Rabu, 30 September 2020

SAKTI

Adalah ribuan nyawa meregang
Diiringi yel-yel yang menyihir
Darah yang menyuburkan pertiwi
Menyembur deras dari leher dukana
Perpisahan oleh jarak dan waktu
Juga oleh ideologi dan dengki
Saudara yang dijagal
Sebagai korban persembahan anak altar

Kemenangan dengan dalih pembebasan
Pembebasan yang menindas
Seperti mata pisau keadilan
Yang hanya mau menusuk
Tidak mengasah

Setelah tahun-tahun yang menangis
Kesaktian dibungkus segala dongeng
Dihiasi mitos dewa dewi durjana
Mata hanya menerima silau
Segala omong kosong pengamalan dan penghayatan
Menjadi agama baru bagi perut buncit
Disuntikkan ke jiwa yang kosong
Sehingga kebenaran menjadi hak penguasa

ALGOJO

Sluku bathok
Tangan diikat letih

Putus asa
Wajah tak huruf

Pedang berkilat
Tajam api suluh

Mata merah
Penuh liar amarah

Leher ditetak
Suara babi ngorok

Darah terburai
Bilah dijilat kering

Bangkai tercebur
Sungai merah sumba

Selasa, 29 September 2020

G30S

Malam telah terpasung
Petromak sedikit bergoyang sebab angin
Kerumunan terus bertambah
Kepala Desa mengucap sekapur sirih

Televisi bertengger di tonggak
Di pinggir lapangan voli balai desa
Ceritanya hitam putih
Tentang propaganda yang menghibur

Penduduk membentuk setengah lingkaran
Mata mereka mendongak
Tak laki tak juga perempuan
Semua mendadak cerdas berkomentar

Adegan telah sadis semburat darah
Adik bayi menangis kegerahan di gendongan
Ibu mengeluarkan tetek, pentilnya disodorkan
Di sebelah seorang lelaki merokok klobot

Tokoh baik dan jahat tampil silih berganti
Korban tujuh sebagai tumbal
Tiba-tiba gambar mengecil memper garis
Kamituwo tadi pagi lupa menyetrum aki

Untuk menuntaskan acara heroik
Perangkat memasang lagu mars perjuangan
Suaranya mendayu karena baterai tidak baru
Satu per satu orang meninggalkan sepi di pelataran

Kisah setiap tahun dibangkitkan
Pahlawan dan penjahat sudah jelas
Rakyat mencari hiburan
Karena sejarah ditulis oleh pemenang

BERTANDANG

Dengan membawa seikat rindu
Kau datangi malam muda

Kita duduk di kursi penjalin
Yang mengkilap karena usia
Sambil menikmati teh seduhan
Dan obrolan ringan

Ucap mengacak kenangan
Tentang tahun yang hilang

Kita mengemas tawa
Menutur kebodohan yang memalukan
Juga sedih merintih
Sebab kemana semua jejak mengarah

Diam nyatanya menjadi yang ketiga
Karena haru biru di pelupuk

Rindu telah menggenang
Kata kini tersedak
Cangkir hanya tersisa dingin
Angin mengantar malam

Senin, 28 September 2020

BULAN BARU

Kemarau telah sekarat di akhir
Dilepasnya semua panas dengan membabi buta
Dan langit sumringah karena cerah

Dengan sisa tenaga dihalaunya awan
Agar tidak berkumpul dan memberi teduh
Agar tiada hujan menghujam kerontang

Angin yang biasanya menitipkan kabar
Hanya berhembus dan murung
Meratapi daun dan bambu

Jika titik kulminasi telah bergulir
Musim berganti
Langit menangis bahagia

Minggu, 27 September 2020

KEBUN SENGON BELAKANG RUMAH

Sengon berdesakan berbagi hidup
Pucuknya berebutan menggapai
Burung kecil enggan bernyanyi
Sebab matahari tertutup kanopi

Secang menjadi pagar pembatas
Durinya menjaga dan mengawasi
Tanah kebun pecah dan kering
Sejumput rumput merana

HUTAN JATI

Daun jatuh berguguran
Pohon mendelu kelabu
Merebut hidup dari kemarau

Hutan hilang rimbun tak simpan angin
Matahari siang tanpa tedeng aling-aling

Daun menumpuk membusuk 
Menutupi tanah rekah
Dengan prihatin menahan air
Dari terik pukau silau

Puyuh mengais mencari
Makan malam keluarga kecil

Garangan diam berwarna humus
Matanya nyalang mengintai
Ketika jarak terungkap
Melompat terukur
Kukunya melesak
Di tubuh ringkih makan malamnya. Puyuh. 

Kamis, 24 September 2020

PENGETAHUAN

Pikiran menggenangi pelataran
Mengisi ceruk kosong keingintahuan
Ketika pengetahuan melesak tajam
Genangan beriak tanda tak dalam

Seperti ujung benang pintal
Ketika dirunut ke dasar palung
Pikiran tersesat hingga terpental
Yang tersisa hanya carut marut

Rabu, 23 September 2020

3 CM

Adalah panjang dari kehidupan
Sebab jantung
Sebab jari

Otak tengah menyusun rubiknya
Kepingan musik
Bisikan bunda
Lantunan kitab suci

Di tempat yang kokoh
Berkembanglah
Dengan sari pati tanah
Dengan cinta

Bila sampai waktunya
Tempati bumi manusia

MENGAIS MALAM

Ia menggantung malam di pos ronda
Asap rokok memucatkan warnanya

Bintang tetap terpaku di langit
Menemani sepi dan bulan sabit

Kopi jagung dituang di piring kecil
Diseduhnya aroma bunga kantil

Ia berteman dengan diam
Suara radio menyelinap kerap

Ketika angin berbisik
Ia melangkah lewati semak

ANGIN MASUK

Pada mulanya siang hanyalah panas
Angin yang menghelanya ke teritis
Terkadang melewati jendela
Berputar melingkar di ruang hati

Peluh menitik di pelipis
Menetes menjadi mimpi siang
Ketika angin mengusap kulit
Panas sejuk saling silang


Senin, 21 September 2020

MUSIM BERGANTI

Hujan datang tidak ramah
Menjinjing banjir hingga rumah
Airnya yang coklat
Merayapi tembok

Sejak sore mendung memberi tanda
Namun selokan tetap kering hanya sampah
Tetesan pertama tepat mendarat di tanah
Sebelum langit mencurahkan amarah

Air dengan cepat naik
Menghanyutkan plastik
Menariknya ke tempat yang rendah
Menjadi sampah basah

Listrik mati terbunuh
Gelap remang sejauh mata memandang
Gerimis masih datang dan pergi
Kadang petir mengintip dari balik malam

Air enggan surut
Mengalir tenang mencari kubangan
Hujan telah pulang
Langit masih menyimpan awan hitam

MEMANCING

Ia meletakkan waktu di ujung kail
Hanya ditemani diam
Sebatang rokok menghangatkan

Pikirannya menelisik hari
Istri menjual tenaga
Perutnya bunting tua

Ojek tiada ajeg
Anak belum baligh
Tukang kredit hilir mudik

Tiba-tiba semuanya kecemplung kali
Tali kail menegang
Semoga ikan besar untuk lauk makan

TOLONG

Memang kita menyisihkan waktu luang
Menuangkan isi kepala di atas nampan
Membeberkan rencana barisan kata
Kadang membakar uang sebagai pelumas

Soal nanti mengorek borok hati hingga luka
Dengan pisau logika bermata kebenaran
Diteguk sebagai jamu tapi pahit dan menyembuhkan
Atau hanya kayu bakar racun yang membakar harga amarah

Minggu, 20 September 2020

MAKAN

Mengingat lapar tidak lagi menentukan waktu makan
Memasak bukan urusan dapur atau gosong
Hanya menanti notifikasi berkedip di ruang tengah

Sesering lidah mencicipi dan lapar mata
Demikian pula jempol serta emotikon adanya
Sebab rakus dan pamer itu baik tiada mati angin

Sabtu, 19 September 2020

MENGINGAT

Semenjak dzikir menenggelamkan lidahku
Pikiranku bertemu segala kebutuhan hidup
Dalam diam tipuan pandang yang kelu

Satu ketika kuletakkan semua beban di atas sajadah
Sebab minta tangan menadah
Dan aku dihadiahi cobaan lain
Ujian, kata bijak bestari

Saat jurus pasrah kumainkan
Topeng wajahku berganti karakter
Berharap dispensasi dari langit
Agar hidup dapat dikemas lebih sederhana
Dan sakitpun dicerna dengan mudah

Langit tak ada reaksi
Tuhan hanya tersenyum

Jumat, 18 September 2020

GAJIAN

Malam telah larut, aku memasuki kamar. Kamar tempat merebahkan mimpi dan rindu. Udara di dalam pengap kemarau. Kunyalakan kipas angin untuk menghalau panas.

Kamarku kecil, berisi tempat tidur, lemari kecil untuk pakaian. Pernik-pernik ditaruh di meja kecil di bawah jendela.

Pakaian kerja kulepas dan kuletakkan di lantai. Kulepas BH dan celana dalam. Menghindari sumuk. Sekilas kulihat wajahku di cermin hias. Kerut mata tak dapat sembunyikan lelah. Kaus tanpa lengan dan celana pendek kukenakan. 

Tubuh terasa remuk setelah kerja sehari penuh dan setengah malam. HPku tiba-tiba berbunyi. Kuraih HP, ada notifikasi berkedip. Dari i-banking. Tanda uang gajianku sudah masuk akun.

Dengan ayal kuambil buku catatan keuanganku yang kuselipkan di bawah tumpukan baju. Aku duduk di lantai dan mulai memeriksa catatan sambil sesekali melihat HP.

Memang kerja sebagai pembantu tidak besar gajinya. Tapi sering mendapat tip jika majikan puas dengan kerja kita.

Jika gaji digunakan secara teliti dan hati-hati, biasanya cukup untuk memenuhi keperluan keluarga di tanah air. Masih ada sisa sedikit untuk digunakan jika ada perlu atau disimpan.

Kubaca catatan keuangan bulan lalu. Pos-pos yang harus kuisi. Kewajiban yang harus dibayar. Kebutuhan bulanan keluarga. Hutang piutang. Sisa tabungan. Pesanan anak di kampung yang minta dikirimkan dari sini.

Untuk emak sekian uang. Karena emak tinggal sendiri dan menemani genduk.

Belanja makanan sekian uang. Biasanya uang untuk belanja bulanan dan belanja harian dibedakan. Genduk yang pegang. 

Kredit motor dan angsuran renovasi rumah sekian uang. Biarpun nyicil yang penting hasil keringat merantau ke negri sebrang nyantol. 

Cicilan utang ke bude, uang untuk bayar kantor pemberangkatan, sekian uang. Syukurlah dua cicilan lagi lunas. 

Keperluan sekolah dan uang saku genduk, sekian uang. Anak mulai remaja, kebutuhan bertambah. Bedak, parfum, aksesoris. Untungnya baju dalaman dan baju luaran dikirim dari sini. Juga sepatu dan jam. 

Juga uang untuk beli kuota bertambah. Genduk makin banyak temannya. Kadang dia jajan atau dijajani teman.

Ah, masih ada sisa sekian uang dari tip dan sisa gaji. Jadi tabungan bisa bertambah kalau bulan ini aku irit. 

Kukirim WA pada genduk. Kukabarkan aku mengirim uang sejumlah sekian lewat e-banking. Kegunaannya kutuliskan satu-satu. Di akhir pesan kutulis, yang irit ya, nak. Mamah disini kerja keras. Bantu mamah!. Emotikon cium. 

Tidak lama kemudian, HP berbunyi. Ada pesan di WA dari nomor anakku. Ia menulis, iya mamah. Terimakasih. Emotikon hati. 

Tubuhku kurebahkan di atas ranjang. Rasanya nyaman. Capaiku serasa dipijat. Kipas mengusir panas dari sekujur. Namun pekerjaanku belum selesai. Bersih-bersih wajah. Mandi dan solat. Tapi itu lain cerita.

Kamis, 17 September 2020

KAMU

Kamu terlihat cantik malam ini
Lampu halaman pun tak kuasa menyembunyikan
Apalagi gang sempit menuju rumahmu
Tak dapat menandingi

Bajumu berwarna merah bahagia
Dengan potongan gairah musim kemarau
Senyum mengembang di bawah pohon jambu klutuk
Dan dadaku berdegup kikuk menangkap wajahmu

Kamu terlihat cantik malam ini
Membandingi malam cerah bulan bintang
Langkahku terhenti tepat di hadapan
Tak ada kata hanya waktu berhenti sekejap

Selasa, 15 September 2020

BELAJAR MENGAJAR

Setarikan nafas dua
Kelas tiada hadir jua
Hanya sinar mentari menerobos
Lewati daun srigading

Kita bercakap menanti
Guru tetap tak nampak
Layar bengong terlongong
Musik melahap paket data

Jam telah menanti cukup
Ada pesan berdenting
Tugas meringkas halaman
Sampai besok bertatap muka kembali

TETANGGA

Bau masakan sampai jauh
Jarak saudara
Kuah tumpah ruah
Sedarah kemanusiaan

Kematian dari pengeras surau subuh
Panjangnya ta'ziah pagi
Malam doa dilantunkan
Sejumlah piring soto dan berkat sebelum Isya

Omongan cepat menyebar
Seperti api melahap daun kering
Bantuan lekas mendatangi
Seperti sego pincuk yang disodorkan

Senin, 14 September 2020

TIDUR SIANG

Mari nak, kita datangi tidur siang
Dongeng telah menanti di bawah bantal
Juga di lipatan selimut jahitan tangan nenek

Kumpulkan semua imajinasimu
Hingga penuh kantung celana dan baju
Dan kenyang dengan masakan bunda

Di hamparan kasur matamu mengajuk
Menanti setiap pahlawan keluar
Berperang menumpas naga dari bibirku

Ketika kisah mulai bercerita
Tubuhmu diam dan pandang kian redup
Nafasmu teratur masuki mimpi

PERJUANGAN

Jarak malam dan cinta menjauh
Ransel mencukupi untuk baju
Tiada sisa bagi peluk cium
Hanya sedikit ucap basa basi

Bus dan truk lewat
Masuk ke dalam malam
Pikiranku melayang ke rumah
Di bahu waktu dan kecepatan

Sedikit senandung alihkan rindu
Jalan kian terlipat makin dekat
Jam menunjukkan malam renta
Waktunya masuk kerja

Minggu, 13 September 2020

PESTA

Pertumpahan darah adalah palagan bagi pesta demokrasi
Untuk menunjukkan wajah kasihnya, bencana

Setelah bersilat ribuan kata
Beradu pena saling menikam
Mari kita asah golok
Hingga kilaunya pejamkan kemanusiaan
Saling sembeleh di altar pertiwi
Timbuni demokrasi dengan bangkai
Busuk menjadi rabuk
Bibit tumbuhnya tunas kemanusiaan

Sanak puncak ketakwaan pengorbanan
Harus dijagal oleh lengan sedarah
Ditetak leher durjana
Persembahan bagi dukamu abadi
Agar tetesnya melegitimasi kekuasaan
Menjamasi syahwat hingga ejakulasi
Di tengah bau anyir kebebasan

Sabtu, 12 September 2020

KALI KECIL DEKAT RUMAH

Musim ketika itu condong pada hujan
Air mengalir sampai jauh
Cokelatnya sebagai kehidupan
Dan sampah lewat terbawa arus

Anak-anak membawa kail
Memancing siang beramai
Udara lembab karena awan kelabu
Menggantung di pucuk pohon mangga

Kering menggantang kemarau pada musim
Kali kecil telah tanah kerikil
Sedikit rumput meranggas di bantaran
Bau bangkai terbang selintas 

Seorang ibu membuang sampah
Sekujur kali tercemar plastik
Angin kadang menerbangkan
Memindahkan ke bentang kerontang

PUTUS

Layangan itu mengendalikan angin
Mengikatnya di rangka bambu
Tubuhnya menari sore

Layangan itu jatuh di halaman
Mendarat lembut di rumputan
Berlindung dari kejaran tangan

Kecewa terlukis di kertasnya
Sedikit benang mengekor
Langit menolak hadirnya

Koyak melukai harga dirinya
Seekor kucing mengendap mendekati
Mencacah tubuh ringkihnya menjadi serpihan

Jumat, 11 September 2020

RUMAH

Sepasang burung gereja muda
Menyulam sarang di para-para
Kicaunya cerewet bersahutan

Diletakkan nyaman di dalamnya
Campuran rumput kering dan bulu
Hangat cinta aksentuasinya

Ketika anak menetas
Kering kemarau tilamnya
Dan angin mengasuhnya


Kamis, 10 September 2020

AKU DAN CUCU

Jarak dengan cucu sejauh April
Hitungan harap cemas
Kidung yang didendangkan
Serta qira'at menjelang maghrib

Di malam hangat aroma kopi
Aku dan istri di beranda angin
Merawat kisah dan sukacita
Bisik-bisik mengeja jari

Sekian April adalah jumlah yang dilampirkan
Saat ketika menulis sidik
Petatah petitih dan dongeng sebelum tidur
Pustaka kenangan purnama sidhi

Mengemas rencana-rencana kecil
Seulas bahagia pada senyum
Menyimpan rapi di antero mimpi
Sebab jarak dengan cucu sejauh April

Selasa, 08 September 2020

SEPOTONG PADA HARI ITU

Aku terbangun menyibak malas. Ketika itu matahari lewati celah genteng. Sinarnya langsung menghujam mata. Dan seprei lusuhku terpapar hingga tergambar warnanya. 

Badanku terasa remuk. Tulang lunglai dan mulut kering. Akibat semalam menemani pelanggan menyanyi dan minuman keras.

Malas, hanya itu yang ada dalam pikiran. Dasterku acak-acakan dan menyelisihi seprei. Rambutku yang dipotong sebahu menutupi bantal.

Setelah sekian waktu diam dalam rotasi. Perlahan aku bangun. Kucari ikat rambut. Lalu berjalan dengan telanjang kaki mengambil air putih. Setelah itu kubakar rokok sebatang dan asapnya kutiupkan ke langit-langit kamar. 

Kemudian tanganku merogoh tirai dan membuka jendela. Udara segar masuk bercampur sedikit pesing dari selokan kecil.
Wajah kudekatkan pada jendela. 

Dengan khusyu rokok kusedot. Diendapkan sebentar dalam paru, lalu kutiupkan dengan nikmat.

+-----(0)-----+

"Mak..., " Seorang anak kecil membuka pintu sambil memanggil. Ia jalan menuju jendela lalu menarik daster musuhku, sehingga padaku terlihat. 

"Apa, nduk...? "
"Minta uang. Mau jajan di warung"

Matanya yang bening menatapku. Hidung peseknya kembang kempis habis berlari. 
Bibirnya yang kecil dan tebal berceloteh. 
Rambut keriting nya diikat karet. 

"Tuh, ambil aja di meja. Jangan semua. Emak belum ngopi dan sarapan"
"Iya mak. Terimakasih", bergegas ia menuju meja, mengambil beberapa recehan. Lalu dengan gesit berlari dan menghilang di balik pintu.

+-----(0) -----+

Malas-malasan kuambil handuk kecil, gayung yang berisi sabun, odol dan sikat. 
Dengan gontai pergi ke kamar mandi di belakang. 

Di kamar mandi, handuk kucantolkan. Gigi kusikat dan kumur. Wajah kusabuni dan kusiram. Rambut sedikit dibasahi. Ketek juga. 

Kuambil handuk lalu diusapkan ke rambut dan wajah hingga kering. Lalu aku kembali ke kamar. 

Di kamar rambutku yang sebahu kuurai lalu kusisir dan kujepit seperti ekor kuda. Wajah kuberi sedikit pupur dan ketek juga, sehingga bulu ketekku jadi sedikit pirang. 

Daster kulepas dan kusampirkan. Aku hanya mengenakan celana dalam. Tubuhku yang kuning langsat terlihat padat di kaca. Susuku agak turun, mungkin karena usia dan sering dipekerjakan. 

Kupakai celana pendek sehingga pahaku terpampang. Kuambil kaos tanpa lengan. Dadaku terasa agak sesak. Buah dadaku seakan berontak. Aku berkaca, mematut. 

Kuambil rokok sebatang dan kunyalakan. Kuhirup dalam untuk menikmati sensasinya. Kuambil sandal, lalu keluar dan pintu kututup. 

+-----(0)-----+

Siang telah cukup tinggi mengikuti matahari. Tapi panasnya tidak sampai karena dihalangi atap rumah yang rapat berdekatan. Di gang kecil itu, suasana tetap lembab bercampur bau rokok kretek dan masakan yang digoreng. 

Para wanita duduk di beranda depan yang sempit. Bergerombol maupun sendiri. Dandanan mereka nyaris sama. Kaos ketat tanpa lengan dan celana pendek. Satu dua ada yang menggunakan daster. Sebagian merokok sebagian lagi pasang omong. 

Aku mencari tempat duduk untuk menaruh pantat dan gelas kopi. Di depanku beberapa orang wanita sedang ngobrol. Aku diam memperhatikan sambil menghisap rokok. Beberapa orang menyapa ketika lewat dan kulambaikan tangan. 

"Kebutuhan makin mencekik", seseorang membuka pembicaraan. 
"Apa-apa, naik. Sewa kamar, keamanan. Untuk mamih juga. Semalam terima lima langganan juga tetep aja kurang".
"Mana baju sama alat kecantikan kredit annya banyak. Jajan anak juga.", timpal yang lain. 

"Beb, katanya lu mau dipiara ama pacar lu yang juragan besi. Enak dong ngelayanin satu orang bayaran tetep!", tanya seorang wanita pada tenan disebelahnya. 

" Iya, tapi gua pikir-pikir dulu. Duitnya si kenceng tapi imronnya susah ngacung. Kalo minum obat cape di gua. Linggisnya gak mau turun."

Beberapa orang tertawa, bersorak dan pasang wajah genit. Pembicaraan semakin ramai sebab mulut mereka semua dobel.

"Gua mah maunya bebas seperti dulu lagi. Frilens. Duit masuk ke gua semua. Kalo mau libur bisa langsung. Tapi masalahnya sekarang banyak razia. Mana yang tukang razia minta di serpis. Gratis lagi. Rugi kan bandar", seseorang menimpali sambil menghisap rokok kreteknya.

+-----(0)-----+

Kumatikan puntung dan ku lempar ke got. Ku seruput sisa kopi pagi sehingga tersisa ampasnya. 

"Nduk..... nduk....!!!!", kulambaikan tanganku memanggil anakku yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya di pinggir gang dekat rumah. Ia menoleh lalu berlari kearahku. 

"Ada apa, mak?", tanyanya sambil tersengal. Tubuhnya yang hitam legam berkeringat. 
"Nanti kalau makan siang, ambil yang di meja, ya!"
"Beli nasi di warung. Beliin emak juga, ya."

"Mak, nanti sore aku boleh ngaji di langgar. Ramai-ramai. Dengan Nora, Bagus, Sopiah dan teman yang lain?".

"Boleh, bawa mukena emak yang putih Kembang-kembang, ya."
"Iya, mak. Makasih.....", bergegas ia berlari kembali ke teman-temannya.

Lalu aku berdiri membersihkan pantat, mencangking gelas kopi dan masuk kembali ke dalam. Ke kamar. 

Senin, 07 September 2020

DAUD

Semenjak beban menjadi kehidupan
Malam kian hilang kantuk
Sebagai menanggung keluh
Ditungguinya kopi dan resah

Esok mencangking kebutuhan
Rezeki menoleh pun tidak
Di saku hanya hutang dan gadai
Sekedar sarapan air kendi

Mata terbelalak sebab lapar
Tangan dan wajah dibasuh
Di sepanjang sajadah menangis
Mengadu mengharu biru

Ketika itu diturunkan sakinah
Hati dan pikiran satu
Diminumnya air dan niat
Puasa nabi perniagaannya

SENIN KAMIS

Setiap Senin dan Kamis kulihat lapar dimana-mana
Berserakan menjadi kemarau hingga merepih
Kering menggigit dan mencekik tenggorokan
Menguburnya di dasar perut hingga rata

Hari-hari itu semua nafsu tampil dengan riasannya, seronok
Matapun bercelak dan warna kian warni semarak
Tidur tak dapat menghapus mimpi apapula lamunan
Hingga maghrib membunuhnya dengan sekali tikaman

Minggu, 06 September 2020

LAKI? PEREMPUAN?

Sama saja. Mereka? 
Kesetaraan gender!!!, jawab si bijak

Demikian itu persaingan
Menang dan kalah
Juara dan pecundang

Mereka seharusnya saling melengkapi
Sebagai bahtera
Nakhoda dan juru mudi
Melintasi ombak yang sama
Melawan badai yang mengaramkan
Menunggangi angin buritan
Memunggungi daratan
Memasang layar laju perahu
Burung putih terbang ke cakrawala
Menunjukkan arah tujuan

Sabtu, 05 September 2020

MENGAPA IBU

Sebab kelahiran adalah hak
Segenap cinta menjadi susu ibu
Beban terhitung sembilan purnama
Sidik Ilahiah di rahim terjaga

Ketika puisi membuka jalan lahir
Ibu meregang nyawa
Katapun telah sempurna adanya
Adik menangisi dunia dengan lantang


Jumat, 04 September 2020

PENGORBANAN

Tidur tak lelap waktunya terputus, pengorbanan? 
Ah, hanya menyesuaikan jam biologis

Morning sickness kebiasaan baru, pengorbanan? 
Ah, hanya menahan mual dan lemas saja

Lapar tak dapat ditolak porsinya, pengorbanan? 
Ah, hanya berbagi dengan jabang bayi

Tubuh kian melar dan berat, pengorbanan? 
Ah, hanya sediakan nyaman selama dalam kandungan

Membawa beban kemanapun selama bulan dikandung, pengorbanan? 
Ah, hanya latihan menggendong untuk dua tahun pertama

Bagaimana disebut pengorbanan jika menerima karunia hadiah sebab cinta

Kamis, 03 September 2020

MEWARISKAN

Anak serupa kertas putih bersih
Janganlah menulis di atasnya
Sebab ia anak panah nasib

Biarkan ia menyalin segala tindak
Agar kita berhati-hati melangkah
Sebab sidik jelas terukir di bawah sadar

Tugas kita hanya menyiapkan rambu
Andai kaki terperosok luka
Ia dapat merawatnya

Ketika masuki kancah hidup
Langkahnya pasti sebab faham
Menoleh hanya untuk doa restu

ENGKAU AYAH

Jadilah seperti teman
Seperti sahabat
Saudara
Kakak
Partner in crime
Saingan bahkan musuh


Hingga tak ada sekat
Hal cerita
Meminta
Berbagi rahasia

Jadilah ayah
Karena prinsip yang diterabas
Karena benar salah yang menjadi abu-abu
Karena igama dan ugama yang diambil haknya

Rabu, 02 September 2020

KESEIMBANGAN

Setelah mimi lan mintuno menganyam kehidupan
Persatuan adalah sebuah keniscayaan

Ayah mewariskan segenap dunia di tangan mungil
Petualangan mendebarkan
Keingintahuan segala tabu dan larangan
Dongeng sebelum tidur hingga erotis
Lagu menghentak bergerak liar
Memenuhi pikiran dengan khayal dan omong kosong
Seni yang membebaskan
Dan semua keriaan hidup
Sedikit dosa asal dapat diabaikan

Setelah tetap di tempat yang kuat dan terjaga
Nyaman sebagai tudungnya

Bunda menjamasi tubuh mungil dengan kasih dan sayang
Dikalungi doa-doa kebaikan dan pengharapan
Dihiasinya dengan lantunan kitab suci
Mengajak shalat berjamaah di satu sajadah cinta
Membangunkannya di sepertiga malam. Melatih kepekaan
Mengucurkan bahagia di sekujur
Menyuapi dari uterus yang satu
Menanggung beban agar bulan lengkap sembilan

Setelah persalinan hidup dan mati
Kau hadir di dunia lengkap berwarna kelabu

AKU INGIN

Jika nanti cucu
Aku ingin
Dia bla bla bla
Bisa bas bis bus
Menyanyi sing sing so
Cerdas cling cling cling

Mari kita sandera otaknya 
Kita kebiri waktunya 
Kita kurangi mainnya
Kita hilangkan kehendaknya

Biarkan kita sorong, tak usah melangkah
Biarkan melahap segala omong kosong
Biarkan kita putuskan nasibnya

Harus patuh adat
Agama seremonial
Dominasi orang tua

Ketika telah banyak tahun dimamah
Kita menikmati jerih payah
Maha karya yang dimutilasi

Selasa, 01 September 2020

CEMAS

Cemas dibentangkan sepanjang kasih
Menutupi luasan hati pedih peri
Disobek menjadi perca kecil

Cemas disirami oleh waktu
Tumbuh subur berputik ragu
Kelopaknya berwarna ungu

Cemas adalah alter ego bahagia
Bersembunyi dalam sunyi pikiran
Tiba-tiba menyergap dan merajam

Cemas menjadi alasan
Mencekik dengan kasih ibu
Balasan kasih sayang

ISTIRAHAT

Istirahat adalah saudaramu, janin
Saudara serahim kasih sayang
Kita saling meninabobokan
Berbagi cerita dan kehangatan garba

Istirahat selimuti lelapmu, janin
Menangkap mimpi ayah ibu
Melesakkan di bawah sadarmu
Harapan mekar bunga bakung

Istirahat adalah malaikat penjaga, janin
Sayapnya berwarna cinta
Menampung semua gelisah
Dan bulu putihnya menenangkan

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...