Sabtu, 31 Oktober 2020

BACA BUKU

Sepagian aku bertengkar karena hal-hal remeh
Kesal bercampur lapar kutumpahkan semua ke haribaan buku

Kubuka halaman dengan asal
Buku hanya diam tanpa menolak
Tapi diam-diam ia sembunyikan makna

Telah sepenanak nasi halaman buku menatapku
Hurufnya menari dalam ingatan tanpa arti

Aku hanya terpana duduk di kursi
Pikiranku tumpul mencerna
Sehingga huruf dan kata jatuh berceceran

MENJEMPUT REJEKI

Sampan itu kecil
Hanya muat dirinya dan nasib baik
Sedikit ruang untuk hasil memancing

Dinantinya malam
Laut pasang
Bulan padam

Angin meniup buritan
Sampan menghempas ke laut lepas
Menyongsong rejekinya

BAKAU DI PANTAI

Hutan itu bernama bakau
Kakinya melangkah ikuti pasang surut
Dahan rantingnya adalah burung berteduh

Air laut kadang membawa purnama sidi
Maka kepiting menebar benih 
Sebelum lumpur dan buih bercerai

Kawanan ikan berenang juga 
Di sela-sela akar yang menghujam
Berburu dan diburu 

Jika matahari telah semburat pagi
Cahayanya menyentuh pertiwi
Bakau berdiri gagah mengawasi pantai

Kamis, 29 Oktober 2020

AKHIR PEKAN PANJANG

Hari-hari disambung serupa gerbong
Tak perduli hujan masih baru
Keluarga diusung ke tempat jauh
Mendatangi  rekreasi
Memulung stres di sepanjang jalan
Mengumpulkan aneka lelah

Di dalam mobil radio terus mengoceh
Pendinginan terengah-engah
Barisan kendaraan merayap di sepanjang akhir pekan

Di dalam mobil semua orang sibuk berinteraksi
Ayah bermuka masam sambil mengetukkan jari ikuti irama lagu dari radio
Ibu sibuk ngerumpi dengan sosialitanya dan sesekali memotret senyum sumringahnya
Kakak berpacaran di ruang chatting pribadi. Dia tersenyum sendiri
Adik menaklukkan gamenya sampai bosan
Dan aku, menulis semua itu. Di layar telpon pintar. 

Selasa, 27 Oktober 2020

SAMPYUH PEMUDA

Adalah radio pidato berapi-api hingga ludah muncrat
Membakar tulang dada hingga semburat semangat
Ini jihad, rebut surgamu dengan mati konyol

Di jurusan lain pemangku kitab kuning menerbitkan fatwa
Juallah jiwamu untuk sebuah kata baru. Merdeka! 
Tukarlah kuponnya dengan secarik surga

Dari segala penjuru pemuda mengerubungi palagan
Tekadnya bulat, senjata dijinjing sebagai bela tanah air beta
Bambu runcing, kelewang, golok, jimat, rajah, wiridan, mantera, ilmu kebal dan nekad

Ketika peluru mendesing liar merobek darah dan daging
Kita balas dengan teriakan Allahuakbar
Sebab surga tercium bercampur bau mesiu

Senin, 26 Oktober 2020

BELUM JUGA DATANG

Mengapa kemarau tak mau membawa pergi jubah panasnya
Cobalah beri ruang untuk hujan
Untuk mencoba mengais rejeki di tanah ini

Lihat di atas, mendung berusaha menyelinap
Di punggungnya tersimpan petir dan air
Namun jubah kemarau tetap menghalangi

Di mana-mana hujan telah membangunkan katak
Suaranya malam mengandung birahi
Untuk memenuhi takdirnya. Kawin

Teloku di kebun kunting dan kurus
Sebab kaki gunung kapur
Hanya hujan yang disanggong tani utun

Minggu, 25 Oktober 2020

MENIKMATI SOFA BED

Kaki kuselonjorkan hingga ujungnya menyentuh khayalan
Untuk mencegah pikiranku tumpah, 
kuping kusumpel dengan headset
Sehingga lagu memenuhi rongga sadarku
Lalu dengan prihatin, 
mata kupejamkan hingga lampu kehilangan serinya

Ternyata kata yang biasanya diam di halaman buku dan rontal pujangga, 
berseliweran dan melantunkan suara disekujur pikiran
Sehingga otakku riuh dan sibuk membaca, mendengar, menatap, mengajuk dan terhenyak

Kata merangkai dirinya menjadi cerita
Lanskapnya suasana hati
Langitnya hijau daun
Kisahnya melompat dari sedih lalu satir
Seram dan suram
Hingga tragedi. 
Komedi

Pada akhirnya kata hanya gumam tak jelas
Nyamuk yang berdenging di kuping
Sepotong lagu penutup yang mellow
Dan tubuh yang nyaman, 
meringkuk di sofa bed 
Diselimuti malam basah
Sebelum kesadaran direnggut morpheus

KOMPAK

Kukuku jarang bersilaturahim, 
tegur sapa, 
apalagi berpelukan
Mereka nyaman rebah di jari masing-masing
Bermalas-malas memanjangkan diri, 
sebagaimana cakar 
Di selanya daki. Terselip. 

Namun kulit bagian mana yang tak pernah dikukurnya? Sebutkan! 

Sabtu, 24 Oktober 2020

MENANTI KABAR

Empat purnama bukanlah jarak yang terlalu jauh untuk ditelusuri
Jejaknya masih segar dalam peta ingatan
Dalam jalinan lagu-lagu kita
Dalam lantunan doa di langit-langit rumah
Dalam percakapan malam yang berangin
Dalam harap dan mimpi ketika sulurnya saling libat

Tertulis di daun jatuh
Bertengger di ranting kemarau
Terbang mengikuti debu
Menjadi tetes peluh
Hari yang kering dan panjang
Sarang burung gereja di para-para
Layangan putus di tengah halaman
Sore yang bersua maghrib lewat teja temaram ketika renggelam

Kadang ada sedikit cemas terbetik
Seperti nila setitik
Seperti kedip mata
Seperti sisi gelap bulan
Seperti suara asing berbisik lirih di otak
Seperti nafas
Namun lima bulan ke depan tetap milik Yang Esa dan Kuasa

Jumat, 23 Oktober 2020

DINASTI

Pada mulanya baliho mengepung
Melampirkan senyum ditopang bambu
Huruf-hurufnya ramah mengajak
Selalu mampir pada kendaraan yang lewat

Setelah pertarungan yang hiruk pikuk antar pendukung
Dan hitungan biting lewat siaran langsung
Wajah bangga mendatangi kursinya
Kursi warisan keluarganya

SUMUK

Aku telah melipat malam
Sekedar angin tidak berkeliaran

Mataku enggan ditemani lampu
Maka kurekatkan kantuk

Namun nyamuk mendengung
Berbisik lirih di telingaku

Tanganku refleks menampar
Kantuk terbang mengikuti nyamuk

Aku diam termangu
Sebab di ranjang terbaring sumuk

Kamis, 22 Oktober 2020

DATANG TIBA-TIBA

Saat itu malam hanya butuh istirahat
Tiba-tiba hujan mengerubunginya
Suaranya liar dan menggelegar
Seperti langit akan runtuh

Pohon ketakutan daunnya merintih
Perdu dan rumput pasrah dirajah
Tak ada yang terlewat dari amuknya
Bahkan genteng meregang

Air melesak dan menetes di lantai
Di ruang tengah yang menggigil
Listrik pun ikut padam
Seluruh gelap bersembunyi di dalam rumah

Rabu, 21 Oktober 2020

PADA MUSIM ITU

Mengapa hujan datang terlambat? 
Kerikil dan gorong-gorong telah haus kering
Pohon menanggalkan kebanyakan hijaunya
Untuk mengusir kemarau pergi

Siapakah yang telah menahannya sekian lama? 
Tidaklah ia takut petir mengerang, 
doa-doa yang dipanjatkan tanah merekah, 
atau tangis bayi yang membumbung dari dalam gubuk? 

Mungkin uba rampe sesaji kurang. Tidak lengkap
Tapi, jangankan membungkam mulut para dewa
Sekedar pengganjal perut pun hanya diikat dengan dampar

Semoga saja hujan datang dengan ramah walaupun terlambat
Membuat tanah menjadi manis dan wangi
Sebab jika ia datang membabi buta, yang tersisa hanya lapar

Minggu, 18 Oktober 2020

LUCID

Wanita itu tiada hirau terus berlari
Gaunnya tipis melambai angin
Serupa sayap bidadari

Aku terus membuntuti jarak
Siluet tubuh rampingnya
Sebagai pertanda jejak

Tanpa menoleh disibaknya malam
Tanpa ragu dimasukinya kelam
Tanpa kedip ia menjadi temaram

Aku termangu sempit pikiran
Mataku nyalang menatap hilangnya
Seolah birahiku dicampakkan

Tirai malam menjadi semak belukar
Tak ada suara, hanya warna
Dan jalan menjadi labirin senyap

Di langit-langit pelangi berkedip
Ujungnya tertanam di hamparan permadani rumput
Sebuah dunia dalam dunia

Dengan segenap keingintahuan
Kaki ini melangkahi sunyi
Melintasi padang akal sehat

Di tengah kubah bertabur bintang
Wanita itu tidur dan telanjang
Rambutnya yang panjang menutupi kedua payudaranya

Kutatap takjub setiap lekuk tubuhnya
Tanganku gemetar terkena sihir birahi
Lalu kusibakkan rambutnya yang hitam kemiri

Kriiiiiiiiiiiing.............. 
Suara alarm dari telpon genggam
Kulihat jam menunjukan dinihari, lalu kumatikan mode alarmnya

Jumat, 16 Oktober 2020

4 KENYANG 5 SEMPURNA

Setelah sepagian menghabiskan setengah botol air
Sambil menyanggong pembeli, 
akhirnya laku juga dua ikat rambutan. Penglaris

Di warung tenda ia memesan nasi, 
sayur lodeh tempe semangit,
dan segelas es teh manis

Ia makan dengan lahap
Membalas laparnya
Hingga piring tandas

Teh telah ludes dan tenaga telah kembali
Di bayarnya harga makan minumnya
Ditambah sebatang rokok kretek

Santai ia menyebrangi jalan
Kembali ke lapak dagangannya
Menanti rejeki untuk makan malamnya

Kamis, 15 Oktober 2020

MERAWAT SUMPAH

Ketika itu semangat pemuda adalah sumpah
Dengan bangga suku mereka menganyam merah putih
Meretas kepompong feodal menjadi agen perubahan

Sumpah itu melewati tahun-tahun ajaran
Termaktub disegenap lembaran buku sejarah
Didongengkan oleh para cerdik cendekia sebagai mantera

Saat ini sumpah telah dewasa usia
Ikatannya yang kedodoran, semoga talinya dikencangkan kembali
Warnanya yang telah lamur oleh waktu, seyogyanya dilabur ulang

DI PAYUDARAMU AKU BERSIMPUH

Tak perlu lah sembunyi dalam bra
Sebab kancing lebih penting
Ketika aku mulai menangis gelisah
Cukup kau ulurkan tetek di belahan depan daster

Terutama ketika malam-malam nyamuk
Mengganggu tidur yang sumuk
Sambil berbaring miring tetekmu dijulurkan
Dan aku menghisap kehidupan dinaungi bayang tubuhmu

Setelah cukup sapih karena tahun telah dua
Tubuhmu hilang sebahagian serinya
Tetekmu kempes putingnya hitam kerut
Sehingga bra pun tak tega menimangnya

Rabu, 14 Oktober 2020

TANI UTUN

Ia mengayunkan cangkul
Matanya menghujam tanah dan batu
Tanah perbukitan tadah hujan
Dengan pohon mangga podang yang merana

Ayunan pertama bagi makan keluarga
Kedua dinisbahkan pada sekolah anaknya

Kemudian untuk membeli baju batik
Batik untuk menghadiri tahlilan
Baju lama telah penuh tisik

Badannya yang liat terus bekerja serupa mesin
Keringat menetes menjadi pupuk
Matahari tak berdaya mengusiknya

Setelah makan siang dan istirahat sejenak
Ia dan istri mulai menancapkan bibit
Bibit telo pandemir

Matahari telah surup
Lahan sekedok telah ditanami
Tinggal berharap hujan datang

Senin, 12 Oktober 2020

MEMBURU DIBURU

Momentum, 
seperti kucing pemburu
Menyergap, 
dengan sekali lompatan
Mencengkram nasib korban

Di tempat terlindung
Senapan dibidik
kesatu titik
Sebuah intrik

Efek domino
Uang digulirkan
Ormas bergerak
Koordinator lapangan memasok

Harga kemarahan adalah nasi bungkus dan sedikit receh
Masa bergerak dan bertahan
Berita media kayu bakarnya

Malam, 
Ketika amunisi telah meminta tumbal
Cerdik cendekia menganalisis di televisi
Di jam tayang utama

Sebuah rumah di daerah elit
Pintu diketuk
Dengan surat perintah
Pemiliknya ditangkap


OBROLAN DI RUANG TENGAH

Seperti moderator ia melempar cerita
Saripati berita televisi
Juga bisikan dari ruang lain
Dibumbui dengan katanya hingga premis

(Ruang kian sumuk karena tidak jadi hujan) 

Sanggahan hanya menambah kedekatan batin
Sebab disusun dari copy paste yang menipiskan kuota
Dengan berapi-api setiap kata diucapkan
Memercik seperti liur 

(Kita berhadapan seperti kutub magnet yang berbeda) 

Setiap kata, frasa dan kalimat bergulat
Saling membanting saling menindih
Sehingga keringat menetes di pelipis
Dan kita mafhum untuk semua jawabannya

(Mendung datang lagi dan angin meniup di pepohonan) 

Minggu, 11 Oktober 2020

TPA

Gunung emas itu bernama sampah
Dari perutnya mengalir rejeki

Rumah gubuk yang mengepung
Menampung setiap muntahan

Sapi dan kambing tak perlu ke padang rumput
Cukup mengais dimana lalat merubung

Kekayaan yang terkumpul adalah rumah di lembur
Beberapa Bau sawah ijo royo-royo

Dimana bau menghampir
Dalam sampah kita percaya

PERJALANAN ZIARAH

Ia telah mengumpulkan sebahagian besar umurnya
Disimpan dalam bumbung bambu
Bercampur dengan recehan kumal

Ketika itu bumbung telah penuh
Sekedar keringat tak mampu menampung

Dihitungnya setiap receh
Setiap langkah ke tanah suci
Setiap doa yang dilarung ke langit

Di kantor yang seragam
Wajahnya sumringah meletakkan karung di meja
Harga sebuah perjalanan ziarah

Dengan senyum seorang salesman, 
petugas mohon maaf
Karena tabungan adalah bambu dan telah dimakan tahun
Koin dan receh telah hilang nilai karena kadaluwarsa

Dengan gontai ia pulang menyeret langkah
Di rumah telah menanti malaikat 
Mengabarkan hajinya telah dicatat di kitab yang terjaga

KEPERAWANAN

Darah bukanlah pertanda bahkan harga
Apalagi hanya secarik kain, 
selembar kertas bermaterai

Perawan sebagai cara hidup
Bahkan birahi tak mampu menghapus
Sebuah jalan curam selibat

PEMANGKU ILMU

Jalanan sebagai tempat mengaji nyali
Dimana hujan batu merupakan inisiasi

Di jaket almamater ada Ganesha
Sebab pengetahuan hendaknya dipraktekkan
Terutama di jalan
Terlebih melawan pagar betis

Seseorang menyuntikkan semangat lewat pengeras
Aktualisasi diri tukas khalayak ilmu

Darah hanya upah murah pendidikan
Di jam-jam panas emosi dan mentari
Semua dikorbankan, ditumpahkan
Karena caci maki butuh pengalaman

Palagan selalu berakhir di luka yang sepi
Tak ada pidato apalagi toga

(Sayup-sayup terdengar lagu Gaudeamus Igitur terbawa angin) 

Sabtu, 10 Oktober 2020

BERITA CUACA

Hujan datang kepada kami
Dikemas dalam bentuk berita pagi
Sambil sarapan rumah terendam banjir
Penampungan penuh tangis bayi

Kopi tinggal separuh cangkir
Volume dikecilkan karena telpon berdering
Dapur umum tengah memasak mie
Bantuan dari sebuah mobil bertuliskan  partai

Wajah-wajah telah lelah dan lesi
Berbagi sedikit ruang mengungsi
Anak-anak mencoba menjangkau kamera
Reporter mengumumkan dompet bantuan televisi swasta

Jumat, 09 Oktober 2020

KULI

Senyum itu ketika
Peluh menetes di pelipis
Tangan-tangan kasar menerima upah
Sedang matahari belum beranjak senja

Senang itu ketika
Sepeda dipancal menuju rumah
Di kantong tersimpan hidup seminggu
Dan jajan untuk anak

Bahagia itu ketika
Upah berpindah tangan
Malam dilawuhi pindang bumbu rujak
Dan ranjang yang berkeringat

Syukur itu ketika
Menyisihkan lelah sejenak
Sujud berdua dengan kantuk
Berterimakasih pada hidup

Kamis, 08 Oktober 2020

ANARKI

Sesungguhnya batu tidak ingin ikut
Mereka direnggut oleh tangan beringas
Lalu diadu dengan perisai polisi
Hingga mereka menjadi garda terdepan demo

Minyak telah sembunyi di dalam jerigen
Namun tangan kriminil membawanya ke tengah kericuhan
Menyiramkannya ke instalasi milik umum
Sebagai undangan untuk mendatangkan saudaranya, kobaran api

Batu berserakan di tengah berusaha netral
Emosi yang menyulut amarah tidak mau tahu
Mereka diperalat kedua pihak yang berseberangan
Akhirnya dilempar dan menjadi pelengkap penderita

Api sebenarnya telah nyaman di dalam korek
Tangan anarki dengan kasar merenggutnya
Dengan diiringi teriakan histeris masa
Api dipertemukan dengan saudaranya, minyak

Rabu, 07 Oktober 2020

WARISAN

Matamu buah badam
Bulat dengan binar yang hidup
Selalu riang penuh antusias

Dekik di pipimu ada begitu saja
Ketika bibirmu mengembang senyum
Membuat warna kulitmu kian tanah

Sewaktu bicara kicau prenjak
Seluruh tubuhmu bergerak
Menatap, mendongak, mengangguk

bahkan rambutmu surai kuda poni
Memenuhi udara dengan gairah
Seperti lebah menari 

Demikian engkau mewarisinya
Seperti sewaktu muda 
Ketika kakek terpana


Selasa, 06 Oktober 2020

MENGALAH

Adakalanya kita hanya bisa menelan amarah
Memeramnya seperti bisul
Sehingga hati sebah dan sesak

Serasa ingin melepehnya
Di kubangan pertengkaran
Dan memuntahi wajah emosimu

Tetapi ketika kita sedikit mundur
Menjauhi arena pertarungan adu kata yang melukai
Yang diasah oleh bisikan egois

Mata batin dapat menimang
Semua hanya omong kosong gengsi 
Dan salah paham yang ditiupkan

Senin, 05 Oktober 2020

PULANG

Kaki ini telah menginjak tanah yang asing, cuaca yang asing 
dan petualangan yang asing

Hati ini telah dipenuhi rindu yang kering, kenangan yang hening 
dan air mata yang bening

Tahun telah lama tinggalkan tanah tumpah, tubuh tua yang lemah 
dan usia yang lelah

Mata tetap menatap harap yang samar,
suara emak yang sabar 
dan sawah tadah hujan tiada lebar

Akhirnya kaki kembali tertatih, 
mengikuti jejak pulang nan letih
dan membawa segenap pedih

TRAGEDI

Darah di atas atap
Adalah pertanda kasih tak sampai

Ketika seekor perkutut menanti janji
Bersua kekasih di atas genteng

Tiba-tiba pemburu membidik jiwa
Dan melepas peluru nasib

Sehingga perkutut terburai otaknya
Tubuhnya terkulai di tengah penantian

Sebagai tanda janji setia bagi belahan jiwanya
Dilukisnya rindu dengan darah di atas atap

PERINGATAN

Peringatan menaikkan sang saka
Di tiang tertinggi setiap rumah
Berkibar gagah mewartakan sejarah

Merah sebagai darah pahlawan
Putih warna musim pancaroba
Dan air mata haru jiwa

Media gigih mewawancarai berita
Upacara masuk ke siaran pagi
Rakyat tetap mengais rejeki

Minggu, 04 Oktober 2020

PANCAROBA

Matahari dan hujan berebut pengaruh di atas genteng rumah
Dikirimnya angin sebagai pengintai
Lalu teriknya memprovokasi hingga peluh

Mendung mengirim awan hitam mengepung cakrawala
Serupa parasut, bergumpal, memenuhi udara
Dan sedikit gerimis sebagai pelopor

Sekian waktu dalam ketegangan pancaroba
Bergantian melontarkan perang urat syaraf
Di dalam rumah hanya ada sumuk

Akhirnya serangan dimulai
Dengan bantuan siang kering dan sore kerontang
Mendung dihalau dari pekarangan

Sabtu, 03 Oktober 2020

BANGUN

Weker berteriak menjerit mengetuk
Aku langsung dicampakkan dari mimpi
Nyawaku masih bertebaran. Belum genap
Tubuhku tak menuruti kata hati
Hanya tangan yang otomatis menjangkau

Semalaman kopi menyandera mata
Tiada kantuk menghampiri
Ditemani musik dan buku
Kugadangi malam renta kemarau
Kokok ayam pun tak kuindahkan

Ketika fajar sidik di ufuk
Tubuh berbaring mencoba berdamai dengan kantuk
Antara ada dan tiada
Tiba-tiba weker berteriak menjerit mengetuk
Otakku terburai dan mimpiku tercerai berai

MUSIM, DATANG DAN PERGI

Musim hujan terlambat datang
Dengan sedikit rasa bersalah ia menggamit  kemarau
Dan menancapkan awan hitam di puncak
Lalu lewat bantuan angin sepoi
Dijatuhkannya tetesan rindu pertama

Bumi lara menghirup segenap rintik
Menghilangkan dahaga dan rekah tanah
Pepohonan yang merana terbungkus debu
Manyirami setiap daun dan rantingnya
Dan merias tubuhnya dengan warna yang sumringah

Maka ibu bumi tersenyum bahagia
Tubuhnya wangi tanah basah
Dari rahimnya lahir aneka tunas
Hijau daun dan bunga beraroma madu
Kupu-kupu keluar dari kepompongnya

Jumat, 02 Oktober 2020

DOLAN

Keriangan perlahan menjalar
Kaki-kaki kecil berlari
Sumringah hingga keringat

Mereka berceloteh ramai
Seperti prenjak bernyanyi
Di beranda angin

Daun kering berterbangan
Tangan-tangan mengejar barat
Menangkap gelak tawa

Saat duduk di tangga siang
Sambil sibuk mengenyam lelah
Mereka bertukar pamer kasih ibu

Kaki telah ringan tangan melenggang
Hati telah pulang ke rumah
Matahari tersenyum

KAIN

Matanya mengikuti canting menggores
Digambarnya cinta dengan sepenuh lilin
Setiap lekuk segenap pola senyawa hati
Dibentangnya kain sebagai kehidupan

Prihatin lelaku batin
Ngalap cipta rasa
Warna coklat sebagai bumi
Dan motif perlambang karsa

Ketika kain telah batik
Keindahan menjadi klasik
Di setiap wiron melati puja
Di sudut simpan kantil kuning

Kamis, 01 Oktober 2020

TURI DI JALAN DESA

Turi menari angin
Telanjang di pinggir jalan
Menegur ramah setiap kendaraan

Daun kelupas kuning
Berjatuhan di bahu jalan
Kering di sekujur ranting

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...