
Sakitnya melesat cepat ke otak
Spontan mulutku teriak: "Bangsat!"

Engsel pintu berderit
Terkekeh di atas deritaku
Pintu bergoyang menari

Sakit perlahan berdenyut
Ada luka menitik merah
Kulit ari terkelupas

Tertatih aku menuju lemari
Sebotol obat luka kurogoh
Kuteteskan pada luka. Namun kosong

Kucoba tuang ke telapak
Tak ada cair mengalir
Kubanting tutup dan membatin: "Bangsat!"

Sabtu, 03 November 2018

AKU TERMANGU

Garis wajah lugas tertatah sebab panas dan angin
Tegas warisi sudra pangku derajat brahman
Kulit tembaga tua warna tanah tumpah
Mengecap selera pawon simbok di lembur

Busana modis berbanding lurus bangku pendidikan
Duduk elegan berhak tinggi komunitas eksklusif
Jelata menaiki langit berbekal bimbang dan canggung
Satu kaki memijak ambisi kaki lain terpincang

Tahbiskan cita diri sebagai warganegara dunia
Batas tiada halang untuk berbaur gaul
Jarak merapat serupa pernikahan antar ras
Semesta alit dan jagat wadag berpadu satu

Negara beragama dunia sekte teknologi
Budaya berbasis cepat saji dan industri
Koneksi terhubung oleh serat dan cahaya
Sekat hanya norma yang sering kali kalah

Komunikasi hanya berbatas kuota dan harga
Tegur sapa membentuk tingkat kelas sosial
Ketika bunda memanggil mengirim pesan rindu
Lidah terbata mengeja cinta dengan bahasa ibu

Kamis, 01 November 2018

MIMPI SUREALIS

Jalan menanjak melandai menuju ufuk
Matahari tertahan di ceruk membelah biru
Seumpama rumput menguning
Bebatuan tersapu angin puting

Jalan mulai bergelombang
Onak tersembul di tiap tikung
Di depan jembatan berderit
Bergoyang bertelekan tanaman rambat

Sungai tak hendak beriak
Berwarna kesumba dan diam
Selintas ikan berenang melenggok
Seringai gigi dan tajam sirip

Jejak langkah di rumah kaca
Bintang berkedip kunang-kunang
Serumpun kemuning menatap langit
Kelopaknya sebagai pigura. Asing

Luasan cakrawala nuansa telur asin
Setangkup awan digiring sekawan punai
Gunungan menancapkan kaki dalam-dalam
Aku dan pelangi sendiri berbagi sepi

Nyamuk terperangkap hilang dengung
Memijah di hamparan nuansa kerontang
Aku terpana bentuk abstrak di tembok mimpi
Seolah semua merajam kesadaran

Tiba-tiba,
mataku nyalang
keringat mengalir
langit kamar tertindih gelap

Di sisiku, istri tertidur
Memeluk mimpi
Mendengkur halus
Damai

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...