Kamis, 31 Januari 2019

TETAP SAMA

Sekian purnama genap hitung
Catatannya telah desir angin
Terbaca pada daun jatuh

Rambut warna abu ikal
Garis mata sejumlah duka
Langkah tertatih bertelekan luka

Pada temu rindu ribuan senyap
Semua cerita bersatu dalam peluk
Tangis menjadi yang ke tiga

Memandang tahun yang jarak
Setelah segala rindu lebur
Cinta ternyata tetap semanak

JANGAN SIA-SIAKAN WAKTUKU

Semangat bawa kita ke ranah liar. Eksotis
Seperti reklame paksakan pandang pada kemasan dusta
Nafsu adalah nama tengahnya jika tengah tualang
Dengan segala aksesoris indera yang dikehendaki tubuh
Bisikan tak jemu mencuci otak
Membombardir dengan dogma kenikmatan
Jika jejaknya dilacak hingga purwa
Perangkap menjadi tanda di tiap langkah
Tanpa menanti detik, langsung menikam, menerkam
Melahap setiap akal sehat yang berkecambah
Menutup sudut mata dengan secarik ragu
Membiarkan segala yang fana beraroma baka
Hingga ruang dan waktu beralih posisi
Segala kesiaan adalah buah getirnya
Tak bercampur keduanya kecuali beranak duka
Ketika usia telah di ujung tanduk
Jalan telah mengerucut ke satu arah
Hamparan setelahnya adalah nihil
Karena itu, jangan sia-siakan waktuku, hai tubuh renta

SUNGAI

Air mengalir hingga langit
Dihela angin panjat puncak
Diayak selendang bidadari
Turun bawa butiran pelangi

Menebar lembab hijau coklat humus
Menembus segenap pori ibu
Tetesi dahaga serabut
Tumbuhkan kecambah harap

Mencari ceruk di sela batuan
Berkumpul mendesak sumber
Gemericik mengalir turuni lembah
Bawa pesan hidup dan bencana di tiap riaknya

Ketika sumber menyembur terhanyut jauh
Riak bersalin gelora keruh
Gelontorkan segala degil kumuh
Muara menganga muntahkan isi ke laut

LAPAR MATA

Dahaga belanja adalah deret produk yang tersenyum pada rupiah
Menarik isi dompet seperti magnet meraup pasir

Sedangkan nama-namanya asing bagi lidah
Tetapi akrab ketika dikenakan walaupun membawa lecet

Setiap produk mengepung mata dengan bujuk diskon
Langkah tetap dibuntuti lelah sebab tiada tempat jeda

Ketika lepas dari labirin konsumerisme
Tangan menenteng lapar mata dan sisakan recehan untuk pulang

SEPERCIK AIR

Air memercik tinggalkan derai hujan
Dengan gigil menyentuh lantai beranda
Sedang rumput di laman menoleh pada teduh teritis
Sebab tubuhnya kuyup menahan tetes

Air memercik serupa embun musim bediding
Titiknya menempel dan menutupi kaca jendela
Pandangpun seperti tersaput kabut
Di luar, bayang pohon melambai tertiup angin

Air memercik pada dingin yang sunyi
Ketika bunyi rintik telah berhenti
Dan malam berhembus lewat para
Aku duduk sendiri sambil nikmati kopi

DI PUNGGUNG KUDA

Padang luas debu mengepul
Bau rumput kering menusuk
Ada getir samar di tanah pijak
Kumbang terbang berputar serupa ingatan
Diantara bunga savana
Mengikuti angin kembara
Hinggap, melepas lelah
Memeluk kembang mencium putik

Kuda melangkah gagah
Kepala tengadah pongah
Lintasi padang tanpa kekang
Nafasnya memburu riang
Surai berkibar

Garis panjang membelah kering
Lurus menuju horizon
Serupa ingatan tanah leluhur
Semula hanya deru debu
hingga hujan pertama membasuh
Memenuhi tetek induk dengan susu
Dan bleduk berloncatan liar
Burgulung di hijau semak nestapa

Kuda melangkah gagah
Kepala tengadah pongah
Lintasi padang tanpa kekang
Nafasnya memburu riang
Surai berkibar

Pagi merekah pelangi sisa hujan malam
Ujungnya terikat di pohon Cendana dan pucuk Siwalan
Rombongan ternak berlari menuju padang
Kupu-kupu beterbangan karena kaget
Suara lenguhan ramai bercampur derap
Wangi tanah basah tercium hingga ufuk
Pedet berlari berusaha mengejar
Matahari tersenyum ramah, tampaklah silaunya

Kuda melangkah gagah
Kepala tengadah pongah
Lintasi padang tanpa kekang
Nafasnya memburu riang
Surai berkibar

CEMBURU

Tatap mata amarah sembilu
Kilatnya iris duka ragu
Bilahnya menikam bisu

Mulanya sekam bunga api
Ditimpali bisik digenapi dengki
Bahasa tubuh mengandung caci

Mata terpejam hati gundah
Sakit adalah kayu bakar luka
Tiap ucap meruyak duga

Api cemburu membakar
Datangi kecewa tanpa maaf
Tangan menampar mata basah

MATA PELANGI

Air mata pelangi memilah warna sepi dan senja
Bau tanah basah bercampur teja temaram
Rerumputan menghampar serupa merak hijau

Pelangi lembut menyentuh mata air
Perlahan hanyut di bening dasar perigi
Tenggelamkan tiap helai warna
diantara lumut dan batu

Mata air pelangi beriak tanda tak dalam
Sampiran selendang tujuh lapis langit
Bidadari berendam di lubuk
bersenda dan bugil

Mata pelangi menatap mentari lenyap perlahan
Seperti pisau membelah warna emas dan gulita
Lalu pejamkan sayunya di balik horizon

SENYUM TINGGALKAN MATAMU

Di kejora matamu, kekasih
Binar cahaya merajuk
Mengkristal menjadi hasrat
Bening segenap mengendap

Warna bahagiamu corak mahoni
Tatap wajahmu sumringah
Tiap hangat kau sampirkan
Sebagai titip tatap harap

Ketika malam tidaklah rindu 
Angin hanya mendesau
Menanti hanya mengukir pilu
Sedang kau tetap berlalu

Kehilangan telah menjadi batas
Matamu tetes air mata
Tanpa sedu sedan
Senyum tinggalkan matamu, kekasih

JIWA

Jiwa kembara jiwa tersesat
Melayang antara fana dan baka
Melintasi padang perburuan abadi
Membawa tiga sesal duka
Dosa dan pahala yang ditimbang
Syafaat yang ditetapkan
Mataair air mata duka abadi

Penantian dalam genangan keringat
Genapi 50000 tahun
Barisan telah jelas pengibar benderanya
Timbangan telah condong ke kanan
Catatan tiada selingkuh di belakang
Jembatan pemutus direntangkan
Penduduk langit dan lembah api hitam telah tetap
Domba berbulu kematian telah dikurbankan
Setiap jiwa menempati qodarNya.
Abadi.

(Hai, nafsu yang tenang
Kembalilah pada Tuhanmu dengan ridlo
Masuklah ke dalam golongan hamba Ku
Masuklah ke dalam surga Ku)

Kamis, 17 Januari 2019

RUANG PENUH CERMIN

Kamar? Sepertinya tidak
Sebab ruang itu, ruang berukuran 2x3 meter, dibuat hanya menempel di tembok utama
Persis seperti benalu

Tembok utama rumah dilubangi seukuran pintu
Lalu tanah di sekitarnya ditutupi bata
Tanpa penguat rangka besi

Atapnya hanya separuh dan ditutupi asbes
Lantainya semen tipis dan kasar
Temboknya dilabur kapur dan lembab
Tanpa jendela
Jika kemarau panas, jika musim hujan dingin dan basah

Masuk ke kamar lewati pintu tanpa kusen
Dibatasi gorden lusuh berwarna luntur
Memisahkan dengan ruang belakang

Di dalam kamar ada kursi dan meja kecil
Di meja terletak cermin bundar dan sisir plastik
Buku pelajaran solat dan 1001 tafsir mimpi
Sebuah buku tulis lusuh bergambar penyanyi kondang
Mejanya ditutup taplak batik merah kusam

Kursi. Sebuah kursi penjalin
Tempat banyak waktu dimamah
Selain kasur lusuh di pojok

Menghisap rokok kretek murahan
Baranya kadang meletik melubangi baju
Sekali-kali menyeruput kopi jagung tumbukan si Mbok
Khayalan naik ke langit-langit diterpa asap rokok
Bau rokok menepel di setiap sudut,
seperti semua kenangan dan harapan yang kotori laburan kapur

Mimpi adalah menu utama ketika hening cipta
Kursi berderit ikuti gerak tubuh yang beganti karena pegal
Kaki dinaikkan ke meja dan pikiran berlanjut berkelana liar

Ketakutan berkerenyit di kening
Bayangkan masa depan
Pintapun tiada kata berani
Hati terus mengkerut
Jika dan jika segala jika menjadi kebenaran
Keberanian kadang melepas angin segar
Mengantar pikiran positif
Seperti riak kecil di gelombang putus asa karena takut yang merajut

Kopi telah tuntas
Rokokpun nyaris habis
Malam kian renta
Dan sepi hanya berkawan dengan cicak yang berburu makan malamnya

Aku tetap di kursi
Menggoyang kursi
Hingga derita berirama monoton
Dan aku tetap sendiri tiada kantuk
Hanya lelah hati dan pikir

Jika kantuk tetap belum mampir, namun lelah menghampir
Petualangan khayal kupindahkan ke ranjang beralas sprei butut
Dan letakkan kepala yang penuh dengan soal di bantal yang telah hilang empuknya

Tubuh telentang melepas lelah
Mata terpejam menatap fragmen khayal dan pikir
Setiap lembar pikir, kebanyakan jelek dan rusak, silih berganti mengganggu cemas
Hanya hati kadang ingatkan bahwa tidak semua lembar kusut
Kadang ada harap menyeruak

Kantuk belum mampir
sedang lelah telah pudar
Mata membuka menatap sudut tembok lembab
Tiap incinya tertera tiap gundah dan harapan
Berseliweran mendera otak

Cicak kembali berebut kepingan rindu
Nyamuk berbisik di kuping memohon setitik darah
Kecoa hilir mudik mengukur luasan kamar
Semut berbaris bawa remahan mimpi semalam

Jarum jam telah condong di Timur
Malam semakin renta
Bayangan di tembok tetap jadi bayangan
Semua menuduh menunjuk ketidak becusan
Tubuh kian tersudut di kasur apek
Tersungkur tanpa sisa sanggah
Walau nurani membela

Capai berbaring
Tubuhpun bangun
Letakkan penat di ujung peraduan
Mata nanar menatap tembok bisu
Sayup terdengar suara azan

Selasa, 15 Januari 2019

TURUNLAH SINAR MENTARI

Seharusnya tak perlulah semalas kedip gerhana
Dalam jarak terhingga kau tuntaskan hitungan
Mengapa setiba di pelataran rumah,
kau hanya berdiam di ujung daun temani embun
Padahal sendi yang kaku sebab usia butuh hangat serimu
Dan kantuk bercinta tanpa aling bulu roma
Sedang geliat pagi mencari gairah pancarmu
Burung-burung merayu dengan kicau birahinya

Jika kau tetap enggan menyapa sebab tersandera
Tegurlah mendung agar ikhlas iringi awan
Peluklah gelapnya dengan helai cahaya yang manis
Ucapkanlah mantera penunduk agar awan beralih menaungi kering
Jika tiada aling antara wajahmu dan ibu bumi
Sapalah segenap kehidupan yang masih bergelung
Belailah wajah rindu dengan hangat warna emasmu
Hingga alam dilingkupi senyum damai

Jika embun telah berubah sebagai kupu-kupu
Dan dedaunan telah hijau sebab bahagia
Tiadalah kau tarik segenap wajahmu benderang
Sebab awan pasti menyingkir karena malu
Panasilah setiap yang melata dengan gairah
Hingga harapan dapat terjangkau sejauh genggam
Dan rejeki terhampar sepanjang janji mencari
Karena itu, turunlah sinar mentari

Sabtu, 12 Januari 2019

KELUAR DARI BUKU

Sejenak kata tersesat di labirin ingatan
Tenaga maknanya hanya sebatas retorika
Setiap huruf yang tercatat di buku jiwa
Menanti nurani menjumputnya dari kredo kesunyian

Pujangga hanya pemahat lambang di gulungan rontal
Menuang setiap bunyi dengan keindahan makna dan puja
Sedang penerjemah luka adalah kesadaran yang terjaga
Mengeja guratan senyap dan tiupan nyawa

Sejak buku sembunyikan rahasia ingatan
Yang tersusun atas suara sunyi dan lambang
Kesadaran wariskan alam pikir dan keterampilan indera
Untuk membangun dan memusnahkan generasi

MENANGKAP PELANGI

Musim kerap sembunyikan gairahnya
Tiada angin laksana selendang serimpi
Kemarau yang tertulis di setiap pelepah dan ranting kering
Melafal mantera hujan di bendung langit

Manyar pentangkan sayap meniti udara
Menebar benih dikandung di cakrawala
Tiap kecambah titik air yang dilahirkan di perut mega
Menyerap hidup menanti takdirNya

Angin lewat tanpa kabar
Mengirim tanda di segenap dedaunan
Awan bergulung membawa bau hujan
Dan melepas tetesnya pada dahaga ibu bumi

Setelah genap langit tumpahkan segenap rindunya
Perlahan mentari menganyam sinarnya di telaga bidadari
Percik air menghiasnya menajadi bias warna warni 
Dan menyematkan ujungnya di beranda hati

Rabu, 09 Januari 2019

SAYAP PATAH

Seperti dihempas getir
Segenap terhadang tabir
Langkah terhenyak di ujung tubir

Selekas dahaga rindu tersedak
Setiap kata menjadi kepak
Malam sungguh menjaring

Sekejap sua tanggalkan bulu
Setumpuk bukupun seteru
Leher terantai ragu hingga bisu

Setelah senja mengundang pulang
Semua sedih menjadi kungkung
Sekedar sayap patah yang berjuang

BIDADARI PAGI

I.
Bangun memunggungi matahari
Ketika kejora kian dekati sabit
Matamu masih sisakan lelah siang
Dan ruang hanya ada senyap

Daster bermotif batik pabrik
Berwarna luntur sebatas dengkul
mematut sejenak kenakan sandal
Perlahan berjingkat tinggalkan malas

Air kendi diendap semalam
Diteguk nikmat binar pandang
Merias wajah dan lembut kulit
dibilas sejuk air wudhu

Mematut kenakan mukena
Berhias dengan doa
Tadahkan wajah pada langit
Berdialog dengan hati

II.
Di pawon membuat unggun
Onggok kayu telo dan ranting
Sepanci air dijerang
Api meletik asap bergulung

Nasi sisa makan malam
Bawang, brambang, uyah dan penyedap
diulek dalam cobek
Digoreng ditambah kecap

Melintas ruang tengah buka pintu
bau obat nyamuk bakar dan dengkur
Kakak, adik, ayo bangun
Solat dan mandi siap-siap sekolah

Seragam rapi putih merah dan biru
Sarapan nasi goreng dan teh manis
salam dan salim cium tangan
Mencangking tas dan menuntut ilmu

III.
Matahari manjing di horizon
Kuningnya berbagi dengan langit
Harum seduhan secangkir kopi tumbuk
Leyeh-leyeh di kursi usang pandangi pagi

Menenteng sapu dan kain usang
Jendela yang pejam karena malam, dibuka
Pagi masuk dengan santun
Cahayanya sapa tiap ruang

Ruang tamu disapu hilanglah sepi
ruang tengah dilap tuntaskan malas
Kamar anak dirapikan datanglah ceria
Ketika telah usai semua lelah, rumahpun berseri

Sisa kopi diteguk, ah nikmat
Badan dihempas di kursi tua
Segenap keringat teteskan lelah
Mentari telah penuh, senyum pada dunia

IV.
Kamar mandi tempat meditasi
Lunturkan segala kedegilan
Menelisik tiap inci tubuh bugil
Mencari dan menghapus noda dan dosa

Menatap kaca menyisir rambut
Kenakan daster bertisik lembut
Telusuri tiap lekuk mematut
Ujung mata berhias kerut

Menuju dapur menjemput sarapan
Sisa nasi goreng untuk anak
Mengunyah perlahan nikmati suasana
Di luar burung bercakap dengan sisa embun

Pintu kamar utama terkuak
Melangkah perlahan dan menguap
Lalu berteriak parau "Ma, mana kopi?"
Matahari telah sepenggalah

Jumat, 04 Januari 2019

JALAN SIMPANG

Huma berserak di punggung bukit
Menatap pada biru langit
Tanaman, bebatuan bahkan tanah bersatu
Kerontang dan merana
Ketika pagi dikerek ke atas
Burung bersiul di ranting
Jika matahari telah payungi
Hanya desir samum, terik dan tongeret tersisa
Kadang debu merabu mata

Ikuti saja langkah
Dituntun debu 
Jalan desa mengantar hingga tanah
Tak panas sebab kapuk randu 
Kadang satu dua sengon menuding langit
Jati merana kerontang
Karena daunnya berguguran
Tidak perlu tergesa mengejar
Karena jarak dan waktu bukan beban
Dari pandang terlihat tujuan

Jika telah berjalan separuh jarak rindu
Sebelum melewati beringin tua penunggu desa
Jalan menjadi persimpangan
Ke kiri menuju mata air mata
Ke kanan jejak kenangan
Maka melangkah lurus saja
Lewati beringin yang terbungkuk
Ucapkan salam hormat pada tuanya
Di ujung jalan
Di sanalah tikungan akhir
Di mana huma menanti

Kamis, 03 Januari 2019

BERDIRI DALAM HUJAN

Wajahku terpapar kelabu hujan
Derasnya menyingkap hingga teritis
Asar melingkupi langit kota
Dan azan terhalang lintasi mihrab

Titik air merajam kulit, pedas
Merintih di atap yang sirap
Amarah langit muntahkan silau petir
Hujan meredam, kenang menghilang

Sekian waktu langit telah teralir getir
Kelabu tiada beranjak karena senja
tembok menggigil memeluk percik menitik
Aku melangkah tinggalkan gerimis sendiri

GENGGAMLAH TANGANKU SEKEJAP

Genggamlah tanganku sekejap
Hangatnya ingatkan pergumulan rindu
Sepatah kata dua mengusik malu
Memberi rona jambon di tiap senyum
Likat hati menjadi getar
Mata tiada pandang menghadang
Tak langkah tinggal hadap
Hilang tanggalkan kenang

Genggamlah tanganku sekejap
Hari terasa paling siang
Malam lebih kelam menghujam
Kuncup tersirat harap ucap
Marah dan pertengkaran kecil tersua
Sebab cemburu bersanding senyum
Perhatian jadi rajut cumbu madu
Semua lapang segala terbilang

Genggamlah tanganku sekejap
Waktu tak bisa menghitung dirinya
Ketika hari saling mengasingkan
Sebab janji telah ucap tiada rawat
Malam tetap tanpa bintang
Sibuk adalah mantra pamungkas
Mengurai anyaman cinta
Jadi serpihan rutinitas yang menggigit

Genggamlah tanganku sekejap
Mari kita memandang untuk terakhir
Sebelum bayang jauhi hari
Mencari benar yang asing
Tinggalkan koyakan kecewa
Tentukan arah pedih
Tempat kenang hati dan luka
Dan lepaslah genggammu selamanya

PADA MULANYA

Langit luas ditinggikan tiada tiang
Dikerubungi bintang terang gemilang
Bulan purnama teriris sabit
Waktu kehilangan jejak mengendap
Suara adalah malam yang kelam

Seorang lelaki, berwajah mulia bertubuh pualam
Matanya teduh pada pandang
Merah warna tangis rindu
Menatap hati yang gelisah
Dalam diam terkungkung hening
Merenung sunyi menghitung sepi

Lelaki berwajah mulia diam dalam pejam
Menghadap temaram dinding gua
Membunuh sepi dengan api kecil
Bayangnya bergerak ikuti kedip
Pikirnya menempuh hening
Meraih cipta dalam bening

Pikirnya memeta kaumnya
Tentang adab silang adatnya
Dimana dosa dan doa telah berselingkuh
Marah bersanding ramah
Kata melawan pedang
Tipu menjadi tujuan
Cinta membawa aib

Bayi perempuan dikubur bawa malu
Istri ayah di jima' senilai harta
Judi dan khamr sifat mendaging
Melacur budaya dan biasa
Mencari suami akibat undi
Bermegah dengan kosong

Merawat tamu selayak raja
Menderma seolah angin lalu
Berucap bijak bestari
Nama menjadi pertaruhan bangga
Kabilah tumpah darah demi angkuh
Harga diri seutuh nyawa

Ketika tenggelam dalam lamunan pencarian
Mata batin menatap kebenaran asali
Tiba-tiba selarik sinar menerobos angkasa raya
Dengan sayap dewata menutup langit
Lelaki kudus melangkah anggun menuju gua
Ruh utusan Maha Benar

Ia melangkah dengan tetap menuju lelaki berwajah mulia
Di depannya Ia berdiri tegak dan berkata, "Bacalah!"
Dengan takut dan gemetar lelaki berwajah mulia menjawab,
"Aku tidak bisa membaca"
Sekali lagi lelaki kudus berkata ,"Bacalah!"
"Aku tak bisa membaca",  tukas lelaki berwajah mulia sangsi
"Bacalah!"
"Aku tidak bisa membaca", tetap jawab tiada ubah

Tiba-tiba lelaki kudus melangkah
Dekati lelaki berwajah mulia
Lalu dipeluknya dengan erat
Hingga nafas tertahan
Keringat mengalir
Takut mengerut

Di dada lelaki berwajah mulia seolah mengalir
Bunyi surgawi menghujam hati
Kelapangan terasa pada pikir
Kudus malam itu tertoreh
Segala keindahan menjadi suci
Akal budi tunduk menerima wejang langit

Lelaki kudus utusan Maha Benar kemudian bersabda
"Bacalah! Dengan nama Rabbmu yang menciptakan"
"Menciptakan dari selapis kepal daging"
"Bacalah! demi kemuliaan Rabbmu"
"Dzat yang mengajarkan dengan perantaraan kalam"
"Mengajarkan hambaNya apa-apa yang belum dan tidak diketahuinya"

Takut dan gugup menjadikan diam
Debat hanya jawab pasti
Pengetahuan itu meluncur begitu saja pada lelaki berwajah mulia
Tiap hurufnya tertancap dalam di benak dan hati
Seperti bisikan nurani nirwana
Zarah Ilahiah penuhi atmosfer gua
Tiap ucap menjadi lekat di lidah
Tak ada hapus yang menghalang

Setelah genap ucap
Lelaki kudus terangkat ke langit
Diiringi percikan kemuliaan
Serta nafiri kerinduan surga
Dan sayap-sayap keindahan
Membentang sejauh semesta

Di dalam kekosongan yang khusyu
Lelaki berwajah mulia bergegas
Tinggalkan bekal, takut dan kejut
Berlari jauhi gua
Menuju peluk hangat istri tercinta
Perlindungan rumah nan aman

KEPADA IBU BUMI

Ketika kaki menginjak ranah belukar
Ibu menjadi bumi, keringat dan harap
Dimanapun jejak duka menuju
Bumi membasuhnya dengan air mata ibu

Ketika hati memilih senyap
Ibu merapal mantra bumi
Andai langkah bergegas dan sesat
Bumi tersungkur meratapi kasih ibu

Ketika kesah menggapai kaki langit
Ibu mendekap bumi yang miring
Semua kenang yang hilang terbilang
Bumi meruwat nasibnya dengan nasab ibu

Ketika arah menggores kembali
Ibu menabur doa dengan sesaji bumi
Setiap kata yang terlampir janji
Bumi tertunduk mengajuk kasih ibu

BINCANG ANGIN

Datangmu teja temaram
Menari di pucuk daun tenggelam
Kucermati celotehmu di para senja
Kadang berdesir halus di beranda

Kabar telah lenyap kepak sayap
Jauh karena jarak yang senyap
Kebenaran tak lekang sebab derai
Secangkir kopi diteguk di tiap bisik

Satu ketika hembusannya mengajuk
Lain ketika berseru hingga menderu
Tapi helai tak lalai menyambangi
Sambil menebar melati wangi

Jika temani sore telah tunai
Angin mengibas halus pipi
Kemudian terbang melenggang
Tinggalkan aku, kopi dan lengang

PERNAHKAH KAU LIHAT HUJAN

Pernahkah kau lihat hujan?
Di langit ia mengerang
Di bumi tenggelam
Membawa tarian gemericik
Menjadi tirai antara pandang
Menetap di kaca berembun
Berkejaran dengan basah
Asyik menabuh teritis dengan rintik
Membasuh kuning daun tua
Menggenangi halaman dengan harap
Menggenggam petir pada gelegar
Mengantar dingin tertiup angin
Menyimpan sisa kuyup malam
Dan getir putik buah
Merekah rahasia pada kelam
Di kuncup biji bertunas putih
Mencangking kabar jauh
Menyapa rindu yang kering

PERTAMA KALI KU LIHAT WAJAHMU

Kau duduk di ujung sofa tiada nyaman
Wajah tertunduk dan pandang mengurai lantai
Jari saling meremas menepis malu
Terlindung jilbab, tubuh mengerut
Melipat ruang tamu yang pucat lampu
Berusaha sembunyikan kikuk

Nduk, suara bariton Abah memecah
Bayi rewel minta tetek
Anak kecil bermain dan bertengkar
Berebut permen dan kue
Seorang wanita berkipas menyibak panas
Yang lain saling bercakap berbisik
Pria setengah tua gelisah
Seorang pemuda diam ditemani asap rokok
Kakak adik duduk bersanding
Bude dan Bulik membawa hantaran
Oom serta Tante bau parfum refill dan keringat
Semua terdiam dan tiba-tiba senyap
Dengan bersamaan mereka memandang ke satu arah

Nduk, ini Kangmas datang dengan keluarganya
Hendak nontoni kamu
Kenalkan mereka semua
Ini Kangmas calonku pilihan
Ayah dan ibu berdua
Sanak kadang dan kakak adik
Saudara, tetangga, sahabat

Perlahan kau mengangkat kepala
Mata tetap menatap petak lantai
Bibir terkatup ujungnya digigit
Wajah putihmu menyimpan malu
Beberapa lembar rambut mengintip
Dengan sedikit getar senyum
Kau pudarkan wajah seluruh ruang
Dan aku hanya bisa berucap
"Subhanallaah!!!"

IMPIAN KEBEBASAN YANG MEMATIKAN

Terkadang awan melukis diri melampaui imajinasi
Warnanya pun berubah-ubah sesuai sudut pandang
Dengan heroik mencuri warna emas milik matahari
Dan menyematkan putih pada biru langit
Dengan lembut selimuti bulan hingga sinarnya terbungkus rindu

Terkadang warna adalah kombinasi darah, kelam dan kilau kemilau
Membentuk busur pelangi di awan hujan
Simpulnya tertanam di awal mimpi
Dan ujungnya tenggelam di kubangan sekeruh lumpur

Terkadang jarak tertindih waktu hingga ruang berganti dengan lekas
Setiap fragmen tiada jeda hanya meloncat berpindah kisah
Waktu yang menindih tak pernah melewati mimpi
Hanya berkutat di penjara dimensi

Terkadang cerita sebagai monochrome yang sama
Ketakutan yang semakin sadis intensitasnya
Berbaur menjadi kenyataan setiap tualang
Menyisakan keringat dingin dan terperangkap di dasar khayal

Ketika mimpi yang bergerak liar telah kembali teduh
Mata belalakkan di gelap hangat kamar
Mencoba menangkap kelebat sinar yang mengedip di balik kelambu

Tubuh terbujur tiada gerak menolak setiap sinyal otak
Dada terasa menghimpit menahan tekanan beban
Nafas memburu karena sesak mencekik
Namun kesadaran penuh mengawasi setiap inci tubuh

SETUA KETIKA MUDA

Ketika itu waktu berdebar, liar
Langkah merambah sejarah
Hati berdegup riang
Melintasi batas aman

Siang kian panjang
Malam menggantang mimpi
Jemari memantik kesombongan
Dan pongah di tipis dada

Kadang kaki memijak di kubangan
Paya berlumur kotor
Lumpur memercik mata
Namun tekad singkirkan onak

Matahari lingsir 
Sisakan garis panjang
Kesadaran mencoba menoleh
Hakikatnya hanya setua ketika muda

BUNGA API MELETIK DI PERAPIAN

Lelatu meletik tinggalkan bara
Panasnya merajam
Menunggangi arus
Lewati cerobong tua
Berkejaran di sudut langit

Lelatu berkedip merah
Tersaput angin
Menerjang matahari
Naik turun hingga hilang panas
Sisanya abu, jatuh di haribaan ibu bumi

FOTO TUA

Sekadar kenangan bercerita 
tentang goresan samar 
dan pucat senyum,
bermuara di ruang ingatan

Ada sejarah termaktub
Direntang panjang waktu
Luka yang menguning karena tua
Pigura yang tak mampu sembunyikan

Ketika hati takjub
Pikir menata kenangan
Membaca rindu lewat mata
Sehingga semesta mengecil kerdil

Ingatan telah tuntas
Sisanya adalah kosong
Foto manjing di bufet kayu jati
Gambarnya menatap bayangku lenyap dalam senyap

KABUR DARI RUMAH

Berjingkat perlahan susuri sunyi selasar
Hindari suara mengusik tidur
Cahaya terobos pintu terangi temaram lantai
Sepotong desah sayup sampai dari hangat selimut

Hatiku pecah karena berontak murka
Kutumpahkan semua serapah lewat sinar mata
Ayah tudingkan setiap sanggahan dari ujung jari
Matanya api geramnya halilintar
Ibu hanya diam mendekap air mata yang gundah
Duduk meringkuk memeluk duka
Setiap alasan kumuntahkan
dan argumen kutikamkan pada amarah
Hingga akhirnya hanya sepi dan tercenung
Karam karena emosi yang menguap
Perlahan ayah memandangku dan berucap gemetar
"Engkau beda agama, nak!"

Kaki kian berat menyeret terbebani detak jam dinding
Ruang tengah serasa tanpa ujung
Samar, perabot terlihat memandang debarku
Daun pintu congkak menanti tibaku

Pada mulanya adalah cinta
Berkubang bersama bahagia
Membangun surga dengan rindu-rindu kecil
Menghiasnya dengan cemburu yang manis
Ketika esok telah padu dan kata tiada bantah
Kerikil tiba-tiba bergulir
dan membesar menjadi batu perbedaan
Diskusi dan pembenaran selalu didengungkan
Jalan tengah pembelaan telah dibangun
Kita akan tetap satu cinta di atas dua keyakinan
Kau buka hati orangtuamu
Aku memohon restu ayah ibu

Meja dan kursi silahkan lewat
Memberi ruang sedihku jalan
Suara malam samar berdesir
Menutup gelap di balik pucat tembok

Kumasukkan baju ke dalam ransel
Begitupun segenap amarah dan sedih pedih
Kecewa tak lupa kusematkan
Air mata menemani tiap gerak
Diam sesakkan dada
Aku menyumpah pada adil
Mencerca setiap ucap yang melecut
Kubulatkan tekad untuk tentukan arah nasib
Kuarahkan pandang pada seputar kamar
Dengan gontai dan menunduk
kaki melangkah menuju pintu

Pintu terdorong dengan hati berat
Tanah perjanjian terbentang menantang
Kupandang langit malam dan taburan bintang
Hatiku penuh dan berteriak : "Cintaku, aku berontak!"

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...