Dari kesenyapan
Bayangan mendatangi cahaya
Sambil mengendap-endap sunyi
Mendekati dan mengangkat lengan nasib
Tiba-tiba secepat kilat menghujamkan tajam pisau
Mengoyak, mencabik dan merobek kecewa
Berulang kali hingga menjadi luka nganga
Dari sela serpihannya, mengalir duka menganak sungai
Jumat, 30 Agustus 2019
Kamis, 29 Agustus 2019
RUANG
Pedalaman batin adalah belantara kata
Dibatasi sekat rapuh prasangka
Serupa ruang pengakuan dosa
Dan nurani sebagai Romo
Dibatasi sekat rapuh prasangka
Serupa ruang pengakuan dosa
Dan nurani sebagai Romo
Mengenyam setiap pengakuan senyap
Satu ketika kesadaran terbangun gelisah dari tapa tidurnya
Mulutnya mengulum segala caci dengki
Perutnya dipenuhi dogma dan taklid buta
Hingga setelah kenyang, kembali bergelung di pojok ruang pikiran. Lelap.
Terkadang kata menghancurkan sekat dan memporandakan ruang waktu
Lalu dengan khusyuk nyaris serupa pengekor buta, mereka bunuh diri. Masal.
Melepas segenap makna dari selubungnya
Dan terbang menembus angan ke tujuh
Ketika ruang telah lengang, kering, serupa padang
Tumbuh dari lantainya rumpun semak duri
Menutupi segenap angan dan menghalangi cahaya menghangatkan hati
Sementara jagad cilik perlahan kembali apatis
Satu ketika kesadaran terbangun gelisah dari tapa tidurnya
Mulutnya mengulum segala caci dengki
Perutnya dipenuhi dogma dan taklid buta
Hingga setelah kenyang, kembali bergelung di pojok ruang pikiran. Lelap.
Terkadang kata menghancurkan sekat dan memporandakan ruang waktu
Lalu dengan khusyuk nyaris serupa pengekor buta, mereka bunuh diri. Masal.
Melepas segenap makna dari selubungnya
Dan terbang menembus angan ke tujuh
Ketika ruang telah lengang, kering, serupa padang
Tumbuh dari lantainya rumpun semak duri
Menutupi segenap angan dan menghalangi cahaya menghangatkan hati
Sementara jagad cilik perlahan kembali apatis
Kamis, 22 Agustus 2019
LEWAT TENGAH MALAM
Suara di dalam benak
Seperti si bijak mendikte
Meremuk logika jadi remah
Dicampakkan sebagai sampah
Pikiran seumpama jalan sempit berliku
Menatap di balik jendela buram
Kebenaran serupa benang kusut
Kadang naif sering bodoh
Kata serupa jarum. Tajam.
Ditusukkan pada kesadaran
Mengikatnya dengan tali ijuk
Dan duka terpendam diam
Ketika otak lumpuh
Terpasak luka mengaduh
Gaduh telah senyap mengendap
Kenyataan serupa rumput, merana.
Seperti si bijak mendikte
Meremuk logika jadi remah
Dicampakkan sebagai sampah
Pikiran seumpama jalan sempit berliku
Menatap di balik jendela buram
Kebenaran serupa benang kusut
Kadang naif sering bodoh
Kata serupa jarum. Tajam.
Ditusukkan pada kesadaran
Mengikatnya dengan tali ijuk
Dan duka terpendam diam
Ketika otak lumpuh
Terpasak luka mengaduh
Gaduh telah senyap mengendap
Kenyataan serupa rumput, merana.
BERBURU PIKIRAN
Terbetik dalam pikiran mengalir darah merah
Tumpah jauh hingga menggenangi otak
Segenap warna tenggelam dalam pusaran emosi
Lalu berpendar meledak menyebar ke setiap kesadaran
Sudut yang menyiku hanya lengkung
Tiada ujung hanya awal dari akhir yang terus bersambung
Mata yang mencatat semua sensasi birahi
Mengirim duka psikedelik dan luka eklektik
Kemudian bayangan terbang ke pulau di langit pastel
Menemui kucing hitam yang berdiri sendiri di bukit kurcaci
Serentak akal menangkap titik-titik bintang yang terdampar
Dan meletakkannya dalam liang hitam bumi
Akhirnya tubuh hanya tersungkur dan terkungkung lesu
Terdiam dan terikat oleh tali khayal yang mencekik
Pencerahan telah dihempas hingga hilang harga
Mimpi seolah jalan cerita metalik yang nyata
Tumpah jauh hingga menggenangi otak
Segenap warna tenggelam dalam pusaran emosi
Lalu berpendar meledak menyebar ke setiap kesadaran
Sudut yang menyiku hanya lengkung
Tiada ujung hanya awal dari akhir yang terus bersambung
Mata yang mencatat semua sensasi birahi
Mengirim duka psikedelik dan luka eklektik
Kemudian bayangan terbang ke pulau di langit pastel
Menemui kucing hitam yang berdiri sendiri di bukit kurcaci
Serentak akal menangkap titik-titik bintang yang terdampar
Dan meletakkannya dalam liang hitam bumi
Akhirnya tubuh hanya tersungkur dan terkungkung lesu
Terdiam dan terikat oleh tali khayal yang mencekik
Pencerahan telah dihempas hingga hilang harga
Mimpi seolah jalan cerita metalik yang nyata
Minggu, 18 Agustus 2019
MAUT MELANGKAH DI BELAKANGMU
Kematian serupa kakang kawah
Pecah ketuban menjadi garba
Sedulur adik ari-ari ditemani cublik
Pulang memanjat nirwana
Ketika malaikat datangi mandatnya
Mati tak jua tersungkur ke depan
Apa tah terus terjerembab
Hanya irisan ruang waktu dan takdir, titiknya
Pecah ketuban menjadi garba
Sedulur adik ari-ari ditemani cublik
Pulang memanjat nirwana
Ketika malaikat datangi mandatnya
Mati tak jua tersungkur ke depan
Apa tah terus terjerembab
Hanya irisan ruang waktu dan takdir, titiknya
Kamis, 15 Agustus 2019
JALAN MENIKUNG
Usia beranjak menunggangi waktu
Menanggalkan jejak di angin lalu
Sekering semak belukar. Layu.
Si gila bersemayam di pikiran yang menipu
Sampai di titik semua pertanyaan adalah retorika
Dan jawabnya adalah pertanyaan belaka
Kita bisa menimbang kemana nasib berlaku
Dengan membaca tanda zaman dari buku
Ketika telah memanjat hingga ujung senja
Tangan bebas memetik bulan kertas
Dan dulu kita pernah tahu alasan untuk percaya
Hingga musim datang dan pergi di kamar putih
Tangga menuju surga telah dibentangkan
Namun kau tetap memilih hamparan emas
Sebab taman telah dihujani air dari mata yang lelah
Sehingga jalan menikung menuju tujuh lautan
Aku tidak bisa mengeluarkan teriakan di benak
Karena suaranya bergema di keheningan
Agar tak ada sesat sebab mereka berubah
Ikutilah bintang. Kau butuh seorang teman.
Menanggalkan jejak di angin lalu
Sekering semak belukar. Layu.
Si gila bersemayam di pikiran yang menipu
Sampai di titik semua pertanyaan adalah retorika
Dan jawabnya adalah pertanyaan belaka
Kita bisa menimbang kemana nasib berlaku
Dengan membaca tanda zaman dari buku
Ketika telah memanjat hingga ujung senja
Tangan bebas memetik bulan kertas
Dan dulu kita pernah tahu alasan untuk percaya
Hingga musim datang dan pergi di kamar putih
Tangga menuju surga telah dibentangkan
Namun kau tetap memilih hamparan emas
Sebab taman telah dihujani air dari mata yang lelah
Sehingga jalan menikung menuju tujuh lautan
Aku tidak bisa mengeluarkan teriakan di benak
Karena suaranya bergema di keheningan
Agar tak ada sesat sebab mereka berubah
Ikutilah bintang. Kau butuh seorang teman.
Selasa, 13 Agustus 2019
KAU MEMBERI JAWAB PADAKU
Dik, kita memang disandingkan oleh perjodohan
Usia terpaut matahari dan prenjak bernyanyi
Hidupku sebagai detik membosankan, terbiasa serupa kewajiban
Sedangkan kau kidang kencana yang berlari di padang perburuan
Aku bersikukuh menukar nasib seumpama penangkar bahagia
Umur kukebiri sehingga samar kerut mata
Kau mencoba jadi kijang jinak yang melangkah anggun
Berusaha mengejar usia, acap dengan ucap dan sikap
Dik, maukah kau menjadi sigaran nyowo siang kerontang
Walau dijodohkan, aku mengharap kepastian tulus dan relung hati
Kau tetap sepi dan menunduk, ada sekilas senyum di bibir tipis dan pipimu semburat jambu
Dari sudut mata ada lirik yang binar seolah mengucap: Cinta.
Usia terpaut matahari dan prenjak bernyanyi
Hidupku sebagai detik membosankan, terbiasa serupa kewajiban
Sedangkan kau kidang kencana yang berlari di padang perburuan
Aku bersikukuh menukar nasib seumpama penangkar bahagia
Umur kukebiri sehingga samar kerut mata
Kau mencoba jadi kijang jinak yang melangkah anggun
Berusaha mengejar usia, acap dengan ucap dan sikap
Dik, maukah kau menjadi sigaran nyowo siang kerontang
Walau dijodohkan, aku mengharap kepastian tulus dan relung hati
Kau tetap sepi dan menunduk, ada sekilas senyum di bibir tipis dan pipimu semburat jambu
Dari sudut mata ada lirik yang binar seolah mengucap: Cinta.
Senin, 12 Agustus 2019
SURAT
Sepotong kabar menggenggam rindu
Bersembunyi di rumpun kata
Dilempit dalam lipatan amplop
Dan perangko seri pahlawan
Tak ada cerita hanya jarak
Membentang antara hati dan sepi
Tulisan tangan yang rapi
Dan tetesan air mata duka
Perlahan surat kusimpan rapih dalam ingatan
Kertas kuremas hingga pedih perih
Kucium, ada samar bau tubuhmu
Aku tercenung dan melarung setiap doa yang kuingat
Bersembunyi di rumpun kata
Dilempit dalam lipatan amplop
Dan perangko seri pahlawan
Tak ada cerita hanya jarak
Membentang antara hati dan sepi
Tulisan tangan yang rapi
Dan tetesan air mata duka
Perlahan surat kusimpan rapih dalam ingatan
Kertas kuremas hingga pedih perih
Kucium, ada samar bau tubuhmu
Aku tercenung dan melarung setiap doa yang kuingat
Minggu, 11 Agustus 2019
KUCING HITAM
Aku sedang duduk menatap televisi. Pintu terbuka menghadap beranda. Dari gelap malam berdatangan serangga lewati pintu. Menerjang lampu bohlam di langit-langit.
Tiba-tiba, kucing hitam melintas di depan pintu. Gontai. Berdiri. Diam. Menoleh dan menatap ke arahku. Matanya yang kuning bersinar tajam terkena sinar lampu. Pandangnya menghujam ke mataku.
Tubuhnya terlindung malam. Serupa siluet. Hanya titik perak cahaya lampu di ujung bulunya yang berkedip.
Aku terkejut. Sebab kilau matanya bukan seperti mata hewan. Seram. Buas. Kelam.
Sambil mengibaskan ekornya, berjalan meninggalkanku terkesima.
Malam itu, sepanjang malam, terdengar suara erangan kucing. Bercumbu dan berkelahi di belakang rumah. Kadang erangannya terdengar di kandang, kemudian pindah di pelataran.
Suaranya menghantui sunyi malam.
Mengagetkan anakku yang sedang tidur. Hingga ia menangis.
Istriku hampir semalaman tidak tidur. Menggendong anakku. Meneteki. Meninabobokkan.
Paginya, anakku badannya demam.
Merengek terus, minta digendong.
Diberi obat turun panas, tidak mempan. Demamnya tidak turun.
Akhirnya, dengan sedikit panik kukeluarkan sepeda onthelku.
Istriku, sambil menggendong anakku dengan jarig, duduk di boncengan. Kami pergi ke rumah dukun tua.
Di rumah dukun, anakku dijampi dan disembur air mantra bercampur ludah. Oleh dukun anakku dikalungi jimat terbuat dari kulit kijang muda. Diagnosanya, anakku kesambet.
Aku jadi ingat, semalam kucing hitam lewat di depan pintu dan menatapku. Itu pertanda. Itu firasat.
Setelah mengantar pulang istri dan anakku, aku bergegas ke pasar. Kubeli ikan asin dan racun tikus.
Setibanya di rumah, ikan asin kulumuri dengan racun tikus. Dan kuletakkan dimana sekiranya kucing hitam itu lewat.
Sore hari, aku ke kandang. Hendak memberi makan sapi. Ketika sedang menurunkan jerami, terlihat bangkai kucing hitam terbujur kaku di atas jerami. Mulutnya menganga. Mengeluarkan liur. Matanya terbelalak. Menuduh.
Seolah mengatakan "Apa salahku? "
Tiba-tiba, kucing hitam melintas di depan pintu. Gontai. Berdiri. Diam. Menoleh dan menatap ke arahku. Matanya yang kuning bersinar tajam terkena sinar lampu. Pandangnya menghujam ke mataku.
Tubuhnya terlindung malam. Serupa siluet. Hanya titik perak cahaya lampu di ujung bulunya yang berkedip.
Aku terkejut. Sebab kilau matanya bukan seperti mata hewan. Seram. Buas. Kelam.
Sambil mengibaskan ekornya, berjalan meninggalkanku terkesima.
Malam itu, sepanjang malam, terdengar suara erangan kucing. Bercumbu dan berkelahi di belakang rumah. Kadang erangannya terdengar di kandang, kemudian pindah di pelataran.
Suaranya menghantui sunyi malam.
Mengagetkan anakku yang sedang tidur. Hingga ia menangis.
Istriku hampir semalaman tidak tidur. Menggendong anakku. Meneteki. Meninabobokkan.
Paginya, anakku badannya demam.
Merengek terus, minta digendong.
Diberi obat turun panas, tidak mempan. Demamnya tidak turun.
Akhirnya, dengan sedikit panik kukeluarkan sepeda onthelku.
Istriku, sambil menggendong anakku dengan jarig, duduk di boncengan. Kami pergi ke rumah dukun tua.
Di rumah dukun, anakku dijampi dan disembur air mantra bercampur ludah. Oleh dukun anakku dikalungi jimat terbuat dari kulit kijang muda. Diagnosanya, anakku kesambet.
Aku jadi ingat, semalam kucing hitam lewat di depan pintu dan menatapku. Itu pertanda. Itu firasat.
Setelah mengantar pulang istri dan anakku, aku bergegas ke pasar. Kubeli ikan asin dan racun tikus.
Setibanya di rumah, ikan asin kulumuri dengan racun tikus. Dan kuletakkan dimana sekiranya kucing hitam itu lewat.
Sore hari, aku ke kandang. Hendak memberi makan sapi. Ketika sedang menurunkan jerami, terlihat bangkai kucing hitam terbujur kaku di atas jerami. Mulutnya menganga. Mengeluarkan liur. Matanya terbelalak. Menuduh.
Seolah mengatakan "Apa salahku? "
Jumat, 09 Agustus 2019
1984
Tirani bersembunyi dalam barisan kata
Bersemayam dengan nyaman di lembar-lembar buku
Tertidur oleh waktu hingga lembar pertama dibuka
Kata sebagai kayu bakar kesadaran
Perlahan meremukkan otak hingga lebur
Didaur ulang dan direkatkan kembali oleh dalil
Tirani serupa jeruji yang memenjarakan pikiran
Memisahkan kata hati dengan kebebasan
Menaruhnya jauh di angan-angan yang berdebu
Seperti babi gemuk lucu yang memimpin dengan gigi taring anjing
Setiap patuh adalah sederajat budak
Pembangkangan hanya diganjar satu, rodi dan mati
Tirani adalah kata dan acap kebenaran mutlak
Yang mengatur hingga detik dan nafas
Sedangkan suara-suara dan langit hanya sisakan bisu
Bersemayam dengan nyaman di lembar-lembar buku
Tertidur oleh waktu hingga lembar pertama dibuka
Kata sebagai kayu bakar kesadaran
Perlahan meremukkan otak hingga lebur
Didaur ulang dan direkatkan kembali oleh dalil
Tirani serupa jeruji yang memenjarakan pikiran
Memisahkan kata hati dengan kebebasan
Menaruhnya jauh di angan-angan yang berdebu
Seperti babi gemuk lucu yang memimpin dengan gigi taring anjing
Setiap patuh adalah sederajat budak
Pembangkangan hanya diganjar satu, rodi dan mati
Tirani adalah kata dan acap kebenaran mutlak
Yang mengatur hingga detik dan nafas
Sedangkan suara-suara dan langit hanya sisakan bisu
Rabu, 07 Agustus 2019
WAKTU DAN SEBUAH KATA
Aku memilih waktu dari tumpukan kesempatan yang mengonggok
Mencoba sesaat, mencari luang dan sempat, diantara lipatannya
Dan mematut semangat berlama-lama di hadapan cermin hati
Menanggalkan sedikit ragu yang masih menyiksa
Api lilin menerangi kita, membakar sisa gugup di mataku
Gelas tinggal setengah sebab kering kata
Wajah kita sedekat bayangan rindu
Telapakku berkeringat dingin menenggang degup
Sedikit malu kugenggam tanganmu. Ada getar.
Dalam, kupandangi garis kecantikanmu
Dilingkupi malu oleh pilinan harap cemas
Terbata, kubisikkan satu kata di kupingmu mungil. Cinta.
Mencoba sesaat, mencari luang dan sempat, diantara lipatannya
Dan mematut semangat berlama-lama di hadapan cermin hati
Menanggalkan sedikit ragu yang masih menyiksa
Api lilin menerangi kita, membakar sisa gugup di mataku
Gelas tinggal setengah sebab kering kata
Wajah kita sedekat bayangan rindu
Telapakku berkeringat dingin menenggang degup
Sedikit malu kugenggam tanganmu. Ada getar.
Dalam, kupandangi garis kecantikanmu
Dilingkupi malu oleh pilinan harap cemas
Terbata, kubisikkan satu kata di kupingmu mungil. Cinta.
Senin, 05 Agustus 2019
DAN MUSIM BERGANTI
Tanah tempat segala musim berlabuh
Mengabarkan dukanya hamparan debu
Dibawanya angin ke segenap perdu
Hingga terdampar di pelataran rumahku
Kering kemarau ialah mantra hujan
Pohon meranggas bercabang sunyi
Langit bunting berat oleh kilat
Pecah menjadi murka
Tanah retak karena luka kerontang
Terhenyak menatap awan hujan
Tetesnya dikandung geram
Dan pelataran perlahan basah
Mengabarkan dukanya hamparan debu
Dibawanya angin ke segenap perdu
Hingga terdampar di pelataran rumahku
Kering kemarau ialah mantra hujan
Pohon meranggas bercabang sunyi
Langit bunting berat oleh kilat
Pecah menjadi murka
Tanah retak karena luka kerontang
Terhenyak menatap awan hujan
Tetesnya dikandung geram
Dan pelataran perlahan basah
Sabtu, 03 Agustus 2019
KAKI
Langkah menyeret kaki hampiri sejarah
Tenggelam dalam hingga mata hati
Serupa bajak menghujam lumpur sawah
Jejaknya benamkan lara rumput kering
Setiap pijak yang membentuk jejak
Harga yang dinisbahkan pada kaki
Segenap cinta yang coba diraih
Adalah telapak sebagai wadahnya
Tenggelam dalam hingga mata hati
Serupa bajak menghujam lumpur sawah
Jejaknya benamkan lara rumput kering
Setiap pijak yang membentuk jejak
Harga yang dinisbahkan pada kaki
Segenap cinta yang coba diraih
Adalah telapak sebagai wadahnya
BUNGA
Warna di tangkai
Pamerkan seri
Kuntumnya angin
Menebar dupa wangi
Dari pelosok lebah menelisik
Sebagai birahi pagi
Dilesapkanya kaki
Menempel serbuk sari
Pamerkan seri
Kuntumnya angin
Menebar dupa wangi
Dari pelosok lebah menelisik
Sebagai birahi pagi
Dilesapkanya kaki
Menempel serbuk sari
Kamis, 01 Agustus 2019
MENANTI KABAR
Ibu membaca langit dari balik jendela
Matanya buah badam, mencari rindu
Jemarinya gelisah merapal nama pada tasbih
Menanti kabar burung layang menyebrang
Duh, kepingan cinta yang hilang
Telah gadai tahun oleh pergimu
Sekecap ucap pun tiada sambang
Sekedar saputangan mengusap airmata
Ibu termenung sendiri di ujung ranjang
Diraihnya setiap khawatir serupa kekasih
Dipeluknya hati berselimut bordir motif duka
Segenap cemas disampirkan lewat angin
O, biji mata, separuh bunga cintaku
Bahagiaku tengah sabar menanti sua
Rentang rindu sebagai jarak dan waktu
Doa tetap rekatkan kenangan
Matanya buah badam, mencari rindu
Jemarinya gelisah merapal nama pada tasbih
Menanti kabar burung layang menyebrang
Duh, kepingan cinta yang hilang
Telah gadai tahun oleh pergimu
Sekecap ucap pun tiada sambang
Sekedar saputangan mengusap airmata
Ibu termenung sendiri di ujung ranjang
Diraihnya setiap khawatir serupa kekasih
Dipeluknya hati berselimut bordir motif duka
Segenap cemas disampirkan lewat angin
O, biji mata, separuh bunga cintaku
Bahagiaku tengah sabar menanti sua
Rentang rindu sebagai jarak dan waktu
Doa tetap rekatkan kenangan
Langganan:
Postingan (Atom)
ANAK
Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...
-
Malam itu hanya ada gerimis Tak ada teman yang lain Bayi suci menangis di gendongan. Lapar Sedangkan tete ibunya kempes Malam itu kudus Kar...
-
Lusi di langit dengan hati (dalam) perjalanan ke pusat hati (dan) mengetuk pintu hati (ucapkan) selamat datang ke hatiku Seseorang di dalam ...
-
Saat itu malam hanya butuh istirahat Tiba-tiba hujan mengerubunginya Suaranya liar dan menggelegar Seperti langit akan runtuh Pohon ketakuta...