Aku terbangun menyibak malas. Ketika itu matahari lewati celah genteng. Sinarnya langsung menghujam mata. Dan seprei lusuhku terpapar hingga tergambar warnanya.
Badanku terasa remuk. Tulang lunglai dan mulut kering. Akibat semalam menemani pelanggan menyanyi dan minuman keras.
Malas, hanya itu yang ada dalam pikiran. Dasterku acak-acakan dan menyelisihi seprei. Rambutku yang dipotong sebahu menutupi bantal.
Setelah sekian waktu diam dalam rotasi. Perlahan aku bangun. Kucari ikat rambut. Lalu berjalan dengan telanjang kaki mengambil air putih. Setelah itu kubakar rokok sebatang dan asapnya kutiupkan ke langit-langit kamar.
Kemudian tanganku merogoh tirai dan membuka jendela. Udara segar masuk bercampur sedikit pesing dari selokan kecil.
Wajah kudekatkan pada jendela.
Dengan khusyu rokok kusedot. Diendapkan sebentar dalam paru, lalu kutiupkan dengan nikmat.
+-----(0)-----+
"Mak..., " Seorang anak kecil membuka pintu sambil memanggil. Ia jalan menuju jendela lalu menarik daster musuhku, sehingga padaku terlihat.
"Apa, nduk...? "
"Minta uang. Mau jajan di warung"
Matanya yang bening menatapku. Hidung peseknya kembang kempis habis berlari.
Bibirnya yang kecil dan tebal berceloteh.
Rambut keriting nya diikat karet.
"Tuh, ambil aja di meja. Jangan semua. Emak belum ngopi dan sarapan"
"Iya mak. Terimakasih", bergegas ia menuju meja, mengambil beberapa recehan. Lalu dengan gesit berlari dan menghilang di balik pintu.
+-----(0) -----+
Malas-malasan kuambil handuk kecil, gayung yang berisi sabun, odol dan sikat.
Dengan gontai pergi ke kamar mandi di belakang.
Di kamar mandi, handuk kucantolkan. Gigi kusikat dan kumur. Wajah kusabuni dan kusiram. Rambut sedikit dibasahi. Ketek juga.
Kuambil handuk lalu diusapkan ke rambut dan wajah hingga kering. Lalu aku kembali ke kamar.
Di kamar rambutku yang sebahu kuurai lalu kusisir dan kujepit seperti ekor kuda. Wajah kuberi sedikit pupur dan ketek juga, sehingga bulu ketekku jadi sedikit pirang.
Daster kulepas dan kusampirkan. Aku hanya mengenakan celana dalam. Tubuhku yang kuning langsat terlihat padat di kaca. Susuku agak turun, mungkin karena usia dan sering dipekerjakan.
Kupakai celana pendek sehingga pahaku terpampang. Kuambil kaos tanpa lengan. Dadaku terasa agak sesak. Buah dadaku seakan berontak. Aku berkaca, mematut.
Kuambil rokok sebatang dan kunyalakan. Kuhirup dalam untuk menikmati sensasinya. Kuambil sandal, lalu keluar dan pintu kututup.
+-----(0)-----+
Siang telah cukup tinggi mengikuti matahari. Tapi panasnya tidak sampai karena dihalangi atap rumah yang rapat berdekatan. Di gang kecil itu, suasana tetap lembab bercampur bau rokok kretek dan masakan yang digoreng.
Para wanita duduk di beranda depan yang sempit. Bergerombol maupun sendiri. Dandanan mereka nyaris sama. Kaos ketat tanpa lengan dan celana pendek. Satu dua ada yang menggunakan daster. Sebagian merokok sebagian lagi pasang omong.
Aku mencari tempat duduk untuk menaruh pantat dan gelas kopi. Di depanku beberapa orang wanita sedang ngobrol. Aku diam memperhatikan sambil menghisap rokok. Beberapa orang menyapa ketika lewat dan kulambaikan tangan.
"Kebutuhan makin mencekik", seseorang membuka pembicaraan.
"Apa-apa, naik. Sewa kamar, keamanan. Untuk mamih juga. Semalam terima lima langganan juga tetep aja kurang".
"Mana baju sama alat kecantikan kredit annya banyak. Jajan anak juga.", timpal yang lain.
"Beb, katanya lu mau dipiara ama pacar lu yang juragan besi. Enak dong ngelayanin satu orang bayaran tetep!", tanya seorang wanita pada tenan disebelahnya.
" Iya, tapi gua pikir-pikir dulu. Duitnya si kenceng tapi imronnya susah ngacung. Kalo minum obat cape di gua. Linggisnya gak mau turun."
Beberapa orang tertawa, bersorak dan pasang wajah genit. Pembicaraan semakin ramai sebab mulut mereka semua dobel.
"Gua mah maunya bebas seperti dulu lagi. Frilens. Duit masuk ke gua semua. Kalo mau libur bisa langsung. Tapi masalahnya sekarang banyak razia. Mana yang tukang razia minta di serpis. Gratis lagi. Rugi kan bandar", seseorang menimpali sambil menghisap rokok kreteknya.
+-----(0)-----+
Kumatikan puntung dan ku lempar ke got. Ku seruput sisa kopi pagi sehingga tersisa ampasnya.
"Nduk..... nduk....!!!!", kulambaikan tanganku memanggil anakku yang sedang asyik bermain dengan teman-temannya di pinggir gang dekat rumah. Ia menoleh lalu berlari kearahku.
"Ada apa, mak?", tanyanya sambil tersengal. Tubuhnya yang hitam legam berkeringat.
"Nanti kalau makan siang, ambil yang di meja, ya!"
"Beli nasi di warung. Beliin emak juga, ya."
"Mak, nanti sore aku boleh ngaji di langgar. Ramai-ramai. Dengan Nora, Bagus, Sopiah dan teman yang lain?".
"Boleh, bawa mukena emak yang putih Kembang-kembang, ya."
"Iya, mak. Makasih.....", bergegas ia berlari kembali ke teman-temannya.
Lalu aku berdiri membersihkan pantat, mencangking gelas kopi dan masuk kembali ke dalam. Ke kamar.