Minggu, 25 Maret 2018

KESEPIAN KITA

KESEPIAN KITA
Kesepian kita hanya deret neon
Kerumunan orang tanpa wajah
Hilir mudik produk masal
Kadang kita bicara
Menari jemari
Berkirim sapa angin
Senyum pada langit-langit
Senandung kecil ikuti irama
yang keluar lewat pengeras
Menatap rak penuh iklan
Melangkah di lantai dingin
yang tak pernah mengajak istirahat
Berpapasan dan beradu bahu
Hanya untuk lebih tidak mengenal
sambil menampilkan wajah "ma'af"
Lalu kita saling membelakangi
Sibuk mengeja daftar dan harga
Memeriksa diskon dan senyum pramuniaga
Mulailah pemuasan dahaga belanja
Rak demi rak
Lantai per lantai
Waktu berhenti berpihak
Tenaga mencapai kulminasi
Antrian mengular
Akhirnya, ritual neraca yang tak pernah adil terjadi
Recehan tidak bersahabat
Permen atau bujukan donasi
Dan kita, membawa semua omong kosong iklan
Diskon yang mencekik leher dan tas plastik yang cemar
Beserta sisa hari.

Senin, 19 Maret 2018

DIRGAHAYU

Tahun terbentuk dari anyaman hasrat dan niat
yang sebagian besar sirna tak terwujud
Tahun selalu berulang menanggalkan semua rencana yang tersusun
Tahun juga meninggalkan catatan di semua langkah dan sejarah
Tahun adalah kakang kawah adi ari-ari kita
yang tak pernah lepas mengawasi mangsanya
Tahun adalah sisi mata uang dari nafsu
yang hanya mau mengambil dan memiliki
Tahun mempunyai hitungannya sendiri,
terlepas dari jam, kalender bahkan nujum dan nasib
Tahun hanya deretan panjang kenangan
yang tak pernah kembali kepelukan
Tahun menelan semua warna dan menyisakan ketuaan dan mantra
Tahun kian condong ke barat
mengejar waktu yang fana dan enggan kembali
Demikian itu termaktub setiap tahun hingga bersua titik nadir

Sabtu, 17 Maret 2018

BALADA SAKIT GIGI

Kepalaku serasa pecah
Terburai jadi serpihan kecil meletik liar
Mengusik syaraf lewat suara
Menghujam kejam ke dalam gigi
Menggiring santun jadi luap emosi
Keluhan meradang tutupi setiap jengkal nalar
Mulut adalah muara masalah
Dijejalkan semua hasrat
Menimbun semua nafsu dan menelannya
Disodorkan lewat baris gigi
Sambil mengunyah pongah
Panas jadi seteru
Dingin menikam
Suara memantik
Ruang menghimpit
Waktu melambat
Setiap denyut di gigi adalah siksa
Setiap kumuran garam berubah serapah
Setiap sikat gigi tinggalkan ngilu
Setiap kata hanya erangan
Segala laku diterjang
Seperti pencuri menyelinap
Bersekongkol menebar sakit ke seluruh tubuh
Menyelipkan sumbu di sela gigi
Meretas semua akal sehat
Ketika semua daya telah kalah
Pasrah menggadangi rasa sakit
Dengan berat hati kulangkahkan kaki
Menuju harapan pamungkas menakutkan
Dokter gigi

MENANTI HUJAN BERHENTI 2

Musim seperti tidak beranjak
Meringkuk di ruang siang
Angin semilir serupa selendang
Ronanya membekas di dedaunan

Langit menulis kisahnya dengan warna
Melintas perlahan menjaring mega
Waktu menyimpan jawabnya di teritis
Mendung datang menabur benih

Mentari mengibas helai sinarnya
Menari diantara titik hujan
Aku tercenung menatap  kotaku kuyup

Di tangga air menetes
Membentuk kubangan kecil
Aku dan hujan berbagi ruang

MALAM KITA

Menggadangi malam muda
Langit tersenyum di serambi
Bintang jatuh mengibas ekor
Bau humus menggelitik hidung

Sinar bulan berpendar
Meresap dalam kopi
Hitam dan panas
Tercampur aroma tubuhmu

Berbincang bertelekan kursi
Menikmati kata
Pikiran bergumul
Angin mengusik

Kita menghayati malam
Malam melingkupi kita
Kita dan malam melebur
Semakin larut

TAHUN BARU

Kusingkap tahun yang lewat
Ketika itu hujan turun
Basahi ranting daun

Dan padi merunduk
mencium bau tanah
Batangnya menunjang langit

Malam kuyup dan dingin
Gelap menghampar serupa tudung
Memeluk pepohonan yang gemetar

Hari dipisahkan oleh harapan
Disimpulnya nasib di tulis
Serupa sarang laba-laba

Esok ketika timur terbit
Waktu tetap melintas
Dan cahaya merambah barat

KATA

Pada mulanya adalah kata
Rangkaian verbal tiada duka
Telanjang hilang arti
Bebas dari dosa dan terasing

Seperti sembilu mengoyak
Luka alirkan ribuan arti
Kata membiak jadi bencana
Menjilat seumpama lidah api

Perlahan kata bertiwikrama
Menjadi doa, serapah dan janji
Melahap segenap syahwat
Kredo bagi para penafsir langit

AWAL MUSIM HUJAN

Musim malu-malu rontokkan daun
Sebab dahaga panjang
Debu mengendap di teritis
Panas di akhir kuning kemarau

Pepohonan lelah ranting kerontang
Lantunkan doa bercampur cemas
Langit menitikkan berkah
Pesan kehidupan dari wangi tanah basah

SMARA

Setanggi doa meruyak
Mantra sesaki udara

Seloka nestapa cinta
Masyuk Kama dan Ratih

Stanza puja raga
Manunggal di malam fana

Bait puisi gairah purnama sidi
Sebuah kesaksian asali

Lembar asmara digelar
Ucap dan kita sebagai takdir

Trilogi AMARAH: II. AHANGKARA

Luapan amarahmu mengguncang emosi
Menutupi seluruh kesadaran dan luka.
Tenggelam di lautan kata

Kata yang menelan semua kesantunan
Seolah belati berkarat menghujah jiwa
Merasuk menjadi Durga dan duka

Duka membariskan semua argumen
Menjadi benteng setiap dosa yang terucap
Lalu mengendap menjadi benci

Benci yang menghapus semua kenangan
Tahun-tahun dimana cinta direguk
Saat nafas kita menjadi birahi

Birahi adalah keniscayaan  menyakitkan
Karena ada dirimu di sana
Hilang dan menitis menjadi ahangkara

MENANTI

Menanti adalah jarak aku dan bosan
Detaknya menusuk kesadaran
Menitis jadi peluh
Pelan memamah waktu

Menanti adalah deret bangku
Tembok dingin berdebu
Mata nanar menghadang pintu
Menelan segala keluh

Menanti adalah wajah lesi
Hitungan mundur
Ucap sebagai bagian diam
Tak bersahabat apalagi semangat

Menanti adalah suara sunyi
Berbisik di hati gundah
Segenap serapah
Hingga panggilan memecah

Trilogi AMARAH: I. BARA

Tiba-tiba semua berwarna merah
Seperti darah, mengalir dan tumpah
Bermuara dengki bercampur resah

Tiap langkah menggiring hujah
Ucap berubah menjadi serapah
Mengalir ke kubangan dosa dan salah

Waktu merujuk sore terik berpeluh
Bermandi airmata mengupas kilah
Membiarkan ego menjadi suluh

Khilaf dan maaf terdiam dan kalah
Duka mengisi hari dengan pongah
Menepis damai melepas amarah

API ASMARA

Lidahmu bisa beribu duka
Menoreh luka cinta
Syahwat mencekik nafas
Derita dosa eros

Birahi kita pecah
Gerogoti hati sunyi
Tiap desah bersayap
Menggigil dipeluk senyap

Bayang tubuh bersatu
Di dinding berdebu
Melukis bahagia kelabu
Seperti detak waktu

HARI

Sepotong hari tak pernah tuntas kusambangi
Walau banyak waktu kubawa bersama langkah
Seperti nasib, hari memiliki peruntungannya sendiri
Kadang tertawa seperti siang yang terik
Sering juga menangis mengiringi derai hujan


Perlahan hari tiba di ujung
Merangkul senja ungu
Memayang teja di langit

BAYANG BULAN

Bayang bulan bertandang
Membawa kabar malam

Bayang bulan bersenda di kolam
Menari diantara riak

Bayang bulan menyapa
Rindu dan birahi

Bayang bulan melukis cahaya
Putih wajah purnama

Bayang bulan menghilang
Mengejar rintihan kedasih

QODAR : I. Muqodimah:Sebuah sketsa tentang a) Suasana b) Saat II. Pencarian sebenarnya a) Bangun b) Tidur III. Atas namaMu dengan namaMu IV. Epilog:fragmen

Angin diam tiada jejak
Bintang berpendar lembut
Kantuk berkejaran dengan malam
Doa dipanjatkan di sela jari
Tengadah menghujam langit
Gerimis terkadang menyapa
Membawa pesan seribu rahmat
Qodar membimbing langkah
Lewati belantara waktu

(Wahai jiwa yang tersesat
 Ud'unii astajib lakuum
 Gapai qodar seribu bulan)

Berburu qodar di malam kemarau
Seperti bentangkan perangkap
Menjala mangsa
Ubarampe kopi dan kudapan
Sebagai teman mata
Dzikir dan diam senjata
Membidik di belantara waktu
Menebar Qur'an dengan berbisik
Berkelompok maupun sendiri
Para pemburu hajat teliti
Mencari di tiap jengkal masjid

Jika malam tua
Bergegas sujud
Mohon sebanyak yang terpikir
Segenap yang diinginkan
Meraih semua yang ditawarkan
Meraup setiap angan-angan
Sebagian yang lain terlelap
Memetik qodar dalam mimpi
Ngalap berkah dengan sarung

(Wahai Pemilik Segala Duka
  Singkaplah hijabMu
  Bentangkan rahmatMu
  Tetapkan qodarMu)

Kau datang Dia menghampiri
Kau jalan Dia berlari
Kau bentangkan tangan Dia memeluk
Kau bersimpuh Dia meraih
Kau mohon Dia memberi
Kau menangis Dia terharu
Kau mengeluh Dia menghibur
Kau mencari Dia menemukan
Kau berharap Dia memastikan
Kau lemah Dia Menguatkan
Kau lelah Dia Memberi semangat
Kau menggapai qodar Dia meletakkan dalam genggamanmu

Malam nyaris di penghujung
Qodar telah ditetapkan
Garis tertatah di catatan langit
Fajar merekah
Hitam putih bercerai
Subuh menutup perburuan

MUDIK

Kutaruh kangen sua
diantara tumpukan baju di kopor tua

Kereta bergerak berderak
menjemput kampung halaman

Kubungkus sejumput sombong dan secercah ria
buah tangan bagi sanak di desa

Kereta menembus malam
mendengus membawa cinta menuju tanah tumpah

PAGI DI DESA

Mentari muda berjingkat dari peraduan
Melepas semilir dan kicau burung
Warna perlahan berubah
Embun enggan menghilang
Bau dan humus padati udara

Jalan desa berkelok dalam kabut
Kehidupan merangkak di awal hari
Orang beriring menuju sawah
Ternak melenguh bayi menangis
Suasana hadir pagi ini dengan lembut

ABSTRAK

Kucari suasana
di labirin imaji

Kutangkap suasana
dan kuikat dalam kata

Kusematkan suasana
di lipatan kertas putih

Kusimpan suasana
di laci sanubari

RAMADHAN

Di bulan kemuliaan
Dini hari, mencari ridho Nya, sahur
Siang      , mencari ridho Nya, shaum
Maghrib, mencari ridho Nya, berbuka. Kurma dan air segar
Malam   , mencari ridho Nya, tarawih

Sepuluh malam terakhir,
Malam              , mencari ridho Nya, tadarus
Tengah malam, mencari ridho Nya, itikaf
Akhir malam   , mencari ridho Nya, mencari qodar

Bulan Syawal
Bulan kemenangan
Bulan mencari puasa setahun

KEMARAU: #1

Malam kemarau berangin
Menabuh seloka cinta
Bintang berkedip
Bawa secercah rindu

Lampu di ujung temaram
Sinarnya menyapa sudut
Kepak sayup menukas sunyi
Menanti kabar nun jauh

Bulan muda melintas
Dibingkai jendela buram
Angin kembara berbisik
Mengirim debu dan kering

MINORITAS

Suara luka dunia terlupa
Mengucap terbata pepatah cinta
Di ranah terlarang hati dan mata
Tanya tanpa sapa

Suara duka di panjang hari
Menghujam nurani tanpa bunyi
Bersorak gembira di balik terali
Melakoni ratap tanpa tangis

Suara sunyi tanah leluhur
Senandung duka tanah luka
Menggapai asa merajuk doa
Menapak lemah jejak akhir

JENDELA

Jendelaku menggapai angin barat
Mengajuk ke dalam hati
Mengoyak kenang
Juga waktu

Tirai putih bermotif bunga
Menyentuh cakrawala
Menghalangi mentari
Seperti kau mendekapku

Dari teralis pandangku mengejar pikiran
Melayang ikuti burung manyar
Menjemput rejeki pagi

Cahaya lembut melandai
melukis bayang di lantai
Memanjang serupa jeriji

HUJAN AKHIR MUSIM

Langit merekah
Hujan menghujam
Tanah membelah
Daun menguning

Seribu doa melesat mengajuk janji

Senja bergayut
Petir benderang
Pohon berderak
Teritis berderai

Seribu satu kenangan mengoyak hati

BULAN PURNAMAKU

Kekasih,
Wajahmu terukir di relung
Berwarna pelangi dan senyum rekah

Pandangmu kisahkan gejolak
Bisikkan kalimat puja
Satukan birahi pagi

Kekasih,
Wajahmu purnama sidi
Binarnya menguak langit

Bergandengan kita susuri hidup
Menganyam suka duka
Hingga tiba nirwana

DUA KUTUB

(Untuk penderita bipolar)

Di malam tanpa tepi
Marah membuncah ke langit
Takut mencapai titik nadir kepedihan
Semesta mengecil dalam kamar

Aku tetap disini,
Bersama pikiran gaduh
Hati yang gundah
Terduduk meratapi malam

PATAH

Beribu janji menguak takdir
Nada menganyam cinta
Malam syahwat tak nanti berakhir
Berbagi cerita melukis suka

Masa terentang
Jarak meregang
Kau tak tersentuh, bayang

Kita bersetubuh dalam waktu
Malukis mimpi dengan rindu
Merentang garis dengan semu
Mengikat hati dengan haru

Di akhir malam
Hanya ada kelam
dan luka yang dalam

SILATUROHIM

Duduk di beranda
Di kursi rotan tua
Pandangi sore yang muda
Sayup anak-anak bermain bola

Duduk di beranda
Berbincang kabar
Tegukan teh dan kue
Peluh tandai kemarau

Senja mulai temaram
Lampu telah benderang
Selamat tinggal, kawan
Semoga bersua di rindu lain.

NIKAH

Kita berikrar, sayang
Di bawah lampu pijar pucatkan rias
Ditimpali doa dan jerit anak
Panas merongrong semangat
Sejalur peluh sebagai tekad

Kita berikrar, sayang
Menata janji satukan perbedaan
Bermimpi lewat belaian di malam gairah
Bahagia sebab rencana kecil yang terperi

Kita berikrar, sayang
Di depan kadi dan saksi
Luruskan niat

Kita berikrar, sayang
Sampai maut menetapi hadirnya. Amin.

FOTO

Sebuah bingkai
Bekukan memori
Batasi pandang
Terpampang di meja
Berteman sunyi
Tua dan kusam

Guratan garis
Warnanya pudar
Catat duka dan doa,
jiwa dan qodar,
bahagia juga nestapa.
Sebuah ikrar

Sejarah meleleh
Sisakan debu
Sejumput sombong masa lalu
Bayang kenangan
Tergolek di hati
Terajut erat kala

CATATAN KAKI

Semalam kita bertemu
Bicara tentang hitam, putih,
kuning, coklat,
merah, dan biru...

warna warni pelangi yang memudar dibelah keyakinan

Semalam kita berseteru
Menampilkan kata,
tatapan, ratapan,
juga perbedaan

sebuah kiasan yang menjauhkan rasa

Semalam bukan aku,
engkau,
kami,
mereka.

.....hanya kita, sahabat.

Senin, 12 Maret 2018

SAJAK KAMAR MANDI

Melintasi pintu kamar mandi layaknya masuki kesunyatan
Ditanggalkan semua predikat
Ditinggalkan segenap kesalehan
Sisa keringat lelah masih menetes
Di kamar mandi ruang jiwa hadir di tembok berlumut
Kutanggalkan baju dan celana
Kulit kusam sebab mentari di setiap jengkal usia
Dan daging hanya berbalut asam garam dari pahit getirnya hidup
Terpampang sisa ketelanjangan yang hakiki
Lalu dimana banyak kata dan dusta terselip
Juga lidah yang mengecap sari dosa dan suka
Semua bersuci dalam laku
hingga senyum dan gumam di refleksi kaca
Siraman pertama
Kesadaran utama
Kesejukan paripurna
Air mengalir membawa semua luka dan duka,
benci dan cinta,
mimpi dan sadar,
mengalir menuju satu arah. Harapan.
Bau sabun mengikis lelah dan noda hati
Dari ujung jari menetes segala kedegilan
Aroma tubuh padati ruang
Ada bahagia ketika air mengalir basahi tubuh
Seperti bau tanah tersiram hujan pertama
Seperti bayi menyusu air kehidupan dari dada subur bunda berperi
Diakhir lelaku nyaman menjadi siraman terakhir
Menggerayangi setiap inci pori tubuh
Dipungkasi peluk handuk yang hangat
Di depan cermin kusam. Mematut.

KIDUNG


Mengikuti jejak pikiran
Seperti membaca suratan usia
dan mengukur garis nasab
Senarai sunyi setangkup gairah
Aksara samar bertautan
Menjadi penjara bagi makna
Kita hanya sebatas bersama
Selintas warna sekejap suka
Kesadaran bermakna angin
Tak terlihat hanya berdesir
Bersanding seperti benalu menyusu
Sejengkal langkan semesta lebur
Tiga langkah sebagai pijakan
Jalan tetap tersambung
Kukunci pintu wasangka
Segenggam swarna sebaris doa
Sementara cerita mengalir mulus
Berpilin cipratan darah pertama
Seperti fatwa sang begawan, maka jadilah
Selarik birama sejumput qodar
Adapun semua menuju satu
Dan waktu mengakhiri kefanaan
Tak terbatas tak berbekas.
Serujuk petunjuk senadi tragedi

AKHIR PERJALANAN

Ziarahku mencapai kulminasi
Sebagai tanda termaktub
Semak meranggas di sekitar
Warnanya pudar serupa mozaik

Dahagaku siang berangin samum
Mencari seteguk air
Jejak langkah tinggalkan takdir
Sebagai kesadaran nurani

Hatiku lurluh bersimpuh peluk
Bersimbah darah duka menikam
Mengecap kesenyapan baka yang asing
Tanda baca dari garis warna

Tujuh lingkar doa merambah langit
Mengukir tanda di lontar suci
Tangan di bawah menadah janji
Madah angin berbisik

Di akhir pesinggahan
Hari semakin senja dan tua
Sedikit kenangan menjawab ragu
Dan pedalaman pikiran berbisik lirih

KENANGAN

Terasa jauh kenangan tinggalkan usia
Kian tinggi merambah senja
Serpihan nasib tautkan doa dan dosa

Jejak mencari jalan setapak
Putari sejarah dan pagari rindu
Hilang menjadi riak kecil kesadaran

Sisa bau tubuhmu terpeta, samar
Merayap dalam ingatan memudar
Airmata coba menghapus dahaga

Dalam janji sejuta bintang
Kerinduan perlahan menyatu
Memeluk siluetmu dalam sunyi

MATI

Kita hanya selangkah menuju mati
Lompati waktu dan terbujur
Manunggal kembang setaman

Sanak tersedu
Mangantar tanah leluhur
di ujung desa di atas bukit

Nisan sebagai pertanda
Jejak kaki dan debu
Doa dan setanggi merebak

Diiringi tangis rindu
Handai letakkan duka sepi
di gundukan tanah merah

KITA MENYEBUTNYA CINTA

Kita menyebutnya cinta
Ketika pertengkaran kecil adalah hari
Tugas rumahtangga yang tak pernah usai
Jeritan anak minta perhatian
Malam-malam penuh syahwat

Kita menyebutnya cinta
Ketika rutinitas mengganti sentuhan kecil di siang berangin
Mafhum dengan amplop gaji yang kian menipis
Deretan tanggal tua yang kian panjang
Kebutuhan mendesak menyesakkan dada

Kita menyebutnya cinta
Ketika tahun merenggangkan kita
Rengekan anak adalah prioritas
Uang receh penyambung hari-hari yang melambat
Dan pertautan menjadi asing di benak

Kita menyebutnya cinta
Karena selalu ada cara untuk mengakali hidup
Gali lobang tutup lobang
Janji sana janji sini
Menyematkan doa di ujung bibir

Kita menyebutnya cinta
Selama duka dan duka bergantian
Lelah terhapus riang
Pertengkaran merekatkan niat
Dan kau memeluk aku dalam diam

Kita menyebutnya cinta
Karena masih bersama
menyatukan langkah
mengarungi nasib
dalam biduk yang bernama keluarga

PERSIMPANGAN

Banyak tahun berusaha genapi janji
Amarah dan air mata jadi tenunan cinta
Biduk nyaris menepi
Menyingkap riak memecah gelombang
Pertautan hati dan kata jembatani keniscayaan
Seperti musim memeluk cakrawala
Angin datang dan pergi torehkan kabar

LANSKAP SENJA

Nampaknya hari telah mencapai ujung perlintasan
Temaram condong merangkul sepi
Hujan tertuang di pojok cakrawala
Pepohonan berderak iringi angin

Aku berdiri sejajar teritis
Memandang lamunan merebak
Waktu berdetak lembut
Menyulam pikiran merenda luka

Burung terbang lintasi senja
Mengepak sayap membentang kelam
Suara malam alunan doa
Tanggalkan mimpi di peraduan

HATI

Memenangkan hatimu adalah satu hal
Diawali janji tersirat dalam percakapan
Menautkan hati di malam musim hujan yang basah
Sambil melangkah di jalan rindang angsana
Sentuhan kecil yang menyengat
Menulis harap pada langit berbintang
Hingga akhir jam dimana kita berpisah
Mencantumkan seikat bahagia dan segaris senyum

Menjaga hatimu adalah hal yang lain
Telisik  dan pertengkaran kecil
Juga bara hangat cemburu
Coba pahami senyum di malam kelabu
Sedang pikiran kita mengkristal
Mencari tautan hati
Menetapi perbedaan yang mulai merekah
Jarak dan waktu yang berkilah

Meninggalkan hatimu adalah takdir
Setelah sekian purnama seiring
Ada onak di jalan yang kita lalui
Juga kerikil yang tajamkan arah
Tujuan kita sekejap berlawanan
Masing-masing membawa luka dan duka
Jalan kian terjal dan hati memudar
Menjauh dari bayang-bayangmu

ANAK

Diasuhnya doa dan birahi Hingga menetes Eros Sebagaimana puja Kama Ratih Kau mendatangi dunia dengan polos Lalu disadapnya setiap tetes kehi...