Minggu, 31 Mei 2020

MEREKA ULANG PANCASILA

Pancasila digali dari halaman belakang budaya kita
Seperti menggali umbi, fatwa pujangga
Ketika kemarau tiba cukup disimpan di tempat teduh
Sesekali disiram agar maknanya tetap membumi 
Tunasnya menjadi pohon rindang yang menaungi anak bangsa
Ketika hujan beranak pinak menyuburkan pertiwi

Ketuhanan adalah lanjaran tempat sulur cinta merekat dan merambat
Kemanusiaan sebagai kecambah empati yang diperkaya oleh adab
Persatuan merupakan pengejawantahan keanekaragaman. Budaya dan warna
Permusyawaratan soko guru kegotongroyongan dan kemandirian sikap
Keadilan adalah mata pedang tanpa kompromi untuk persamaan dan kemanusiaan

TEMBAKAU

Tembakau adalah budaya
Menyunggi bibir merah sirih si mbok
Ketika hari panas berangin merabu mata
Dan uyon-uyon membisikkan kantuk

Abah menyalakan korek minyak tanah
Disulutnya rokok klobot yang terselip di bibir
Dengan tenang duduk di beranda sambil menghisap
Di atas para-para burung berkicau dan bernyanyi

Tembakau adalah industri
Limbahnya terukur
Kemasannya menjual
Peringatannya menghibur

Pajaknya subsidi silang dengan kesehatan
Tempat mengais rejeki dari hulu hingga hilir. Pabrik dan produk
Lobi konsesi dan tawar menawar kepentingan
Kartu yang dimainkan pemenang

Tembakau adalah kita
Aktif maupun pasif
Udara yang dihirup
Budaya yang hidup


SILANG PENDAPAT

Ide sering terperosok
Jatuh ke dalam kubangan argumen
Saling menyerang dengan pisau pengetahuan
Menusuk akal sehat

Strategi adalah sejumlah luka di tubuh musuh
Ditembus oleh sumpah serapah
Dipicis dengan dengki dan hasud
Hingga ego menang mutlak

Jumat, 29 Mei 2020

SANDYAKALA 1

Burung gereja masih hinggap
Usia diam dalam sekejapan
Sebab tiada angin
Sisanya hanya lelah
Dan degup tanda hidup

Awan kelabu dilapisi lembayung
Mata tua memandang
Menyimpan rindu dendam 
Menyandang rabun senja
Lalu lenyap dalam senyap

Kamis, 28 Mei 2020

BAWA AKU PULANG

Setelah sekian lintasan mentari dan hitungan purnama
Usia nyaris dipenuhi uban
Sejarah usang dimakan ngengat
Jejak kaki tersesat tinggalkan mata angin
Bawa aku pulang

Ufuk tertatih di belakang
Menjauhi punggung horison
Jaraknya adalah waktu yang terbuang
Sedang sisanya hanya ikuti musim
Bawa aku pulang

Langkah terakhir tertangguh
Karena beban menanggung
Selebihnya hanya sakit penyakit
Hati tetap menatap kampung halaman
Bawa aku pulang

Rabu, 27 Mei 2020

DI UJUNG JALAN DHOHO

Di selatan jalan
Perempatan
Sebuah becak belok ke kiri melintasi jaman
Bergumul dengan keramaian

Klakson menjerit
Membelah
Pertokoan telah senja tetap berbaris
Sembunyi di punggung pedagang kaki lima

Papan iklan tiada semarak
Pelayan toko tak ada semanak

Di ujung jalan Dhoho
Selalu memiliki perspektif

Senin, 25 Mei 2020

RUMAH KOSONG

Lampu menyala di teras siang
Berbisik di benak, "rumah kosong"
Di halaman daun kering berserakan
Tidak mengenal sapu hanya angin melintas

Pagar besi disatukan oleh gembok
Gerobak sampah tiba dengan pacul dan linggis
Berhenti dan sekejap menatap lampu sunyi
Kemudian mengais sampah mencari rongsok

Lampu melewati malam ditemani serangga
Kaca rayband menghalangi pandang
Kepak sayap dan jangkrik mengerik

Malam bediding lampu berkedip
Sosok bayang lompati pagar
Di depan pintu keluarkan linggis

Minggu, 24 Mei 2020

KURSI MERAH TUA

Kursi itu bersandar di tembok
Menemani telpon rumah yang jarang berdering
Sudut paling debu

Dulu kita bertukar kabar
Tenggelam dalam kata-kata
Kursi itu menampung dusta

Waktu telah ruang
Kursi itu setia dan usang
Diam dan lengang

Jumat, 22 Mei 2020

HARI KEMENANGAN

Dari sakit penyakit dan waktu yang hilang
Setelah kaki diseret hingga debu mengabu
Semua pengorbanan menitikkan keringat darah
Tenaga telah habis terkoyak
Sedang harapan antara ada dan tiada
Tibalah langkah pada hari kemenangan
Tapal batas antara ketidakpastian

Menghadap adalah tanah pijakan sebagai padang perburuan
Dimana setiap jengkal dosa dikandung
Jalan yang harus dilalui tersamar semak
Setapak membelah sunyi dengan rindu dendam
Satu dua pohon naungi kering yang kerontang
Onak duri menjadi ornamen arah haluan
Akal tetap menyeret tubuh nestapa
Menjadi juara sejati lewati horison

Kamis, 21 Mei 2020

KEBANGKITAN

Kebangkitan adalah mencicipi kematian
Waktunya tidak dapat digeser. Maju atau mundur
Setelah keterpurukan sejarah
Dan diinjak oleh hasud dan dengki

Hujan air mata dari pelosok
Doa pelacur dengan ratus setanggi dupa
Perut yang lapar berisi kebodohan
Momen bertemunya jalan kepastian. Kebangkitan

Tiga hari terasing dalam goa
Luka telah meruyak
Kaki menginjak-injak pertiwi
Semua hajat hidup diperas hingga meneteskan kebangkitan

Selasa, 19 Mei 2020

DUEL

Tubuhnya diam ototnya meregang tegang
Hanya matanya tajam mengawasi
Seolah satu kedipan adalah harga nyawa
Sedang angin tiba-tiba berhenti

Pedang kemilau diasah cahaya
Bilahnya dingin berwarna kematian
Tangan kian erat menggenggam
Detik melambat malam pucat

Secepat kilat tangan mengayun
Kilau pedang membelah malam
Menghujam tajam membenam dendam
Darah menggenangi bumi

Sabtu, 16 Mei 2020

JALAN

Lampu jalan awasi bayang lintasi sunyi
Cahayanya sedikit buram dikoyak serangga
Tubuhnya lelah menopang malam
Seorang wanita menyalakan rokok di balik angin

Daun jatuh di pinggir dan terpana
Trotoar dampingi jalan telusuri kenangan
Sepasang kekasih berpegangan tangan
Melangkah beriring bertudung angin

Dingin mulai menghampiri ruas jalan
Terbawa kemarau hingga ke tulang rusuk
Pedagang kaki lima duduk terpekur sendiri
Menanti rejeki serupa menggantang angin

Jumat, 15 Mei 2020

MEMBACA TUHAN

Ketika benang putih dan hitam bercerai
Ketika panas mencambuk punggung ringkih
Ketika keringat meneteskan lelah di dahi
Ketika rumput takjub pada senja mentari
Ketika serangga menumbuk cahaya untuk mati
Ketika peraduan merebahkan kantuk dibalik selimut mimpi
Ketika kokok pertama merobek sunyi dan rahmat melingkupi

Selasa, 12 Mei 2020

JALAN KEMBALI KE RUMAH

Perempatan itu adalah kota
Kecil dan sepi
Jalan ke selatan menuju rindu
Dinaungi sengon dan randu
Sedikit jati merana melepas daun

Di kiri jalan sejauh debu mengaduh
Rumah kecil bercat kapur
Beratap beludru sutra dusun
Jendelanya menatap haru

Bayangan ayah
Ibu yang renta
Kenangan tahun yang hilang

Terpana di hati yang degup
Kendaraan mengikuti laju

Kampung silamku tunggu kedatanganku

Minggu, 10 Mei 2020

GERIMIS MEI

Nampaknya kemarau tidak dapat bercerai dari hujan
Seperti air mata kekasih jatuh di haribaan
Bumi menadahkan rindunya
Merangkulnya hingga terbenam

Angin bergeming menemani
Memandangi hujan yang merintih
Satu dua titik tampias
Masuk ke beranda hati

Tirai hujan sedikit tersingkap
Tanah melepas wangi tubuhnya
Matahari tetap berteduh di balik awan
Hanya mengutus lembayung sebagai tanda

Jumat, 08 Mei 2020

NONGKRONG

Strategi catur
Secangkir kopi sachet
Kepulan asap kretek filter
Menemani bincang kita

Kerumunan berbisik berisik
Berdebat berkomentar
Pertarungan kian berdarah-darah
Raja tersudut cangkir tersenggol

Lagu dangdut menghibur
Mengalun dari radio satu band
Lampu jalan terpekur
Malam terus merayap

Kamis, 07 Mei 2020

TERJAGA

Aku jatuh terjerambab, 
ditarik dari mimpi malam
Selimut perca jahitan bunda, 
tersungkur di kaki amben
Sebahagian mimpiku berkeping, 
berantakan mengotori kesadaran

Jam menunjuk pada kantuk, 
karena malam hanya sepi
Gelap terusir oleh sinar lampu, 
dan bersembunyi di rimbun daun
Mencuri sebagian mimpiku, 
sehingga tidurku tidak pulas

Bantal dan guling tak juga menggantikan

Rabu, 06 Mei 2020

KAWAN

Sekadar jarak adalah jumlah pertemanan
Dipererat ketika menenggak, 
mencuri menit yang terselip
Dibarter dengan kabar secuil

Pandang tak pernah bersinggungan
Dalam kopi kita percaya
Saling mereguk serupa bertandang
Membagi sama rata pada malam 

Kita sesekali bertukar kangen
Kau datang mengendap
Sering kali tanpa tegur
Karena kabar bawa sinyalnya sendiri

Selasa, 05 Mei 2020

AKU DIANTARA 00.00 - 03.00

Diantara kerumunan malam yang mengepung
Aku mengintai kantuk
Menyamar sebagai lampu
Di setengah cangkir kopi tubruk

Sedangkan pikiran membawanya berkeliaran
Melompati tuts laptop dan kedip kursor
Kadang nyamuk menaruh di kulit
Dan serangga malam merajut cahaya

Lagu ditebar di sekujur kamar, suaranya lirih
Seperti mantra berima memanggil nini towok
Berulang dan monoton

Lalu doa rebah di atas kasur
Menemani kantuk agar tidak sepi
Melewati kokok ayam jantan pertama
Hingga bersua dengan mimpi

Minggu, 03 Mei 2020

MENGAPA CINTA MENJADI SEDEMIKIAN BURUK

Kata diasah hingga ujungnya tajam berkilat
Dengan sedikit cemburu sebagai pelumas
Kita saling menghujamkannya ke sekujur cinta

Birahi nyatanya berwarna pelangi
Dengan satu kata berbiak menjadi ribuan puja puji
Dan hati dipenuhi bahagia yang lebih ringan dari halusinasi

Seperti cerita, cinta menciptakan plotnya sendiri
Dijejalinya rayu dipenuhinya intrik
Rindu dendam pun luka hingga logika mati

Ketika kian intens mengoyak dengan tajam lidah
Kedua tangan memeluk kian erat hingga sesak nafas
Sebab cinta memang tentang memiliki dan menguasai

Sabtu, 02 Mei 2020

SEKOLAH

Sebagaimana bernaungnya segala kesakralan
Dimana langit dijunjung
Jiwa disucikan dalam kawah pegetahuan
Dimurnikan oleh asuhan dan pengawasan

Usia diabdikan pada keingintahuan
Menyerap kebijakan dan kebajikan

Ketika cantrik kembali membumi
Langkah pertamanya adalah ragu
Memilih kiri atau kanan
Sebab tidak diajarkan mengambil keputusan

Sewaktu seluruh tubuh dan hatinya telah dipenuhi luka
Disadarinya sekolah terbaik adalah hidup itu sendiri

Jumat, 01 Mei 2020

BURUH TANPA TANDA JASA (ii)

Malaikat membangunkan jago dini hari pertama
Sedang matahari entah dimana
Emak menggendong kantuk dan adik di punggung
Dengan seutas kain gombal
Tangannya membawa kayu bakar
Di pawon ia menyalakan api
Memasak air
Berdiang dari dingin yang menggigit
Berlindung dari nyamuk yang lapar
Beras ditanak
Kopi diseduh untuk menemani
Tiba-tiba adik meringik
Emak duduk di amben
Lalu adik digendongnya
Kancing dasternya dibuka
Susunya dikeluarkan dan langsung dilahap oleh adik
Setelah menidurkan adik
Emak menambah kayu bakar dan mulai masak

Matahari semata kaki lumpur sawah
Emak dan rombongannya menanam padi
Langkahnya mundur sambil membenamkan bibit
Kepalanya ditutupi tudung bambu menampik panas
Ketika istirahat. Sarapan
Kedua tangannya dicuci di selokan
Setelah duduk di bawah pohon mangga
Dibukanya bekalnya
Nasi dengan tahu tempe dan sayur terong
Dan seplastik teh hangat
Setelah selesai istirahat
Langsung dilanjutkan kerja
Hingga matahari membungkuk sebab terik
Dan keringat membasahi baju dan lipatan tubuh

Emak di pelataran mengenakan daster kebesarannya
Rambutnya yang tipis diikat karet gelang
Matahari sore ramah tersenyum hangat
Dipindahkannya kayu bakar yang telah kering terjemur
Disapunya karak sisa kemarin dan dimasukkan dalam karung
Tiba-tiba matahari hilang dan langit hitam
Tetes air mulai turun
Emak tergesa meninggalkan pekerjaannya
Berlari menuju jemuran

Malam t'lah tiba
Matahari lelah
Gelap lelah
Pepohonan lelah
Penghuni rumah lelah
Emak meneteki adik di kamar utama
Aku belajar ditemani serangga
Ketika bulan pukul sembilan
Semua penghuni telah bermimpi
Emak melanjutkan kerja melipat baju
Sambil mendengarkan uyon-uyon dari radio

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...